- 𝗨𝗽𝗱𝗮𝘁𝗲 𝗦𝗲𝘁𝗶𝗮𝗽 𝗛𝗮𝗿𝗶 -
Ria merupakan seorang mahasiswi yang dulunya pernah memiliki kedekatan dengan seorang pria bernama Ryan di dunia maya. Hubungan mereka awalnya mulus dan baik-baik saja, tapi tanpa ada tanda-tanda keretakan berakhir dengan menghilang satu sama lain. Sampai Ryan menghubungi kembali dan ingin memulai hubungan yang nyata.
Akankah Ria menerima atau menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nelki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Janji
Notifikasi pesan menghiasi layar ponselku. Pagi ini dipenuhi dengan suara itu. “Hih ganggu aja sih tu orang. Brisik tau,” gerutuku. Aku meraih ponsel itu mematikan datanya juga mengubah modenya menjadi senyap. “Gini kan enak,” kataku seolah masalah hati telah berlalu. Ini hari libur saatnya refresing dong gais. Aku segera bersiap untuk mengunjungi taman favoritku yang ada danaunya. Tak hanya itu pepohonan di sana juga rindang sangat cocok untuk bersantai. Udaranya pun sejuk. Di tambah lagi kita bisa menikmati kicauan burung yang berlalu-lalang di sana. Pokoknya mantap, bikin saraf rileks.
Aku segera bersiap untuk berkunjung ke danau favoritku. “Sudah rapi tinggal berangkat,” kataku dengan semangat. Ketika aku mengunci pintu kost, dia datang dengan tampang muram. Yah siapa lagi kalau bukan Fina. Aku menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tampak sama saja tapi kenapa?
“Fin lo kenapa?”
“Putus… Ri…” katanya lalu menghambur ke arahku. Dia memelukku seolah meminta kekuatan.
“Udah-udah jangan nangis lagi! Mending ikut aku ke danau yuk!” ajakku.
Dia melepaskan pelukannya lalu berjalan membelakangiku.
“Fin…”
“Aku mau sendiri dulu,” jawabnya tanpa menoleh.
Tubuhnya menghilang ditelan ambang pintu kost putri yang tak jauh dari tempatku. Aku menghela nafas berat. “Seandainya dari dulu lo dengerin apa kata gue,” batinku seolah menyesal membiarkan temanku menerima cinta dari laki-laki seperti dia. Aku menatap lagi kost Fina. Sepi, dia butuh waktu sendiri. Aku pun melangkah menuju halte bus.
“Kok lama sih?” keluhku karena tak ada bus yang kosong. Nyaris penuh semua.
Wajarlah orang aku berangkatnya juga jam delapan pagi. Bis mah dah pada lewat. Harus nunggu sekitar satu jam. Baru juga 15 menit tapi rasanya udah kaya setahun. Aku menunggu bus di halte. Kepalaku tertunduk ke arah layar ponsel. Jemariku lihai membuka di setiap itemnya. Hingga sampailah jari ini menklik aktifkan data.
Tak butuh waktu lama, pesan-pesan itu mulai muncul di sana. “Ampun dah libur juga masih ada yang ganggu,” kataku. Seketika niatan bermain ponsel aku urungkan. Datanya mulai ku nonaktifkan kembali. Tanpa aku sadari ada sosok yang diam-diam mengintaiku. Namun, aku tak pernah menyadarinya.
Jenuh sekali menunggu bus lewat. Jadi akhirnya aku menyetop salah satu ojek yang sedang lewat. “Pak pak pak berhenti dulu!” teriakku.
Dia berhenti di tepi jalan, aku langsung menghampirinya dan bertanya, “Bapak ojek bukan?”
“Iya kenapa dek?”
“Bisa anterin saya ke danau deket taman kota pak?”
“Bisa, bisa. Ayo naik!”
“Siap pak makasih,” jawabku sambil tersenyum girang.
Sesampainya di tempat tujuan. Aku turun dari motor ojek. “Berapa pak?”
“Sepuluh ribu dek.”
“Ini pak,” kataku sambil menyodorkan upah yang diminta. Selepas bapak itu menerimanya dia segera pergi. Sedang, aku menuju ke arah danau.
