“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
ADEGAN: KEDAI AYAM BAKAR RISA – PAGI HARI
Matahari pagi menembus sela-sela gang kecil yang perlahan kembali hidup. Aroma arang dan ayam mulai merayap di udara, menggoda siapa pun yang melintas. Di depan sebuah warung sederhana tergantung spanduk baru bertuliskan: "Ayam Bakar Risa – Dibuka Kembali."
Risa berdiri di depan tungku dengan apron yang masih bersih, wajahnya tenang namun mengandung bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Di sampingnya, Aditya yang masih menggunakan kruk nya membantu mencatat pesanan dengan senyuman kecil. Stefanus sibuk mengatur kursi plastik dan meja kayu di pelataran, memastikan semuanya rapi dan siap.
"Kayaknya pelanggan udah nggak sabar makan ayam bakar buatan kamu, Ris," kata Stefanus sambil menyeka keringat dari dahinya.
"Aku juga kangen masak buat banyak orang…" jawab Risa pelan, senyumnya lirih namun tulus.
Beberapa pelanggan mulai berdatangan. Ada tetangga-tetangga yang akrab, ibu-ibu komplek yang penasaran, bahkan remaja-remaja yang mengenal Risa sebagai penulis dari novel yang sempat viral.
"Mbak Risa! Wah, akhirnya buka lagi. Saya doain semoga kedainya ramai terus ya," ucap seorang pelanggan sambil tersenyum hangat.
Risa mengangguk dan menyerahkan pesanan pertama hari itu—ayam bakar hangat, sambal, dan seporsi nasi.
Di matanya, tersimpan harapan yang pelan-pelan tumbuh kembali.
"Ini rumah kita, Ris. Dari sinilah semuanya dimulai lagi," bisik Aditya lembut.
Risa menatap suaminya dan mengangguk.
"Iya, mas. Kita mulai lagi… dari nol, tapi bersama." ucap Risa
---
ADEGAN: KEDAI SEMAKIN RAMAI – SIANG HARI
Menjelang siang, aroma ayam bakar makin menyengat, mengisi udara dengan wangi yang sulit ditolak. Kedai kecil itu kini dipadati pelanggan. Kursi penuh hingga ke trotoar. Beberapa berdiri sambil menunggu giliran, lainnya memesan untuk dibawa pulang.
Wajah Risa sibuk, peluh mengalir di pelipisnya, namun matanya berbinar. Ia tampak hidup, seperti baru saja menemukan kembali dirinya yang dulu.
"Ris, kita butuh tambahan arang dan piring! Ini gila banget ramainya!" teriak Stefanus dari dapur.
"Mungkin kita butuh pegawai tambahan ya…" jawab Risa, setengah tertawa karena tak menyangka.
Di sela-sela kesibukan, beberapa remaja mendekat,
membawa novel Risa yang lusuh karena sering dibaca.
"Mbak Risa, ini ayam bakar paling enak! Sama kayak tulisan Mbak—hangat dan bikin nagih!"
Risa tersenyum, lalu menandatangani halaman depan novel dengan tangan yang masih memegang penjepit ayam.
"Terima kasih ya… Dukungan kalian luar biasa."
Tak jauh dari sana, sebuah kamera dari media lokal merekam suasana. Wartawan menulis cepat, tak ingin melewatkan momen:
"Risa, Sang Penulis & Pejuang, Kini Bangkit Bersama Kedai Ayam Bakar."
Stefanus menatap Risa dari kejauhan, lalu membuka ponselnya saat sebuah panggilan masuk. Di layar: “Anak Buah – Unit Khusus.”
“Ya, ada apa?”
“Bos, kami menangkap pria dengan ciri-ciri yang Ibu Risa sebutkan… Tato elang di leher kiri. Saat ini sudah diamankan.”
Stefanus berdiri tegak. Wajahnya serius.
“Pastikan dia dikunci ketat. Saya akan ke sana sekarang. Jangan beri tahu siapa pun. Hanya saya.”
Ia segera mengambil berkas penyelidikan lama dari laci rumahnya. Hatanya berdebar. "Akhirnya, keadilan bicara."
---
ADEGAN: BERANDA RUMAH RISA – PAGI HARI
Risa duduk di beranda, menatap langit yang mulai cerah. Lengan bajunya tergulung, dan ia menghirup dalam-dalam aroma teh hangat yang dibawakan Aditya.
Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Stefanus keluar cepat, langkahnya tergesa namun mantap. Risa langsung berdiri, menyadari sesuatu sedang terjadi.
