calon suamiku tidak datang di hari pernikahan kami,sementara keluarga pamanku mendesak agar aku mencari pengantin penganti agar mereka merasa tidak di permalukan.terpaksa,aku meminta supir truk yang ku anggap tengil untuk menikahiku,tapi di luar dugaanku, suami penganti ya aku sepelehkan banyak orang itu...... bukan orang sembarang bagaaiman bisa begitu dia berkuasa dan sangat menakutkan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sheena Sheeila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
persiapan wisuda
Aku bangun lebih pagi menyiapkan diri untuk pelaksanaan wisuda.
Sambil menyapukan foundition ke wajah bayangan wajah ibu berkelebat di pikiranku. Membuatku jadi sedih lagi.
Apa iya ibu benar- benar tidak ingin melihatku wisuda?
Dulu dia yang menyemangati ku untuk lanjut kuliah agar bisa menjadi orang sukses. Lalu berkata sendiri, bahkan akan sangat bangga apa bila bisa mendampingiku saat diwisuda.
Nyatanya,hanya karna segan dengan kerabat suaminya yang punya hajatan,ibu melupakan kebanggaannya sendiri.
Ternyata tidak enak sekali rasanya klau berbagi ibu dengan keluarga yang lain. Aku sama sekali tidak berpikir sampai begini ketika memaksa ibu untuk menikah lagi waktu itu.
Astaga....jauh sekali pikiranku dan sudah kemana-mana saja.
Melihat jarum jam di dinding yang terus berputar, aku menghela napas panjang dan melanjutkan riasanku. Aku tidak bisa terus-menerus meratapi diri sementara sang waktu akan melindas ku. Rizal benar dunia akan terus berputar meski sesedih apapun diriku.
"Belum selesai?" suara Rizal yang baru masuk ke dalam kamar menggugah ku.
Aku bahkan tidak sadar air mata menitik dari sudut netraku. Rizal yang mengetahui itu bergegas duduk di tepi tempat tidur yang berdekatan dekat meja riasku.
Dia menarik tisu dari kotaknya lalu dengan lembut mengusap air bening di pipiku itu.
"Jangan menangis,ini sudah siang. Nanti riasanmu berantakan, lho." tukasnya.
"Oh,iya. Biar aku betulkan." aku mengalihkan pikiranku agar tidak lagi memikirkan ibuku. Meski hati tidak akan berhenti merana klau teringat hal itu.
"Kenapa? Ingat ibumu lagi?" tanya Rizal.
Ku hela napas panjang lalu menarik bibirku tersenyum menegarkan diri.
"Its oke, tidak apa. Ibu juga pasti repot klau membagi waktunya antar aku dan keluarganya," ujarku, sekalian menyemangati hatiku agar lebih legowo dengan keadaan yang berbeda antara ibu dan aku.
Bukankah dulu aku yang getol memaksanya menikah agar bisa berbahagia. Tidak seharusnya aku seperti anak kecil yang merengek hanya karna tidak di antar ibunya.
"Klau sudah ayo berangkat." tukas Rizal lagi.
"Eh, aku belum pakai lipstik, Rizal."
Aku belum menuntaskan riasan terakhirku. Memulas lipstik di bibirku. Tadi keburu sedih hingga terjeda untuk melamun sesaat.
"Oh, kukira kau sudah pakai lipstik."
"Mana ada? Tidak lihat bibirku masih pucat macam orang kena tipes?"
"Aku kira memang trendnya sekarang bibir pucat begitu. Wanita kan suka sekali bikin trend yang aneh-aneh."
Aku hanya terkekeh mendengar candaan Rizal. Pria ini pandai sekali membuatku yang tadinya sedih begitu saja tertawa.
Tanganku sedikit licin terkena lotion, jadi meminta Rizal membantuku membuka tutup lipstik.
Rizal tidak hanya membantuku membuka lipstik itu. Tapi dia memulaskannya di bibirku. Padahal aku menolaknya, tapi Rizal masih bersih keras.
