Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
David yang baru saja selesai berbincang dengan Ibunya, pelan-pelan mulai membuka pintu kamar atas. Matanya langsung menangkap sosok Luna, wanita itu tengah duduk di depan meja untuk menyetrika. Tangannya begitu lincah merapikan beberapa lipatan baju dengan cepat.
David masih berdiri membeku di tempatnya, tak tahu harus bersikap seperti apa. Meski mereka adalah suami istri, namun ketegangan di antara mereka yang telah terjadi cukup lama membuat keduanya menjadi orang asing yang tinggal dalam satu atap.
Dengan keraguan, David membuka percakapan, suaranya sedikit berat dan serak. “Kamu…sedang apa?”
Luna hanya menoleh singkat, lalu kembali memfokuskan tatapannya pada pakaian yang sedang disetrika. “Sedang menyetrika, mumpung aku sedang luang,” jawabnya datar.
David mengangguk pelan. Kecanggungan itu semakin terasa saat Luna tidak terlalu menanggapi kehadiran David. Pria itu mengambil duduk di tepian ranjang. Meski jarak mereka sangat dekat, tapi nuansa dingin masih terasa menusuk sampai ke tulang.
“Kenapa canggung sekali?” tanya David memecah keheningan. “Padahal kita sudah lama menikah.”
Sontak, Luna menghentikan kegiatannya. Masih duduk diam, tanpa menoleh sama sekali ke arah David. “Sudah lama kita seperti ini, lalu dimana masalahnya?”
Ucapan itu begitu pedas. Begitu melukai perasaan David yang tengah berusaha keras untuk lebih dekat dengan Luna. Sorot mata yang awalnya penuh harapan, kini kembali berubah menjadi tajam. Tak terima jika Luna memberikan jawaban kasar seperti itu.
“Kamu itu kenapa sih? Selalu saja tidak mau kalah,” ucap David, suaranya naik satu oktaf. “Aku tahu, sepertinya kamu hanya tidak suka karena aku lebih dekat dengan keluargaku di sini.”
Luna membalikkan tubuhnya, menatap tak percaya ke arah David. “Kamu pikir aku sejahat itu, David?”
“Lalu apa lagi?” balas David tetap tak mau kalah. “Kamu cemburu karena aku sangat dekat dengan Ibuku. Tentu saja kamu tidak akan tahu bagaimana rasanya disayangi, kamu bahkan tidak punya Ibu.”
Lagi…kata-kata kejam itu selalu digunakan David untuk menekan perasaan Luna saat mereka berdebat. Karena kesal, Luna menarik nafas dalam, mengambil semua baju David yang baru ia setrika. Lalu melemparkannya begitu saja ke arah lantai.
David terkejut dengan sikap Luna. Tanpa berucap sekalipun, David sudah tahu jika istrinya tersebut tengah marah besar akibat ucapannya. Tapi bukan David namanya, jika ia langsung merasa bersalah dan menyesal begitu saja.
Dengan santai, ia memungut semua pakaian yang berserakan di lantai dan membawanya keluar. Saat sampai di ambang pintu, ia menoleh sejenak hanya untuk mengatakan. “Hari ini Ibu ada arisan. Turunlah, dan bantu Ibu memasak.”
David keluar, menutup pintu kamar begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Luna.
Luna masih duduk diam di tempatnya. Kamar ini terasa sesak meski hanya ada dirinya seorang, mencoba tetap menahan semuanya. Sepertinya air matanya bahkan sudah tak mau lagi menetes, mengingat betapa seringnya ia menangis.
Untuk yang kesekian kalinya, Luna kembali bertanya dalam hati. Masih pantaskah ia mempertahankan pernikahan dengan seorang pria yang sama sekali tak pernah menghargainya?
***
Sore itu suasana halaman rumah Bu Galuh tampak begitu ramai di penuhi dengan tamu arisan yang semuanya adalah para Ibu. Beberapa dari mereka ada yang duduk di atas kursi rotan yang sengaja di susun mengitari meja, sambil menikmati semua hidangan yang telah disediakan sang tuan rumah.