Tepat di tepi danau itu, aku terdiam menikmati udara yang begitu segar menyentuh wajahku. Setelah, puas aku berjalan ke kursi panjang yang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku duduk di sana. Aku mengambil poselku dan seketika jiwa-jiwa fotografer menjalar di tubuhku. Berbagai objek yang menurutku indah segera ku potret.
Tak jauh dari tempatku, seorang pemuda bertubuh jangkung mengedarkan pandangannya. Dan berhenti saat menemukan sosok yang tengah di carinya. Senyum tipis yang bisa memikat hati para wanita tertuju pada wanita di kursi panjang dekat dengan danau. Ia melangkah dengan mantap menuju ke arah wanita itu. “Dia pasti terkejut,” batinnya senang.
Aku tak menyadari ada seseorang di belakangku. Karena suasana begitu hening. Tiba-tiba aku mendengar seseorang berdeham. “Ehemm…” refleks aku menoleh ke belakang dan menemukan sosok pemuda bertubuh jangkung sedang tersenyum manis ke arahku. Aku hanya menaikkan alis seraya berkata, “Maaf kamu siapa?”
“Pengunjung aja sih. Boleh duduk di situ?” tanyanya sambil menunjuk tempat kosong di sampingku.
Aku hanya mengangguk pelan. Dia pun menuju tempat duduknya. Dia menyandarkan punggungnya di kursi panjang. Aku heran kenapa dia terlihat bahagia sekali seolah menyembunyikan tawa.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
“Ria ga ngenalin aku yah,” tebaknya sambil menatap kedua mataku.
“Eh… kamu tahu nama saya?”
“Iya,” jawabnya singkat.
“Maaf saya ga kenal kamu. Aku aja baru kali ini ketemu sama kamu. Masa belum kenalan udah tahu,” kataku dengan nada kebingungan.
“Bagaimana ya aku jelasinnya ke kamu?” katanya sambil berpikir. Aku masih diam saja menunggu penjelasan darinya.
“Aku pernah janji kan sama kamu…” ia menjeda ucapannya.
“Maksudnya janji apa?”
“Nemuin kamu di Jogja. Terus kalau aku beruntung bisa dapetin hati kamu. Ini kan masuk tantangan kamu kan?” jelasnya.
Aku mematung, mencoba mengingatnya. Rasanya aku pernah menantang seseorang tapi siapa? Sampai akhirnya aku teringat seseorang yang belakangan ini menghubungiku. Mataku terbelalak sambil menatap pemuda itu. Jariku mengarah padanya.
“Jangan-jangan kamu…”
“Kaa…muu…” kataku terbata-bata. Pemuda itu menaikkan satu alisnya. “Siapa?” tanyanya.
“Emm… Ryan bukan?” jawabku ragu.
Pemuda itu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku menggeser posisiku. Namun, matanya menatapku tajam. Dia seolah ingin mengunci pandanganku.
“Iya…” katanya dengan yakin. Dia pun kembali ke posisi duduknya tadi.
“Kau tahu, aku berusaha ke sini hanya untuk menepati sebuah janji,” katanya masih menatap danau di depan.
“Lalu, kenapa hanya untuk satu hal saja kakak mau melakukannya?” tanyaku.
“Karena ada sesuatu yang tiba-tiba kurasakan,” jawabnya.
Usai menyelesaikan kalimatnya, dia menoleh. Aku sempat salah tingkah saat matanya menatapku penuh isyarat. Dia tersenyum sambil geleng-geleng. “Ga usah salting gitu!”
“Eh… apa? Salting? Siapa? Ngaco kakak nih,” elakku sambil berlagak baik-baik saja.
“Oh… kirain, tapi tadi itu kamu kaya…”
“Eh apa tuh di sana?” kataku mencoba mengalihkan perhatiannya dan berhasil. Dia tak melanjutkan ucapannya.
Kak Ryan melihat ke arah yang kutunjukkan tadi. Dia berdeham, “Ehem… ga ada apa-apa juga,” katanya. Aku menurunkan tanganku. “Hehehe… maaf kak, bercanda,” kataku meringis. Dia membuang napas berat. Kemudian, menatapku lagi.