"Awas klau belepotan. Ini sudah mepet waktunya!" omelku memperingati Rizal.
"Klau bibirmu tidak diam ,jangan salahkan aku jika belepotan!" pria itu justru megancamku. Sambil mencengkal daguku, dia berusaha sangat hati-hati mengoleskan kuas lipstik itu ke bibirku. Seolah sedang melukis di kain kanvas.
Melirik pria ini, Hatiku menghangat. Rasa kecewa karna ibu tidak datang berganti dengan rasa syukur masih ada orang yang perduli dan menemaniku ini.
Dia bukan ayahku,bukan saudaraku, bukan pamanku, bukan siapa-siapku. Hanya pria yang tiba-tiba datang mengucapkan akad nikah. Tapi saat ini yang menjadi satu-satunya orang yang perduli padaku.
"Sudah," ujarnya mengulas senyum kemenangan karna berhasil mengoleskan lipstik itu dengan baik.
Aku seolah tidak terima dia berbangga diri. Pria yang sehari-hari memegang dongkrak dan obeng itu bagaimana bisa semudah itu melakukannya.
"ini belum rata. Klau tidak rata nanti kelihatannya tebal dan menor bangat." aku mengusilinya.
Rizal tidak keberatan. Dia mengusap bibirku dengan ujung jarinya. Lalu Sedikit terkejut karna lipstik tidak menempel di jarinya.
"Ini sudah kering?" tanyanya heran karna lipstiknya langsung menyatu kulit.
Aku hanya menahan senyum melihatnya keheranan.
Namun sebelum aku sempat menjawab, Rizal langsung nyosor saja menciumku.
"Rizal, sudah!" aku mendorong tubuh pria besar itu agar tahu waktu.
bukannya tadi dia yang meminta ku cepat bersiap, sekarang malah mencium ku.
" ada yang bangkit karna melihat bibir merahmu," bisik Rizal di telinga ku.
"Jangan macam-macam, Rizal. Nanti kita terlambat!"
Aku harap pria ini tidak lupa klau hari ini aku wisuda.
"Sebentar saja, nanti aku bantu ko Rias lagi."
Dengan tambeng Rizal justru melorotkan kebayaku dan memenuhi keinginan nya.
Aku berteriak macam gadis yang ingin diperkosa oleh seorang pria, ketika Rizal mengendong tubuhku ke tempat tidur lalu melucuti kebaya yang sudah ku gunakan.
beruntung gerakkan mendesaknya tidak merusak kebayanya.
"Rizal,please! Kita bisa melakukannya lain waktu. Aku akan melayani mu kapanpun kau mau. Tapi jangan sekarang...." mohon ku meski sudah terkungkung di bawah tubuh besar Rizal.
Rizal tidak perduli. Dengan gencar menghujaniku dengan cumbuan yang penuh gaira. Meski sekuat tenaga aku terus berusaha mendorongnya. Namun, tenagaku tidak sebanding dengan pria ini. Jadinya aku hanya pasrah di perkosa oleh suamiku sendiri.
"Bagaiman sayangku? Mau di lanjut atau di hentikan saja?" tanya Rizal yang tiba-tiba menghentikan kegiatannya ketika aku sudah tidak berdaya.
Licik sekali pria ini menanyakan hal itu ketika aku sudah begini terstimulasi.
Ku dorong dadanya dan sekarang justru aku yang balik menyerangnya.
Ahaha, munafik sekali diri ini. Tadi menolak- nolak, sekarang lebih semangat dan memegang kendali permainan.
Sudahlah, terlambat pun tidak jadi soal. Wisuda itu hanya formalitas semata. Menjalaninya setelahnya adalah apa yang di sebut real life yang akan kami jalani dalam berumah tangga. Ya'kan?
Namun ketika pergulatan itu selesai, aku dengan sebal tetap menyalahkan Rizal karna harus membuatku terlambat ke kampus.
"Percaya padaku, acara wisuda mu tidak akan mulai sebelum kau datang," tukas Rizal yang membantu memandikanku setelah kegiatan itu.