Di sebuah pesta keluarga, Arga bertemu dengan Kalista, yang langsung mencuri perhatian dengan pesonanya. Tanpa ragu, mereka terjerat dalam hubungan terlarang yang menggoda, namun penuh bahaya.
Saat Arga menyadari bahwa Kalista adalah simpanan pamannya, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Arga harus memilih antara cinta yang terlarang atau melindungi nama baik keluarganya, sementara godaan terus membara.
Akankah Arga tetap memilih Kalista meski harus mengorbankan segala-galanya, atau akan ia melepaskannya demi menjaga kehormatan keluarga? Apakah ada cara untuk keluar dari cinta yang terlarang ini tanpa merusak segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindu Firdaus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Godaan yang Sulit Ditolak
Pagi itu, apartemen Arga terasa sunyi meski matahari sudah tinggi. Kalista masih tertidur lelap di atas ranjang, rambutnya terurai di bantal, dan selimut putih membungkus tubuhnya. Arga duduk di sisi tempat tidur, menatap wajahnya dalam diam. Wajah itu yang dulu asing, kini menjadi pusat dunianya, sumber kebahagiaan sekaligus kegelisahan.
Pikiran Arga melayang kembali ke malam tadi. Setelah pengakuannya pada Arman, semuanya berubah. Ia tahu keputusannya akan menimbulkan badai. Tapi bagaimana mungkin ia meninggalkan Kalista, perempuan yang membuatnya merasa hidup setiap kali disentuh?
Perlahan, Kalista membuka mata. Pandangannya kabur sejenak, lalu tersenyum ketika melihat Arga.
“Kau belum tidur?” bisiknya serak.
“Aku tidur sebentar. Lalu bangun, dan terlalu sibuk mikirin kamu,” ucap Arga sambil menyelipkan helai rambut dari wajah Kalista.
Kalista menggeliat pelan. “Aku mimpi buruk semalam. Mimpi kau pergi tanpa pamit.”
Arga menghela napas panjang. “Aku di sini. Dan aku nggak akan pergi. Kita akan hadapi semuanya, Kalista.”
Perempuan itu memandang Arga dengan mata berkaca-kaca. “Tapi kau tahu, Arga... kita sedang bermain api. Dan aku takut kita benar-benar terbakar.”
“Aku tahu,” ucap Arga pelan. “Tapi api yang membakar bersama orang yang kita cintai... kadang lebih baik daripada hidup dalam dinginnya penyesalan.”
Kalista duduk perlahan, membiarkan selimutnya turun hingga bahu. Kulitnya yang lembut tampak tersinari cahaya pagi, dan Arga langsung tergoda.
Kalista sadar akan tatapan itu. Ia mendekat, mencium pelan bibir Arga. Ciuman yang tak meminta, hanya memberi. Namun godaan itu sulit ditolak.
“Kalau kita akan terbakar,” bisik Kalista, “setidaknya kita menikmatinya sampai habis.”
Arga menariknya ke pelukan, lalu membaringkannya kembali dengan tubuhnya menyusul. Di balik tirai jendela yang berkibar pelan, dua insan tenggelam dalam api hasrat yang tak bisa padam mereka memilih cinta yang salah, tapi terasa terlalu benar.
Sore hari, Arga duduk sendirian di balkon, mengenakan kaos tipis dan celana pendek. Tangannya memegang gelas kopi, sementara pikirannya melayang pada masa depan yang tak pasti. Ia sadar, Arman tidak akan tinggal diam. Hubungan darah mereka kini tak cukup untuk membendung amarah.
Kalista keluar dengan mengenakan kimono tipis warna merah muda, duduk di sebelah Arga. Wangi parfum khasnya tercium samar, aroma yang dulu begitu asing, kini begitu melekat.
“Kamu serius mau terusin ini?” tanyanya tiba-tiba.
Arga menoleh. “Serius. Aku nggak bisa mundur sekarang.”
Kalista memandang langit. “Kadang aku berharap kita ketemu di situasi yang lebih sederhana. Mungkin saat aku bukan siapa-siapa. Atau saat kau bukan keponakan dari pria yang pernah memelukku lebih dulu.”
“Kamu bukan milik siapa-siapa, Kalista,” ucap Arga. “Kamu milikku, karena kamu memilihku. Dan aku juga memilihmu.”
Kalista tersenyum pahit. “Kita terlalu jauh melangkah, ya?”
“Dan sekarang satu-satunya cara adalah terus maju,” jawab Arga.
Aroma malam mulai turun bersama kabut lembut di luar. Tapi di dalam ruangan, godaan kembali berbisik. Kalista berdiri di depan Arga dengan gaun tidur tipis yang membuat jantung lelaki itu berdetak dua kali lebih cepat.
"Masih sanggup menolak godaan?" bisik Kalista dengan senyum nakal.
Arga berdiri, menarik pinggang Kalista hingga tubuh mereka berhadapan nyaris tanpa jarak.
“Untukmu? Aku sudah menyerah sejak lama.”
Kalista merasakan debaran jantungnya yang tak bisa lagi disembunyikan. Setiap sentuhan Arga, setiap tatapan penuh hasrat, membuat dirinya semakin terjerat dalam perasaan yang sudah sulit dilepaskan. Ia tahu mereka tengah berada di jalan yang berbahaya, namun tak ada lagi jalan mundur. Semuanya terasa terlalu kuat, terlalu menggoda untuk dihindari.