“Apa kamu udah dilamar seseorang?” tanyanya.
Pertanyaan yang cukup mengejutkanku. Sampai-sampai aku bingung mau menjawab apa. “Eh… kalo itu…”
“Udah ada ya?” tebaknya dengan wajah sedih.
“Tanya ke orang tuaku aja kak!”
“Hmm… rumah kamu di mana?”
“Hah… ngapain tanya rumahku?”
“Lho tadi suruh tanya orang tuamu. Kok malah tanya balik.”
“Itu… maksudku…” aku menjedanya sambil mengetukkan jari telunjuk di pelipis.
“Kenapa? Ada masalah?”
‘Enggak, nggak ada.”
“Memangnya mau ke sana kapan?” tanyaku hati-hati.
“Sekarang. Gimana menurutmu?”
Aku membelalakkan mata. Mulutku menganga namun, langsung kututup kembali. Seolah tak percaya dengan jawaban orang di sampingku ini. Seserius inikah dia?
“Ria…” tegurnya.
Aku menoleh ke arahnya dengan ragu. Ku gigit bibir bawahku. Mataku mengisyaratkan ketegangan yang luar biasa.
“Kalo ada yang serius apa mau ditolak?”
“Itu sih tergantung kak.”
“Oh, ya. Apa aja yang bikin gantung?”
“Mungkin hatiku,” jawabku sambil menunduk.
“Ada yang kamu suka ya?”
Aku terdiam. “Iya kak, ada dan orang itu sekarang ada di sampingku, tapi aku ngrasa ga pantes buat orang kaya kamu kak,” kataku dalam hati.
“Kalo memang ada, aku pengen ketemu dia. Bolehkan?”
Aku mendongakkan wajahku. “Mau ketemu kak?” tanyaku memastikan. Dia mengangguk santai meski aku tahu dia sedih. Aku diam lagi.
“Boleh ga?” tanyanya lagi.
“Emm… anu. Masalahnya aku ga tau,” kataku jujur.
“Maksudnya dia ga ada di daerah sini atau gimana?”
“Bukan. Bukan itu kak.”
“Terus apa?”
“Aku ga tau siapa orangnya,” kataku jujur sambil menggigit bibir bawahku. Tanganku reflek menggaruk puncak kepalaku yang gatal.
Kak Ryan yang mendengar jawabanku malah bingung. Dia terheran-heran padaku. “Maksudnya. Kamu ga tahu kamu suka sama siapa gitu,” tanyanya sambil mengangkat sebelah alisnya. Kemudian, dia tertawa kecil.
“I…i…iya gitu kak,” kataku sambil manyun.
Pengakuanku seolah tak didengarnya. Kak Ryan justru malah tertawa lebih keras lagi. Aku gemas melihat tingkahnya yang tak menghargai pengakuanku. Tanganku terangkat ingin memukul lengannya, tapi dia begitu sigap dan langsung menghindar. Pukulanku hanya mengenai udara kosong.
“Udah dong kak. Aku dah ngaku juga, masa diketawain terus sih,” gerutuku.
“Habis lucu aja. Masa ada orang suka sama orang terus ga tau orangnya. Kan aneh hahaha…”
“Kakak…!” teriakku.
Ryan tahu bahwa aku akan mengejarnya. Karena itu, dia berlari lebih dulu. Sungguh hal yang tak sepadan. Aku yang tingginya tak setara dengannya terengah-engah mengejarnya. Tubuh jankung dan kaki panjang tentunya membuat jarak yang lumayan jauh dariku. Adegan kejar-kejaran itu tak berlangsung lama. Aku menyerah karena lelah.
“Udah ah. Aku capek lari!” teriakku ke arah kak Ryan.
Ryan hanya menoleh. Dia menghentikan langkahya dan berbalik menghampiriku yang duduk di atas rerumputan. Aku sengaja menundukkan pandanganku karena ada rencana kecil. Jarak Ryan cukup dekat dan dia berjongkok di sampingku.
“Maaf deh. Jangan marah ya,” ujarnya.