Semua tamu di sambut dengan sangat ramah. Di atas meja telah tersaji aneka camilan kue basah serta ditemani dengan minuman es sirup warna merah yang menyegarkan.
Tidak hanya camilan saja, Bu Galuh juga menyiapkan menu makanan seperti rendang, opor ayam dan sambal goreng kentang yang menjadi andalannya. Makanan yang disajikan hari ini memang sangatlah banyak, membuat para tamu merasa kagum akan segala usaha yang dilakukan oleh Bu Galuh untuk menyambut mereka semua.
Maria, juga tampak berada di sana. Wanita itu duduk manis sambil menyuapkan kue talam ke dalam mulutnya. Sesekali matanya menatap ke arah dapur, memastikan keberadaan Luna sekarang.
‘Enak juga ya sekarang. Berkat Luna, aku bisa duduk santai tanpa harus berlarian kesana kemari dengan aroma asap juga bumbu dapur yang memuakkan.’
Batin Maria dalam hati. Merasa jika tugasnya kini menjadi lebih ringan karena kehadiran Luna.
Para tamu kini sedang mengobrol, topiknya tentu saja tidak terlalu berbeda dari obrolan mereka sebelumnya, yaitu memamerkan kesuksesan anak mereka.
“Anakku yang nomer dua diterima bekerja di bank,” kata Bu Lilis dengan bangga. “Gaji pertamanya, sudah bisa untuk beliin saya kulkas baru.”
“Ehh, anak saya yang nikah muda, malah dapat suami orang kota. Mobilnya saja ada dua!” sambung Bu Rina tak mau kalah.
“Iya, ya, anak-anak sekarang lebih pinter cari rejeki dan pasangan,” komentar Bu Rahayu.
Maria yang mendengarnya hanya bisa tersenyum kaku, sambil beberapa kali memainkan gelas berisi sirup dan es batu tersebut. Acara arisan ini hanyalah sebuah kedok, yang sebenarnya terjadi, mereka hanya menginginkan pengakuan atas pencapaian besar anak-anaknya saja.
Tak lama kemudian, semua mata beralih menatap ke arah seorang wanita muda yang sejak tadi duduk dengan sopan, wajahnya bahkan tampak lemah lembut dengan senyum yang manis dan menenangkan.
“Ini Kumala, ya?” tanya Bu Lilis.
“Iya, Bu,” jawab Kumala sopan.
“Kamu sangat cantik sekarang, lemah lembut lagi. Sangat cocok dengan profesimu yang seorang guru.”
“Anaknya Bu Sarti ini memang beda. Wajar jika banyak para Ibu menginginkannya menjadi menantu.”
Bu Galuh juga ikut memperhatikan ke arah Kumala. Memang benar apa yang dikatakan oleh para Ibu, jika Kumala memiliki aura yang sangat kuat untuk dijadikan seorang menantu idaman. Sayangnya, David sudah menikah, jika belum Bu Galuh pasti akan rela bersaing dengan Ibu yang lain untuk mendapatkannya.
Belum lama pujian yang dilontarkan kepada Kumala, seorang Ibu kembali bertanya. “Bu Galuh, mana anak Ibu yang baru pulang dari kota?”
Bu Galuh sempat terdiam. Untuk apa mereka bertanya mengenai David? Tapi, untuk menjaga martabatnya di depan para tamu, Bu Galuh mulai memanggil, “David, ayo keluar sebentar, Nak.”
Tak lama kemudian, dari balik pintu muncul seorang pria tampan, tubuhnya tinggi dan tegap serta kulitnya juga sangat bersih. Ia tersenyum sangat sopan, membuat para Ibu sedikit terdiam hanya untuk menatapnya cukup lama.
“Selamat, sore,” sapa David ramah.