Arga menggenggam wajah Kalista dengan kedua tangan, menatapnya dalam-dalam. “Kalista, kita sudah jauh terjatuh. Kamu tahu itu?”
Kalista menatapnya dengan mata yang penuh keraguan, namun tak ada rasa penyesalan. “Aku tahu,” jawabnya pelan, hampir berbisik. “Tapi jika ini yang harus kita jalani, kenapa aku harus menolak perasaan ini? Aku nggak bisa menahan diriku dari kamu, Arga.”
Arga tak menjawab, hanya menarik Kalista ke dalam pelukannya. Bibir mereka bertemu dengan lembut, lalu semakin dalam, seiring dengan semakin memanasnya udara di sekitar mereka. Kalista merasakan panas tubuh Arga yang merasuk hingga ke dalam hatinya. Semuanya terasa begitu benar meski mereka tahu ini adalah sesuatu yang tak bisa diterima oleh banyak orang.
“Mungkin kita memang salah,” bisik Arga di sela-sela ciumannya. “Tapi saat ini, aku nggak peduli lagi. Aku hanya ingin kamu.”
Kalista menggigit bibirnya, merasakan tubuhnya semakin tergetar di bawah sentuhan Arga. “Aku juga... hanya ingin kamu, Arga.”
Arga mengangkat tubuh Kalista dengan hati-hati, membawanya ke ranjang. Langkah mereka terasa begitu alami, seakan sudah saling mengenal satu sama lain dengan sangat dalam. Begitu sampai di ranjang, Arga menatap Kalista sejenak, mencari kepastian di matanya.
“Kamu yakin?” tanya Arga, suaranya serak.
Kalista hanya mengangguk, menatap Arga dengan penuh kepercayaan. “Aku yakin. Aku siap.”
Dan saat itu, di tengah desahan lembut dan gemetar, mereka tak lagi berpikir tentang akibat atau masa depan. Mereka hanya berdua, tenggelam dalam keinginan yang tak bisa dihentikan, melepaskan segala beban yang ada.
Malam itu, setelah segalanya selesai, mereka terbaring bersama di ranjang yang masih terasa hangat dari kebersamaan mereka. Arga memeluk Kalista erat, membiarkan perempuan itu bersandar di dadanya. Kalista menutup mata, menikmati detak jantung Arga yang masih terdengar di telinganya.
“Kalista...” suara Arga terdengar pelan. “Kita harus siap dengan apa pun yang terjadi. Ini nggak akan mudah.”
Kalista mengangguk, meski dalam hatinya, keraguan tetap ada. “Aku tahu. Tapi aku nggak bisa menyesal, Arga. Aku nggak bisa menyesal karena memilihmu.”
“Begitu juga aku,” jawab Arga, menatap langit-langit kamar. “Kita akan hadapi semua ini bersama.”
Beberapa saat mereka terdiam, hanya ada suara napas yang pelan dan teratur. Namun, kedamaian itu tak berlangsung lama. Ponsel Arga bergetar di atas meja samping ranjang, mengganggu keheningan malam. Ia meraih ponselnya dengan enggan, melihat nama yang muncul di layar.
“Paman Arman...” gumamnya pelan, ragu-ragu untuk menjawab.
Kalista menatapnya dengan cemas. “Kamu harus angkat. Jangan buat dia makin curiga.”
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Arga akhirnya menekan tombol untuk menerima panggilan.
“Halo?” suaranya terdengar lebih tenang daripada yang dirasakan di dalam hatinya.
“Arga,” suara Arman terdengar jelas, namun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. “Aku tahu kamu di sana dengan dia. Jangan coba bohong.”
Arga menatap Kalista, yang tampak mematung, cemas dengan apa yang akan terjadi.
“Apa maksud Paman?” tanya Arga mencoba terdengar santai, meskipun napasnya semakin berat.
“Jangan pura-pura bodoh, Arga. Aku tahu kamu nggak bisa menahan dirimu lagi. Tapi ingat, aku nggak akan diam. Ini bukan cuma soal kamu dan dia. Ini soal keluarga kita.”
Arga menelan ludah, menekan rasa takut yang menggerogoti. “Aku... aku nggak tahu harus bilang apa, Paman. Tapi aku nggak akan mundur. Kalista bukan hanya pelarian bagiku. Aku mencintainya.”
Di sisi lain, Arman mendengus pelan, lalu tertawa sinis. “Cinta? Kamu benar-benar bodoh, Arga. Kau nggak tahu apa yang akan datang setelah semua ini. Jadi, pikirkan dengan baik-baik.”
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Arman memutuskan sambungan telepon dengan cepat.
Arga memandang Kalista, yang kini duduk di sebelahnya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Kalista lirih, menahan cemas.
Arga menghela napas dalam-dalam. “Kita nggak bisa mundur, Kalista. Apa pun yang terjadi, aku sudah memutuskan. Kita harus terus maju.”
Kalista menggenggam tangan Arga erat, tak ingin melepaskan. “Aku siap, Arga. Apa pun yang terjadi, aku akan bersamamu.”
Dan malam itu, meskipun badai ancaman mulai mengintai, mereka berdua tetap teguh pada keputusan yang sudah diambil. Mereka tahu, jalan yang mereka pilih penuh dengan godaan yang sulit ditolak, namun mereka juga tahu bahwa ini adalah pilihan mereka, pilihan untuk mencintai meskipun harus menghadapi segala konsekuensi yang mengintai di depan mata.