Axel sedang menata hidupnya usai patah hati karena wanita yang selama ini diam-diam ia cintai menikah dengan orang lain. Ia bahkan menolak dijodohkan oleh orang tuanya dan memilih hidup sendiri di apartemen.
Namun, semuanya berubah saat ia secara tidak sengaja bertemu dengan Elsa, seorang gadis SMA yang salah paham dan menganggap dirinya hendak bunuh diri karena hutang.
Axel mulai tertarik dan menikmati kesalahpahaman itu agar bisa dekat dengan Elsa. Tapi, ia tahu perbedaan usia dan status mereka cukup jauh, belum lagi Elsa sudah memiliki kekasih. Tapi ada sesuatu dalam diri Elsa yang membuat Axel tidak bisa berpaling. Untuk pertama kalinya sejak patah hati, Axel merasakan debaran cinta lagi. Dan ia bertekad, selama janur belum melengkung, ia akan tetap mengejar cinta gadis SMA itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Axel mulai merasa bosan. Sejak pagi, dia tidak benar-benar melakukan pekerjaannya di sekolah. Ia hanya berpura-pura sibuk menyapu halaman demi terlihat bekerja. Itu pun karena banyak siswa yang masih berkeliaran.
Tapi, begitu bel masuk berbunyi dan semua siswa masuk ke kelas masing-masing, Axel segera meletakkan sapunya, lalu duduk santai di bawah pohon sambil memainkan game di ponselnya.
Namun, suasana hatinya seketika berubah saat suara yang familiar terdengar tidak jauh dari sana.
Refleks, Axel menyimpan ponselnya. Ia buru-buru menoleh, mencari arah suara itu, hingga matanya menemukan sosok gadis itu berbicara dengan temannya, kemudian duduk di bangku taman, dengan sebuah buku di pangkuannya.
Axel tersenyum. Detak jantungnya tidak menentu saat menatap Elsa, seolah gadis itu satu-satunya sosok yang memberinya warna.
Namun, tanpa ia sadari, ada seseorang yang berdiri tepat di sampingnya, mengikuti arah pandangnya.
"Cantik juga," komentar suara maskulin di sebelahnya.
Axel mengangguk setuju, matanya masih tertuju pada Elsa. "Iya, Elsa memang cantik," sahutnya tanpa menoleh sedikit pun.
"Oh, jadi namanya Elsa, ya?"
Kening Axel mengernyit. Kalimat itu baru saja menyadarkannya dari suara yang tidak asing. Ia buru-buru menoleh ke samping dengan mata yang langsung membulat sempurna. "D-Daddy? A-apa yang Daddy lakukan di sini?" serunya kaget.
Alexio menatap Axel dari ujung kepala sampai kaki. "Pertanyaannya, bukan apa yang Daddy lakukan di sini, tapi kau," ucap Alexio dingin. "Kau mengabaikan pekerjaan kantor hanya untuk menjadi tukang kebun di sekolah, demi mengejar seorang gadis? Apa kau sudah gila?"
"A-apa? Dad, ini semua demi masa depanku! Jadi, Daddy tidak perlu ikut campur," ucap Axel membela diri.
"Masa depan?" Alexio mengangkat alisnya. "Kau ingin jadi pedofil, hah? Kau tidak sadar, jarak usia kalian itu ... "
Axel langsung mengangkat tangannya, memotong ucapan ayahnya. Ia mengambil ponsel dari saku jas Alexio, membuka kamera depan, dan menunjukkannya ke wajah pria itu.
"Jika Daddy tidak punya cermin, ini ada kamera. Coba lihat diri Daddy sendiri dulu sebelum mengejek orang lain."
"Apa kau bilang?"
Tanpa menjawab, Axel mengembalikan ponsel itu, lalu berbalik dan berjalan pergi begitu saja, meninggalkan Alexio yang masih berdiri mematung sambil memanggil namanya.
...****************...
Di ruang kepala sekolah, Axel dan Alexio duduk berseberangan. Tidak ada suara selain detik jam yang bergulir pelan. Mereka saling menatap tanpa berkata-kata, seolah sedang berperang dengan batin mereka. Hingga akhirnya, Alexio angkat bicara.
"Kau tidak bisa membandingkan hubungan Daddy dan Mommy, denganmu dan gadis itu, Ax," ucap Alexio. "Daddy menikahi Mommy saat usianya sudah legal. Sedangkan kau ..."
"Dad, aku tidak pernah mengatakan akan menikahinya sekarang," sela Axel. "Aku hanya sedang berusaha mendapatkan hatinya. Aku bersedia menunggu sampai dia siap. Aku tidak akan menghalanginya meraih cita-citanya."
Alexio menyeringai tipis, seolah ucapan itu tidak lebih dari omong kosong. "Menunggunya?" Alexio tertawa mendengarnya. "Asal kau tahu, cobaan terberat dalam sebuah hubungan adalah menunggu. Kau begitu yakin bisa setia, tapi dia ..."