“Ris… aku harus bicara,” ucap Stefanus pelan.
“Ada apa, Stef?” tanya Risa dengan wajah kebingungan melihat Stefanus.
“Kami menangkap seseorang tadi malam. Pria dengan tato elang di leher kirinya… Ciri yang kamu sebutkan.” jawab Stefanus sambil memegang lengan Risa agar tidak pingsan saat ia memberitahukan kalau anak buahnya sudah menangkap pelakunya.
Risa terdiam. Matanya membesar. Tubuhnya seperti kehilangan daya. Aditya segera memegang tangannya.
“K-kamu yakin itu dia…?” tanya Risa dengan suara gemetar.
“Kemungkinan besar, ya. Tapi kita perlu pastikan. Kamu tidak sendiri. Kami di sini untukmu.”
Air mata mulai mengalir perlahan di pipi Risa. Ia mengangguk, menggenggam tangan suaminya lebih erat.
“Kapan pun kamu siap, aku akan antar kamu untuk melihatnya.” ucap Stefanus.
Aditya menggenggam tangan Risa dan mengatakan kalau ia juga akan menemaninya ke kantor polisi.
---
ADEGAN: KANTOR POLISI – SIANG HARI
Mobil hitam berhenti di halaman kantor polisi. Risa turun perlahan, langkahnya berat. Tangannya menggenggam erat jemari Aditya yang berjalan di sampingnya dengan kruk.
“Kamu tidak sendiri, Ris. Aku di sini. Langkahmu hari ini… berani sekali.” ucap Aditya yang tak melepaskan tangannya dari genggaman tangan istrinya.
Mereka masuk ke gedung. Stefanus menunggu di dalam, wajahnya penuh empati.
“Dia ada di ruang interogasi. Kita tidak akan paksa. Kamu cukup melihat dari balik kaca satu arah.”
“Aku… aku harus tahu.”
Mereka menuju ruangan kecil berisi kaca gelap. Di baliknya, seorang pria duduk menunduk. Rambutnya acak, wajahnya tak jelas. Tapi satu hal terlihat: tato elang hitam di leher kirinya.
Risa terhuyung. Lututnya hampir lemas. Aditya menopangnya cepat.
“Itu dia?” bisik Aditya.
Risa mengangguk perlahan, tubuhnya gemetar. “Dia… dia pelakunya, mas…”
“Jika kamu siap, kita mulai proses hukumnya. Tapi kamu yang tentukan kapan,” kata Stefanus tenang.
“Aku siap. Dia harus bertanggung jawab.”
---
ADEGAN: RUANG INTEROGASI – MALAM HARI
Lampu gantung menyinari ruangan sempit. Stefanus duduk berhadapan dengan pria bertato. Wajah Stefanus datar, tatapannya tajam.
“Kau tahu kenapa kamu di sini, kan?”
“Aku… aku nggak ingat semua. Waktu itu aku mabuk… Aku bahkan nggak tahu siapa perempuan itu.”
“Dia masih trauma sampai hari ini. Kamu menghancurkan hidupnya. Mabuk bukan alasan.”
Pelaku terdiam. Jemarinya gelisah, mulutnya gemetar.
“Kami punya bukti dan saksi. Jadi pilih: kerja sama atau hukum penuh?”
Hening. Lalu pelaku mengangguk pelan.
“Aku... aku akan mengakui semuanya.”
Stefanus menyalakan alat perekam. Di balik kaca, Risa dan Aditya menonton. Suasana sunyi, kecuali suara pengakuan yang terekam.
---
ADEGAN: RUANG PERTEMUAN – BEBERAPA HARI KEMUDIAN
Polisi membawa pria bertato masuk, diborgol dan dikawal ketat. Risa menegak napas. Pelaku menatapnya—mata penuh rasa bersalah.
“Aku… aku cuma mau bilang… maaf.” ucap pelaku yang dulu melakukan hal itu kepada Risa saat SMA
Risa menatapnya kosong. Semua kenangan buruk datang kembali, membanjiri pikirannya. Napasnya memburu, tubuhnya melemas, lalu jatuh ke lantai.
“RISA! RISA!”
Aditya panik. Petugas medis datang cepat. Pelaku segera dibawa pergi, tak diizinkan mendekat. Stefanus memerintahkan semuanya dengan tegas.
“Cepat bawa dia keluar!” perintah Stefanus dengan nada sedikit tinggi.
Aditya memeluk tubuh Risa yang pingsan. “Aku di sini, sayang… kamu aman sekarang…”
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending