Karena sebidang tanah, Emilia harus berurusan dengan pemilik salah satu peternakan terbesar di Oxfordshire, yaitu Hardin Rogers. Dia rela melakukan apa pun, agar ibu mertuanya dapat mempertahankan tanah tersebut dari incaran Hardin.
Hardin yang merupakan pengusaha cerdas, menawarkan kesepakatan kepada Emilia, setelah mengetahui sisi kelam wanita itu. Hardin mengambil kesempatan agar bisa menguasai keadaan.
Kesepakatan seperti apakah yang Hardin tawarkan? Apakah itu akan membuat Emilia luluh dan mengalah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15 : Bunga yang Tertinggal
Emilia langsung menggeleng, membantah tegas pertanyaan Meredith. “Aku sedang mencari angin, ketika Tuan Rogers datang ke sini,” sangkalnya.
“Kebetulan sekali.” Nada serta tatapan Meredith menyiratkan rasa tak percaya, atas ucapan sang menantu. “Ada yang memberitahuku bahwa kau dan Blossom pergi dengan Tuan Rogers menggunakan mobilnya. Apakah itu benar?” selidik wanita paruh baya bertubuh agak gemuk tersebut.
Emilia tidak langsung menjawab. Keluhan pelan meluncur dari bibir wanita cantik dengan tinggi 170 cm tersebut. Dia paling malas jika sudah dihadapkan pada situasi seperti itu.
“Jadi, apa yang kudengar memang benar?” Meredith kembali bicara, tanpa menunggu pernyataan dari Emilia.
“Aku minta maaf, Bu. Tuan Rogers hanya kasihan karena Bee sudah terlambat pergi ke perpustakaan kota. Tidak ada alasan lain,” jelas Emilia.
“Dan kalian pulang bersama.”
“Aku sudah menyuruhnya kembali ke Rogers Farm. Namun, dia bersikeras ingin menunggu sampai Bee menyelesaikan kegiatan di perpustakaan kota,” jelas Emilia lagi, berharap Meredith memahaminya.
Meredith manggut-manggut. “Jadi, es krim itu pemberian Tuan Rogers?”
“Aku sudah melarang Bee menerima pemberian Tuan Rogers. Namun, kau tahu sendiri seperti anak itu, Bu. Aku tidak mau berdebat di tempat umum. Jadi ___”
“Apa kau tidak merasakan ada sesuatu yang aneh pada Tuan Rogers?” sela Meredith.
Emilia tak langsung menjawab karena mencoba mencerna terlebih dulu maksud pertanyaan sang ibu mertua. Namun, dia tak bisa memahami ke mana arah yang Meredith maksud. Emilia menggeleng pelan. “Apa maksudmu, Bu?” tanyanya, sekadar memastikan.
“Kau benar-benar tidak menyadari atau hanya berpura-pura tak peduli?” Nada pertanyaan Meredith terdengar kurang bersahabat. Meredith menunjukkan rasa tak suka, melihat Emilia berdekatan dengan Hardin.
“Ya. Ada banyak hal penting yang harus kuperhatikan. Tuan Rogers tidak termasuk dalam daftar itu. Jadi, jika kau mengatakan aku tidak menyadari dan tidak peduli, kuanggap keduanya benar,” pungkas Emilia, yang tak ingin melanjutkan perdebatan.
Meredith terdiam, dengan tatapan terus tertuju kepada sang menantu. Rasa takut dalam dirinya begitu besar. Dia tak ingin kehilangan Emilia dan Blossom, yang sudah menemaninya selama ini.
“Tuan Rogers menawarkan sebidang tanah di dekat peternakan, sebagai ganti rugi selain uang yang akan dibayarkan untuk harga jual tanah ini,” ucap Emilia, mengalihkan topik pembicaraan.
“Kau tahu bahwa aku tidak akan pernah menjual tanah ini, Millie,” tegas Meredith, tetap pada pendiriannya.
“Aku sudah mengatakan itu berkali-kali, Bu. Namun, Tuan Rogers mengatakan jika kita tetap berada di sini, belum tentu akan merasa nyaman,” jelas Emilia.
“Kenapa?”
“Dia akan membangun penginapan dan …. Kurasa, dia akan menjadikan tempat ini sebagai destinasi wisata yang terhubung dengan Rogers Farm. Aku bahkan ditawari untuk membuka toko kue sendiri. Ajudannya mengetahui bahwa aku suka menitipkan roti di toko Nyonya McCallister," terang Emilia.
“Kau menerima tawaran pria itu?”
Emilia mengembuskan napas pelan bernada keluhan. “Itu impianku, Bu. Aku ingin memiliki toko kue sendiri. Namun, ada banyak hal yang jadi pertimbanganku selama ini. Sejujurnya, aku seperti mendapatkan jalan dari Tuhan, saat Tuan Rogers menawarkan itu.”