Aku menatapnya tajam. “Masih marah tahuk,” kataku kesal. Ryan mengangkat alisnya dan tersenyum manis ke padaku. Disentuhnya pundakku dengan lembut seraya mengeluarkan rayuan manis, “Kamu mau apa? Aku beliin deh.”
“Serius?”
“Iyaa…”
Tawaran menarik itu membuatku lupa pada rencanaku sebelumnya yang ingin memukulinya saat ada di dekatku. Aku berpikir sejenak lalu, terpintas sebuah ide mengerjainya.
“Aku mau kamu jadi supir,” kataku.
“Hah? Supir?” kata Ryan terkejut.
“Iya, kamu jadi supir aku jadi penumpang. Gimana?”
“Supir apa dulu nih?”
“Supirman hahaha…” kataku girang.
“Wah kamu ini ada-ada aja.”
“Iya benerkan. Supirman kan supir laki-laki. Hahaha…”
“Itu jadi supir perahu di danau itu lho kak. Ada perahu nganggur tuh,” lanjutku sambil menunjukkan tempatnya dengan jari telunjuk.
Ryan mengikuti arah tanganku. Dia melihat perahu kecil yang tertambat di sana. Sedetik kemudian dia mengiyakan permintaanku itu. Aku tersenyum girang. “Kali ini ga akan gagal deh. Aku ceburin kamu ke danau,” pikiran licikku. Kami segera mendekati perahu itu. Aku menaikinya kemudian, disusul oleh Ryan. Dia berada di belakang sibuk melepas tali pengikatnya. Selanjutnya, dengan tenang dia mendayung.
Aku diam-diam menyusun strategi untuk menceburkannya. Namun sebelum rencana itu terlaksana, seekor katak melompat ke dalam perahu. Aku berteriak-teriak seperti orang gila sambil berjingkat-jingkat di ujung perahu. Ryan memperingatkanku untuk tak terlalu menepi, tapi aku sudah terlanjur panik. Tubuhku limbung lalu, masuk ke dalam air.
Ryan bertindak cepat saat aku hanya bisa melambaikan tangan. Samar-samar dia mendengarku yang meminta tolong karena memang aku tak bisa berenang. Dia melepas jaket dan sepatunya. Dia langsung menyambut air danau yang hampir menelanku hidup-hidup. Kesadaranku pun menghilang. Sesaat kemudian, tubuhku sempurna masuk ke air tiba-tiba saja terangkat oleh lengan seseorang.
Ryan membawa tubuhku yang lemah ke tepian. Dia membaringkanku di tepi danau. Ditekan-tekannya perutku dengan sekuat tenaga. Air yang masuk ke tubuhku keluar. Mataku terbuka, Ryan membantuku duduk. Belum sempat dia bertanya mengenai keadaanku, aku sudah memeluknya erat.
“Aku takut…” kataku terisak.
“Udah ya. Tenang! Ada aku di sini,” balas Ryan sambil mengelus punggungku dengan lembut.
Aku masih memeluknya bahkan lebih erat dari sebelumnya. Rasanya aku benar-benar takut. Selepas pelukan itu terurai, aku meminta maaf padanya. “Maaf kak tadi aku…” belum selesai aku berucap, Ryan seolah mengerti maksudku. Dia mengatakan, “Iya gapapa kok. Santai aja.”
“Dia menjawab seolah semua baik-baik aja padahal, aku tadi memeluknya dengan erat. Apa itu pantas dibilang gapapa?” batinku.
“Aku anter kamu pulang yah,” tawarnya.
Aku hanya mengangguk lemah sambil mengiyakan tawarannya. Sementara itu, orang yang melihatku nampak setuju beranjak ke danau lagi untuk mengambil barang-barang yang masih tertinggal di perahu.
“Ini tas kamu,” katanya sambil mengulurkan tasku.
Aku menerimanya. Ryan memakaikan jaketnya di tubuhku. Sontak saja aku kaget dan langsung menolaknya secara halus. “Enggak usah kak,” kataku.
“Udah pake aja! Gapapa kok. Dari pada kamu masuk angin,” jawabnya penuh perhatian.
“Makasih kak, tapi nanti kakak yang masuk angin.”
“Ya gapapa dong.”
“Lho kok gapapa?”