Ia berhenti sejenak, mencondongkan tubuh ke depan dengan tatapan tajam yang menusuk. "Ingat, Ax. Dia masih sangat muda. Hati dan pikirannya belum stabil. Dia bisa berubah kapan saja. Kau pikir bisa menaruh harapan pada sesuatu yang belum pasti?"
Axel berdecak, lalu menggerutu pelan, "Dia bukan Power Ranger, Dad."
Alexio mendelik tajam, tapi masih menahan diri untuk tidak marah. Ia menarik nafas dalam, dan menghembuskan dengan kasar.
"Lama-lama, kau sama menyebalkannya seperti Martin," gerutu Alexio.
Axel terkekeh kecil, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Namun sedetik kemudian, ia menatap ayahnya dengan serius.
"Dad, Elsa tidak seperti yang Daddy pikirkan. Tapi, jika Daddy masih masih ragu, Daddy bisa mengujinya."
Alexio menyipitkan mata, menatap anaknya dengan penuh selidik. "Mengujinya?"
Axel mengangguk pelan. "Ya. Daddy bisa menilai nya sendiri, apakah dia pantas aku perjuangkan atau tidak."
Untuk pertama kalinya, ekspresi Alexio berubah, tidak ada lagi sinis. Hanya diam, dengan tatapan yang tidak bisa ditebak, antara penasaran, khawatir atau mungkin ragu.
"Baiklah, Daddy akan mengujinya. Tapi, jangan salahkan Daddy jika dia tidak seperti yang kau harapkan," ucap Alexio.
"Deal!"
Sementara itu, Elsa masih duduk di taman, ditemani semilir angin dan suara dedaunan yang bergesekan lembut. Ia terlihat fokus pada bukunya, hingga sebuah suara familiar memecah konsentrasinya.
"Sayang, aku mencari mu kemana-mana, ternyata kau ada di sini." Irfan datang dengan langkah cepat, langsung duduk di samping Elsa seolah tidak terjadi apa-apa.
Elsa menutup bukunya perlahan. “Kenapa kau ada di sini? Dan, untuk apa kau mencari ku?” tanya Elsa.
"Jam kosong, sayang. Tapi, Pak Guru malah memberi tugas yang sulit," keluh Irfan sambil menghela napas panjang. "Jadi, bisakah kau membantuku mengerjakan tugas itu?"
Elsa menatapnya, lama dan dalam. "Kau ingin aku yang mengerjakan tugasmu?" tanyanya untuk memastikan.
Irfan mengangguk cepat. "Iya. Kau 'kan pintar. Aku yakin kau bisa."
Elsa tersenyum tipis, senyum yang dingin dan penuh arti. Entah kenapa, sejak ia mencoba saran dari Axel, ada perasaan ganjil setiap kali Irfan datang padanya. Seolah semua perhatian pria itu tidak tulus, melainkan hanya memanfaatkan nya saja.
"Cobalah untuk menolak permintaannya."
Ucapan Axel terngiang jelas di kepalanya. Elsa menatap Irfan, dan mengangguk kecil. "Baiklah. Aku akan membantumu."
Senyum Irfan langsung merekah lebar. Ia spontan memeluk Elsa erat. "Terima kasih, sayang. Kau memang yang terbaik!"
Elsa membiarkannya sejenak, lalu berkata, "Kalau begitu, ayo kita ke perpustakaan sekarang."
Irfan melepaskan pelukannya, menatap Elsa bingung. "Perpustakaan? Untuk apa kita ke sana?"
"Tentu saja untuk mengerjakan tugasmu," jawab Elsa. "Aku akan mencarikan materi dan referensinya. Jadi, kau bisa mempelajarinya."
Raut wajah Irfan berubah. Keningnya berkerut tajam, dan tangannya mengepal erat.
"Apa maksudmu, hah? Kau tidak mau membantu ku, ya?" sentak nya, mulai kehilangan kesabaran.
Elsa mencoba untuk tetap tenang. "Kenapa marah? Aku melakukan ini juga demi dirimu, Fan. Jika aku yang mengerjakan tugasmu, kau tidak akan pernah belajar. Kau tahu jawabannya, tapi tidak tahu caranya, itu lebih memalukan, kan?"
"Kau ... " Rahang Irfan mengeras, napasnya berat menahan amarah. "Lupakan saja! Aku akan mencari orang lain yang mau membantu ku!" Tanpa menunggu reaksi Elsa, Irfan bangkit dan pergi begitu saja, meninggalkan Elsa yang hanya memandangi punggungnya dengan tatapan kosong.
Elsa hanya diam, seolah sudah menduga ini akan terjadi.
Perasaan sedih tidak lagi memenuhi hatinya. Yang tersisa hanyalah rasa lega karena untuk pertama kalinya, ia belajar berkata "tidak".
axel martin panik bgt tkut kebongkar
hayolah ngumpet duluu sana 🤭🤣👍🙏❤🌹
bapak dan anak sebelas duabelas sangat lucu dan gemesin....