Meredith terdiam, dengan tatapan tak teralihkan dari Emilia. Dia tahu betul akan impian sang menantu. Selama ini, Emilia berjuang untuk mereka. Ibunda Blossom tersebut tak pernah bersikap egois, dengan hanya memikirkan diri sendiri.
“Jika kita tidak pindah dari sini … aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa. Mungkin, kita akan terganggu dan kehilangan ketenangan karena suara gaduh. Pasti akan ada banyak orang yang berlalu-lalang di sekitar sini.”
Meredith masih tetap diam, dengan tatapan terus tertuju kepada Emilia. Entah apa yang wanita paruh baya itu pikirkan. Sesaat kemudian, barulah dirinya beranjak dari dekat jendela. “Kau mulai termakan oleh rayuan pria itu sehingga berusaha meyakinkanku?” ujarnya cukup datar.
“Seluruh rumah di arena ini sudah rata dengan tanah, Bu. Hanya rumah kita yang masih berdiri dan jadi satu-satunya. Kurasa, tawaran Tuan Rogers tidak terlalu buruk. Mendiang ayah mertua pun pasti memahami situasi yang kau hadapi.”
“Ini adalah bukti cintaku kepada Samuel, dengan tetap menjaga peninggalannya!” tegas Meredith.
“Kisah cinta kalian tak akan terenggut keindahannya, hanya karena kau meninggalkan tempat ini, Bu. Cinta tidak mengurung seseorang dalam penjara kenangan masa lalu. Cinta adalah ….” Emilia terdiam sejenak, sebelum melanjutkan ucapannya.
“Cinta adalah keikhlasan, melepaskan dan menerima.” Emilia langsung menggigit bibir bawah, setelah mengutip kata-kata Hardin. Meskipun merasa konyol, tetapi dia tidak memiliki pilihan lain. “Aku lelah, Bu. Aku sudah menyampaikan pesan dari Tuan Rogers. Dia memberi kita waktu selama dua hari.”
Setelah berkata demikian, Emilia berbalik hendak kembali ke kamar. Namun, langkahnya terhenti karena mendengar ucapan Meredith.
“Kau akan membawa bunga itu ke tempat tidur?”
Emilia menoleh, menatap dengan sorot tak mengerti. Sesaat kemudian, wanita cantik dengan baju tidur berlapis peignoir merah muda itu teringat akan sesuatu. Emilia menyentuh telinga sebelah kiri, di mana Hardin menyelipkan setangkai bunga kecil berwarna biru terang.
“Ini bukan apa-apa. Tuan Rogers hanya iseng menggodaku,” ucap Emilia, seraya mengambil bunga itu, lalu meremasnya pelan. “Selamat malam, Bu.”
Emilia berbalik, kemudian melanjutkan langkah menuju kamar sambil terus menggenggam bunga Forget-Me-Not pemberian Hardin. Setelah berada di dalam kamar, dia membuka kepalan tangan. Tampaklah bunga dengan kelopak yang sudah lusuh dan hampir hancur.
“Apa-apaan ini, Tuhan? Kenapa kau membuatku berada dalam situasi seperti ini?” gumam Emilia, kemudian berjalan ke dekat tempat tidur. Dia mengambil sesuatu dari bawah bantal, yaitu selembar foto yang memperlihatkan kebersamaannya dengan seorang pria.
Emilia duduk di tepian tempat tidur, sambil terus memandangi foto itu. “Grayson,” ucapnya lirih karena menahan perih. “Kau di mana?”
Tanpa terasa, air mata menetes membasahi pipi dan sudut bibir. Lebih dari empat tahun telah berlalu. Emilia melalui hari-hari dalam penantian panjang tak berujung. Dia tak tahu sampai kapan semua itu akan berakhir.
Terkadang, Emilia kehilangan harapan besar yang jadi pegangannya selama ini. Namun, keberadaan Blossom membuat wanita 25 tahun tersebut tetap bertahan.
Keesokan harinya
Siang itu, Albert datang menghadap ke ruang kerja Hardin, untuk memberikan laporan harian. Sambil menunggu Hardin yang belum muncul di sana, dia mengamati toples kaca berisi tanah.
“Kau sedang apa?” tanya Hardin, yang masuk tanpa sepengetahuan Albert.
“Tuan. Bagaimana kabar Stacey?” Albert tersenyum, seraya bertanya demikian.
“Kau pastikan saja sendiri,” jawab Hardin, setelah duduk di belakang meja kerja. “Bagaimana?”
“Ini laporan kemarin.” Albert menyodorkan catatan ke hadapan Hardin. “Aku juga sudah berbicara dengan Maria. Dia adalah sahabat dekat Emilia.”
Aku mikirnya jauh ya
upss..kok cacingan sih..