Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Puri memeluk bantalnya erat, mencoba meredam suara tangis yang terus mengalir.
Dalam hatinya berkecamuk antara cinta yang begitu dalam pada Karan, dan pesan tulus penuh makna dari Mama Karan yang terus terngiang:
“Jangan jauhkan Karan dari Tuhannya.”
“Apa aku egois? Apa cinta ini akan menyakiti banyak orang?” gumam Puri lirih dalam tangisnya.
Ia mengingat semua kebaikan Mama Karan, betapa hangatnya sambutan di rumah mereka, betapa diterimanya dia tanpa syarat.
Tapi justru karena itu, hatinya semakin sakit. Ia merasa di satu sisi ingin melindungi cinta mereka, tapi di sisi lain takut jika cintanya justru jadi alasan seseorang menjauh dari keyakinannya.
Air matanya tak bisa dibendung. Ia merasa lelah, bingung, dan takut. Tak ada jawaban pasti malam ini, tapi satu yang ia tahu: hatinya penuh cinta, tapi juga penuh tanggung jawab.
Pelan-pelan, Puri memejamkan mata, berharap esok hari akan membawa sedikit kejelasan.
*****
Keesokan harinya puri masuk kuliah untuk mengurus administrasi wisuda.
Yudha melihat wajah Puri yang sedang memikirkan sesuatu.
Yudha yang baru keluar dari ruang administrasi melihat Puri duduk sendiri di sudut kampus, menatap kosong ke arah taman kampus yang mulai ramai dengan mahasiswa lainnya.
Ia berjalan pelan, lalu duduk di samping Puri tanpa berkata apa-apa.
Beberapa saat kemudian, ia berkata pelan, “Pur… kamu kelihatan nggak seperti biasanya. Kamu habis nangis, ya?”
Puri hanya menghela napas pelan, tak langsung menjawab.
“Aku cuma lagi bingung, Yud…,” ucapnya lirih.
“Semakin dekat ke hari wisuda, semakin banyak yang harus kupikirin…”
Yudha menatap Puri dengan tenang. “Ini tentang Karan, ya?”
Puri menoleh sebentar, lalu menunduk lagi. “Mas Karan baik banget, keluarganya juga nerima aku. Tapi… ada hal yang sampai sekarang bikin aku terus mikir. Tentang keyakinan… tentang masa depan kami…”
Yudha terdiam, lalu mengangguk pelan. “Aku nggak akan kasih nasihat, Pur. Tapi satu hal yang aku tahu, cinta itu bukan cuma tentang rasa. Tapi juga keberanian buat bertanggung jawab atas keputusan yang kita ambil.”
Puri terdiam. Kata-kata Yudha terasa menenangkan, meski hatinya masih berat.
“Kamu kuat, Pur,” lanjut Yudha. “Aku tahu itu dari pertama kali kenal kamu. Kalau suatu saat kamu butuh teman ngobrol, nggak usah jauh-jauh nyari.”
Puri menatap Yudha dan tersenyum lemah. “Terima kasih, Yud. Aku benar-benar butuh itu sekarang.”
Kemudian Yudha mengajak Puri untuk mencari makan.
Puri masuk kedalam mobil dan ia kembali melamun Yudha tidak sengaja memegang kening Puri yang panas.
"Pur, panas sekali kamu Ayo ke rumah sakit."
Puri menggelengkan kepalanya dan tiba-tiba ia jatuh pingsan.
Yudha langsung melajukan mobilnya menuju ke rumahnya.
Ia membopong tubuh Puri dan menaruhnya ke atas tempat tidur.
Yudha terlihat panik, tangannya dengan cepat mengompres kening Puri menggunakan kain basah yang ia ambil dari lemari pakaiannya.
Wajahnya penuh kekhawatiran, berusaha menenangkan diri sambil melihat Puri yang masih terbaring tak sadarkan diri di sofa.
“Aduh, kenapa sih, Pur?” gumam Yudha, semakin cemas.
Puri biasanya selalu tampak ceria, tapi kali ini, semuanya terlihat sangat berbeda.
Suasana di rumah Yudha seakan terasa lebih sepi dan berat, ditambah dengan keadaan Puri yang tak seperti biasanya.
Ia duduk di samping Puri, menunggu beberapa saat sambil sesekali menyentuh tangan Puri, berharap dia segera sadar.
Pikirannya berputar, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada Puri, kenapa dia tiba-tiba bisa jatuh sakit seperti ini.
Yudha merasa sedikit bersalah karena seharusnya ia lebih memperhatikan Puri tadi.
Setelah beberapa saat, akhirnya Puri mulai bergerak sedikit.
Matanya terbuka perlahan, dan ia mencoba mengangkat kepalanya meskipun masih lemas.
Yudha langsung menggenggam tangan Puri dengan lembut.
“Pur... kamu sudah sadar?” tanya Yudha dengan suara lembut, khawatir.
Puri menatapnya samar, matanya masih tampak bingung.