“Ini David? Aduh, ganteng banget ya. Kok bisa sih beda sama Doni?” celetuk seorang Ibu.
Tak hanya para Ibu, Kumala yang sejak tadi hanya duduk diam kini mulai ikut mencuri pandang ke arah David. Pria yang sempat menolongnya itu memang tampan, auranya sangat berbeda dari kebanyakan pria yang ada di daerah sini.
David membalas ucapan Ibu tadi dengan kekehan kecil. “Mas Doni kerja di lapangan, Bu. Wajar jika kulitnya tampak sedikit lebih gelap dari saya.”
Seorang Ibu lain menepuk pundak David. “Angin kota memang beda, ya?”
Maria yang mendengarnya hanya bisa menunduk sambil meremas baju terusan yang dipakainya. Doni adalah suaminya, lalu atas dasar apa mereka harus menghina dengan membandingkan Doni dengan David.
“Mana istrimu, dari tadi belum kelihatan,” Ibu lain mulai bertanya lebih jauh lagi.
David hanya diam, wajahnya panik tak tahu harus berbuat apa. Hingga Bu Galuh langsung mengambil alih dan mengatakan, “Istrinya David itu orangnya pemalu. Dia banyak mengurung diri di kamar sejak datang kemari.”
Para Ibu langsung berbisik dan mengatakan jika istri David itu mungkin saja tak terbiasa hidup di lingkungan seperti ini. Maklum, anak kota.
Tiba-tiba saja dari arah dapur muncul seseorang yang tengah membawa satu piring berisi kue basah, dia adalah Luna. Sedangkan tepat di belakangnya, sang Ayah mertua yaitu Pak Helmi, mengikuti langkah Luna dengan senyuman ramahnya.
“Nah ini dia, menantuku,” kata Pak Helmi sangat bangga. “Namanya Luna, dia pernah bekerja menjadi seorang chef utama di restoran mewah. Kalian belum pernah bertemu dengannya, kan?”
Seisi ruangan mendadak terdiam. Perhatian yang awalnya tertuju pada David, kini dalam sekejap berpindah pada Luna.
“Wah, hebat,” puji salah seorang Ibu tanpa ragu. “Bu Galuh sangat beruntung mendapatkan menantu berbakat seperti dirimu.”
“Wajahnya juga cantik, sangat serasi dengan David yang tampan.”
“Tentu saja. Menantuku itu bekerja di dalam ruangan, tidak seperti kita yang harus bekerja keras di ladang,” potong Bu Galuh dengan pedas.
Matanya mulai melirik tajam ke arah suaminya, Pak Helmi. Memberikan kode keras, seolah mengatakan siapa yang menyuruh Luna keluar dari dalam dapur. Tapi, Pak Helmi tak mau ambil pusing. Ia tetap akan membuat menantunya itu merasa nyaman tanpa gangguan dari mertua menyebalkan seperti Bu Galuh.
Tidak hanya Bu Galuh yang merasa panas. Kumala juga merasakan hal yang sama, dengan menilai jika Luna sebenarnya tidak cocok untuk menjadi istri pria tampan seperti David. Jarak usia mereka tampaknya tidak terlalu banyak, membuat Luna tampak lebih tua dari David.
‘Pria setampan David, harusnya bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik daripada Luna.’
Batin Kumala dalam hati. Meski memiliki pemikiran yang tidak seharusnya, Kumala masih berusaha untuk tetap tersenyum, menyembunyikan semuanya dengan sangat rapi.
David juga masih berdiri di tempatnya. Dadanya terasa sesak mendengar semua pujian yang seharusnya mengarah padanya, kini harus beralih pada Luna. Tatapannya mendingin, menganggap jika tidak seharusnya Luna dianggap lebih hebat darinya.
‘Seharusnya mereka hanya memujiku. Bukan kamu, Luna.’
Batin David dalam hati. Tangannya mengepal menahan segala amarah serta kecemburuannya.
BERSAMBUNG