Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pawang Tanah Merah
Langkah Ningsih terpincang. Kakinya berlumur lumpur merah dan darah. Napasnya patah-patah, seperti tersangkut di kerongkongan. Tapi ia terus berlari menuruni jalan kecil dari rumah panggung itu—rumah yang kini tak lagi milik mereka. Rumah yang telah jadi perut dari sesuatu yang tidak seharusnya bangun.
Malam belum terlalu larut, tapi hawa desa Gunung Jati terasa berat, seperti ada selimut kematian menyelimuti tiap atap rumah. Lampu-lampu temaram menyala, tapi tak ada suara. Tak ada jangkrik. Tak ada ayam. Bahkan anjing tak menggonggong.
“Pak... Bu... tolong...! TOLONG!” teriaknya sambil mengetuk-ngetuk pagar rumah warga pertama yang ia temui.
Tak ada jawaban.
Ia merangsek masuk, mendobrak pintu dengan bahu. Rumah itu kosong. Dingin. Seperti sudah ditinggalkan bertahun-tahun, padahal tadi pagi ibu-ibu masih menjemur pakaian di depannya.
Ningsih mundur. Matanya menyisir jalanan gelap yang hanya diterangi bulan sabit dan lampu minyak dari kejauhan.
Ia mencoba yang kedua.
Lalu ketiga.
Semua rumah kosong.
Atau lebih tepatnya... ditinggalkan dalam keadaan tergesa-gesa.
Ada kursi rebah. Gelas pecah. Nasi basi di piring. Tapi tak ada tubuh. Tak ada orang.
Sampai ia tiba di balai desa. Di situ... lampu masih menyala terang. Terdengar suara serak melantunkan doa dalam bahasa Jawa Kuno, bercampur dengan bunyi kerincing dan kayu dibakar.
Dengan tenaga terakhir, ia menerobos masuk.
Di dalam, lima orang berpakaian putih-putih duduk melingkar mengelilingi simbol tanah liat. Di tengahnya berdiri Uwa Dargo, sesepuh desa, ahli spiritual yang dulu sering dianggap orang aneh karena bicara soal dunia di balik langit.
Mata Uwa Dargo langsung menatap Ningsih, lalu berdiri tanpa bicara.
“Uwa... t-tolong... Mas Rokif... dia... rumahku... ada lubang... suara... tangan... semua kosong... warga... hilang...”
Ningsih limbung.
Uwa Dargo menyambut tubuhnya sebelum jatuh, lalu memeluknya seperti ayah memeluk anak yang baru selamat dari kobaran api. Tapi mata tua itu menyipit dalam ketegangan.
“Sudah dimulai...” gumamnya.
Salah satu lelaki muda bersorban hijau, yang duduk melingkar, berdiri dan menutup pintu balai desa.
Uwa Dargo memerintah cepat, “Bakar kemenyan terus. Segelkan daun bidara di empat penjuru bangunan. Jangan ada yang buka pintu kalau aku belum izinkan.”
Lalu ia mengajak Ningsih duduk di tengah.
“Katakan... dari mana lubangnya keluar? Apa bentuknya? Apa kau melihat mata tua, rambut merah, bau daging? Jawab cepat.”
Ningsih terisak, namun mencoba menjelaskan sejelas mungkin. Tentang suara, tentang tulisan darah, tentang cermin, rambut keluar dari mulutnya... dan tentang tangan dari lubang lantai yang menunjukkan kalung suaminya.
Wajah Uwa Dargo makin mengeras.
“Kalung itu... simbol pengikat dari darah. Mereka tak hanya menculik suamimu... mereka menjadikannya kunci pembuka. Dan kalau kau memang cucu dari Nyai Rante Mayit seperti yang dulu dikabarkan... maka kau adalah gerbangnya sendiri.”
Ningsih menggeleng panik. “Aku enggak mau! Aku nggak mau jadi gerbang! Aku cuma... aku cuma mau hidup tenang...!”
“Leluhurmu sudah memilih jalan ini sejak zaman Mataram. Tapi kamu masih punya pilihan,” kata Uwa Dargo dengan suara berat.
“Pilihan apa?! Semua rumah kosong! Semua hilang! Dia... dia akan bangkit... akan menghancurkan dunia...”
“Tidak jika kamu menutup tubuhmu dengan cahaya. Menutup darahmu dengan doa. Aku akan bantu. Tapi jalan ini panjang dan berbahaya.”
Tiba-tiba lampu minyak bergoyang sendiri. Angin dari arah jendela mengembus pelan—padahal jendela ditutup rapat. Di luar, terdengar suara ketukan serempak dari segala arah. Seratus... dua ratus... mungkin lebih.
Ketukan di dinding. Di pintu. Di atap.
Uwa Dargo menarik napas panjang. “Mereka tahu kau di sini.”
Ningsih gemetar. “Siapa?”
“Para pawang tanah merah. Yang dulu dikorbankan ibumu agar iblis tetap tidur. Mereka kini dikembalikan sebagai pemanggil jalan. Mereka haus... dan mereka akan mencarimu.”
Salah satu pemuda di sudut balai desa menjerit, “Uwa! Pintu belakang goyang!”
Uwa Dargo menghunus keris kecil dari ikat pinggangnya. Dipegang tegak di depan dada, lalu mulai membaca doa cepat—campuran Jawa Kuno dan Arab. Tiga pemuda lainnya mengitari Ningsih, menabur garam dan bunga tujuh rupa, lalu menutup lingkaran itu dengan rajah merah darah ayam.
Keringat dingin menetes dari pelipis Ningsih.
Ketukan berubah jadi pukulan keras. Seperti palu godam menghantam dinding. Lalu bunyi derit besi.
Dan suara-suara itu datang lagi. Tapi kali ini... bukan bisikan.
“Buka pintunya, anakku... kami rindu... kami lapar... kami ingin daging... daging darahmu...”
Uwa Dargo menancapkan keris ke tanah liat. Seketika itu, cahaya merah menyala dari simbol-simbol di sekeliling.
“JANGAN TAKUT!” pekik Uwa Dargo. “SELAMA LENTERA INI HIDUP, MEREKA TAK BISA MASUK!”
Tapi... lenteranya mulai berkedip.
“Mereka sudah menyerap warga yang hilang... dan kekuatan mereka makin besar...” gumam Uwa Dargo, “Kita butuh waktu. Kita butuh bantuan dari luar. Dari yang punya roh penjaga. Dari para pemilik sayap cahaya.”
Ningsih menatapnya, pelan-pelan sadar... ia tak bisa bertahan sendirian.
Dan perang ini tak bisa dimenangkan hanya dengan doa desa.