“Yudha... Kenapa aku... pingsan?” suaranya terdengar lemah.
Yudha berusaha tersenyum meskipun hatinya masih khawatir.
“Kamu terlalu capek, Pur. Tadi pas di mobil, kamu panas banget, dan tiba-tiba pingsan. Makanya aku bawa ke sini.”
Puri mengangguk pelan, masih terasa pusing.
“Maaf... aku nggak tahu kenapa... rasanya aku terlalu banyak berpikir akhir-akhir ini.”
Yudha mengelus rambut Puri dengan lembut, mencoba memberikan kenyamanan.
“Kamu nggak perlu minta maaf. Kamu hanya butuh istirahat, Pur. Kamu nggak perlu memikirkan semuanya sendirian.”
Puri hanya diam, menatap ke arah langit-langit rumah Yudha dengan tatapan kosong. Yudha tahu ada banyak hal yang sedang dipikirkan oleh Puri, hal-hal yang mungkin sulit untuk dia bicarakan.
“Pur, kalau kamu butuh waktu untuk merenung atau bicara, aku ada di sini untuk kamu,” lanjut Yudha dengan nada yang menenangkan.
Puri menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengumpulkan pikirannya yang terasa begitu kacau.
“Aku cuma butuh waktu untuk berpikir, Yudha... aku nggak tahu harus bagaimana dengan semuanya.”
Yudha mengangguk, memberikan Puri ruang untuk berpikir dan merasa lebih baik.
“Nggak apa-apa, Pur. Jangan terburu-buru. Kalau kamu butuh aku, aku akan selalu ada.”
Puri tersenyum tipis, berusaha merasa tenang meski hatinya masih penuh dengan keraguan.
Dia menyadari bahwa ia harus mengambil keputusan besar dalam hidupnya, dan itu bukanlah hal yang mudah.
Namun, satu hal yang pasti saat ini ia merasa sangat berterima kasih memiliki teman seperti Yudha yang selalu ada untuknya, meskipun perasaannya untuk Karan juga sangat kuat.
Setelah merasa baikan, Yudha mengantarkan Puri pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah Yudha meminta Puri untuk beristirahat.
Puri menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terima kasih kepada Yudha.
"Aku pulang dulu ya," ucap Yudha.
Yudha masuk kembali ke dalam mobil dan segera melajukan mobilnya.
Mama yang baru saja pulang dari rumah Om Sasongko langsung masuk ke kamar Puri saat melihat Puri yang sudah sampai di rumah.
"Puri, kamu kenapa?" Mama menghampiri putrinya yang sudah berbaring di tempat tidur.
Mama memegang kening Puri yang sangat panas sekali.
Mama langsung menghubungi Om Sasongko dan memberitahukan kalau Puri sedang sakit.
Om Sasongko yang mendengar kabar itu langsung terdiam sesaat di ujung telepon. Suaranya terdengar khawatir, “Sakit? Sejak kapan, Mbak?” tanya Om Sasongko.
“Baru saja. Tadi waktu aku masuk kamar, Puri sudah terbaring lemas. Keningnya panas sekali,” jawab Mama, suaranya sedikit gemetar.
“Aku akan segera ke sana,” kata Om Sasongko sebelum menutup telepon.
Mama kembali duduk di sisi ranjang Puri. Ia mengelus rambut putrinya lembut.
“Sabar ya, Nak. Mama di sini.”
Beberapa menit kemudian, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.
Om Sasongko datang terburu-buru dan langsung masuk ke kamar Puri. Wajahnya penuh kekhawatiran
Tak lama kemudian, dokter pribadi Om Sasongko datang dengan membawa tas medis. Ia langsung memeriksa Puri dengan teliti mengukur suhu tubuh, mengecek tekanan darah, dan mendengarkan detak jantungnya dengan stetoskop.
Om Sasongko berdiri di samping Mama, menunggu dengan cemas.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Om Sasongko segera setelah pemeriksaan selesai.
Dokter mengangguk pelan. “Tidak ada tanda-tanda infeksi serius. Puri hanya kelelahan berat. Mungkin karena kurang istirahat atau stres. Untuk saat ini, biarkan dia banyak tidur dan pastikan asupannya cukup. Kalau besok tidak membaik, baru kita lakukan pemeriksaan lanjutan.”
Mama menarik napas lega, meski raut wajahnya masih khawatir.
“Terima kasih, Dok,” kata Om Sasongko sambil mengantar sang dokter keluar kamar.
Setelah dokter pergi, Mama kembali duduk di samping Puri dan menggenggam tangannya.
“Puri, kenapa kamu bisa sampai kelelahan seperti ini, Nak?” bisiknya pelan.
Puri tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, menahan air mata yang mulai menggenang.
Di dalam hatinya, ada sesuatu yang belum sanggup ia ceritakan.
"Apa kamu sedang bertengkar dengan Karan?" tanya Mama.
Puri menggelengkan kepalanya dan mengatakan kalau hubungannya dengan Karan tidak ada masalah.