“Iya gapapa penting kamu enggak,” tegasnya sambil memamerkan senyum manisnya.
“Soalnya kalo aku sakit, kamu bisa nemenin aku nantinya,” lanjutnya.
“Apa?”
“Biasa aja kali. Ga usah ngegas gitu.”
“Maksudnya apa tadi ngomong gitu?”
“Ya, cuma seandainya aja sih.”
“Seandainya apa lagi? Ih kamu tuh ya nyebelin tau kak,” kataku mulai kesal.
“Seandainya suatu saat nanti kita beneran bisa sama-sama dalam satu ikatan suci yaitu sebagai keluarga,” ucapnya tegas penuh dengan percaya diri.
“Idih ngarep amat,” kataku lalu, beranjak meninggalkannya.
Ryan yang tadi dalam posisi jongkok juga segera beranjak menyusulku. Aku memang tak mampu berlari karena tubuhku rasanya tak punya energi. Dengan waktu cukup singkat Ryan sudah di sampingku dengan tangan kiri membawa sepatunya.
“Kok aku ditinggal sih?” katanya penuh nada manja.
“Ga penting,” kataku sambil menatap matanya tajam.
“Apa kamu bilang, aku ga penting?” sahutnya dengan wajah dibuat-buat seperti orang terkejut.
“Iya…”
“Aku tadi yang nolongin kamu. Apa kamu lupa?”
“Ga,” jawabku cuek.
“Terus maksudnya ga penting apa?”
“Ga penting buat ditungguin,” teriakku di telinganya.
Aku segera mempercepat langkah ke tempat parkir. Sementara, dirinya masih mengelus-elus telinganya yang nyaris tuli akibat teriakkanku tadi. Ryan pun segera menyusulku. Nampaknya dia sudah tertinggal jauh dan aku menunggunya. Tiba dirinya di depanku, aku langsung memerintahkannya menyiapkan kendaraan untuk pulang. Sudah seperti ratu saja yah.
Ryan hanya menurut saja dengan perempuan ini. Dia segera memasuki mobilnya dan memposisikan dengan benar. Lalu, mobil itu melaju ke tempat seseorang itu berada. Diberhentikannya mobil itu tepat di sampingku. Jendela itu terbuka, menyajikan wajah tampannya. Aku sempat terpana namun, segera sadar saat dia meneriakiku untuk masuk.
Aku memasuki mobilnya dan duduk tepat di sebelahnya. Sepintas aku meliriknya. “Kenapa dia keliatan ganteng banget sih?” batinku. Ryan menyadarinya dan langsung mengangkat sebelah alisnya. “Apa liat-liat?”
“Nggak kok, ga usah kepedean deh. Siapa juga yang mau liatin kamu,” kataku sambil menjulurkan lidah.
“Awas ya nanti kalo beneran suka sama aku,” ancamnya.
“Bakal aku…” lanjutnya dengan gerakan tangan memenggal leher.
“Astaga jahat banget,” kataku dengan tampang cemberut.
“Ga kok bercanda aja. Mana mungkin aku jahatin kamu.”
Selepas mengatakan itu, Ryan melajukan mobilnya. Dia menyetir dengan fokus. Aku jadi tidak enak kalau mengganggunya. Jadi sepanjang perjalanan aku hanya diam kecuali dia bertanya sesuatu. Di tengah perjalan Ryan mengatakan bahwa akan mengajakku ke butik karena baju kami sama-sama basah kuyup. Karena aku hanya penumpang jadi ngikut kata dia aja dari pada nanti diturunin di tengah jalan.
Aku mulai jenuh karena dia tak mengajakku ngobrol lagi. Akhirnya aku mulai mengajaknya bicara. Meskipun, kami terlihat canggung.
“Berapa lama lagi?”
“Bentar lagi kok,” jawabnya santai.
Kurang lebih lima menit kami tiba di pelataran sebuah butik ternama di Jogja. “Eh ya ampun gila nih orang masa di sini. Bisa-bisa tekor gue,” pikirku. Setelah mesin mobil mati, kami segera turun. Untung sedang sepi ga kebayang kalo rame ada dua orang masuk dengan pakaian basah kuyup.