Ini tentang sebuah perselisihan dua puluh Tahun lalu antara Atmaja dan Biantara
Mereka berperang pertumpuhan darah pada saat itu. Atmaja kalah dengan Biantara, sehingga buat Atmaja tak terima dengan kekalahannya dan berjanji akan kembali membuat mereka hancur, sehancur-hancurnya
Hingga sampai pada waktunya, Atmaja berhasil meraih impiannya, berhasil membawa pergi cucu pertama Biantara yang mampu membuat mereka berantakan.
Lalu, bagaimana nasib bayi malang yang baru lahir dan tak bersalah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skyl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 9 - Mama
Kaivan mengusap dengan lembut rambut lurus Aruna. Gadis itu masih berada dalam pelukannya.
"Udah lega?" tanya Kaivan.
Kaivan menghapus air mata yang masih mengalir di sudut mata gadis kecilnya.
"Kamu cerita sama saya, kenapa kamu ngamuk kaya tadi?" tanya Kaivan dengan hati-hati.
Aruna hanya menggelengkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca. Seakan enggan untuk menjawab pertanyaan Kaivan.
"Ayo saya tidak akan marah."
"Una enggak apa-apa," jawab Aruna. "Una minta maaf yaa." Aruna menangkup kedua pipi Kaivan.
"Una minta maaf ya monster."
Kaivan menghela napas lalu mengangguk membuat Aruna tersenyum lebar.
"Ya sudah kamu mandi, saya ajak keluar lagi mau?"
"Keluar? Keluar dari rumah besar ini monster? Naik apa itu kemarin?"
"Mobil."
"Iya itu."
Melihat Kaivan mengangguk, Aruna berlari memasuki kamar mandi.
"Astaga." Kaivan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Aruna.
Sambil menunggu Aruna bersiap-siap. Bersiap-siapnya di bantu pelayan ya dia belum bisa bersiap-siap sendiri, mungkin bisa tapi akan lama dan hasilnya pasti akan di luar nalar. Kaivan menelepon Denis menceritakan hal penting kepada asistennya itu sekalian memecahkan teka-teki kehidupan Aruna.
"Dia mengamuk, tapi setelahnya merasa seolah tidak jadi apa-apa. Dan yang lebih bodohnya mungkin dia tak tau alasan dia marah."
"Mungkin karena adanya gangguan mental Tuan? Sebelumnya pasti nyonya Aruna sering mengalami hal seperti ini, mengamuk di waktu yang tak bisa ditentukan. Tuan coba berbicara dengan psikolog yang akan mengadakan terapinya sebentar."
"Baiklah." Kaivan mematikan sambungan telponnya bersamaan Aruna yang berlari ke arahnya.
"Ayo monster Una sudah siap."
Aruna memutar-mutar tubuhnya hingga pusing, Kaivan pun menangkap dengan cepat saat Aruna seperti akan jatuh.
"Jangan putar-putar," peringat Kaivan dengan nada menekan.
"Monster Una cantik enggak?" tanya Aruna saat mereka bergandengan berjalan ke arah pintu mansion.
Kaivan menoleh sekilas lalu berdehem, membuat Aruna tersenyum.
"Cantik itu apa?" tanya Aruna begitu polos kepada Kaivan. "Tadi bibi bilang Aruna cantik, pas tanya monster juga setuju kalau Aruna cantik. Cantik itu apa?"
Astaga! Ia pikir gadis kecil di sampingnya ini tau apa arti dari kata cantik.
"Masuk."
Aruna hanya menurut, masuk ke dalam mobil. Menunggu Kaivan juga ikut masuk, tak sabar mereka akan kemana hari ini.
Di perjalanan, Aruna berbicara tak henti-hentinya. Menanyakan hal-hal random kepada Kaivan, menanyakan yang belum dia tau. Kadang Kaivan menjawabnya, kadang pun hanya berdehem saja.
"Sampai." Kaivan menoleh ke samping.
Tidur? Perasaan dua menit sebelumnya, gadis itu masih sibuk mengagumi apa saja yang lewat, keadaan macet pun dia senang melihat banyaknya mobil.
"Aruna." Kaivan menepuk pelan pipi Aruna. Sebenarnya tak tega untuk membangunkan, hanya saja jika menunggu gadis itu bangun, jadwal terapinya terlewat, psikolog tersebut pasti juga memiliki pasien lain selain Aruna. Tidak memungkinkan juga dia menggendong Aruna sampai ke ruangan psikologis.
"Heuu..." Aruna merentangkan tangannya tinggi-tinggi.
Cup!
Kaivan mencium pipi gemas Aruna. Aruna yang baru bangun pun bersikap tidak peduli dengan apa yang dilakukan Kaivan.
Jika perempuan normal, mereka akan salting, menunjukkan pipi yang merona karena dicium oleh lelaki tampan, tapi tidak dengan Aruna.
Tak sadar, Kaivan sudah membuka pintu untuk Aruna. Dengan malas Aruna menerima uluran tangan Kaivan.
"Kita di mana monster?" tanya Aruna.
"Klinik psikologis."
Aruna hanya manggut-manggut saja, kek tau aja.
Karena sudah membuat janji, Kaivan dan Aruna langsung saja masuk ke dalam ruangan psikolog Harum.
Aruna menjalani terapi cukup lama. Dan Kaivan senantiasa menunggunya, kadang dia tersenyum saat Aruna merasa nyaman dengan terapi ini.
Setelah melakukan terapi, kini Kaivan dan psikolog Harum yang berbicara.
"Begini, tadi sebelum ke sini dia mengamuk, tetapi setelahnya dia bersikap seolah-olah tak jadi apa-apa. Dia juga tidak tau alasan mengapa dia mengamuk seperti itu." Kaivan menatap Aruna yang tengah mengamati setiap sudut ruangan.
"Seperti yang dialami pasien. Di saat dia sendirian, pikirannya kemana-mana, itu yang kadang membuat emosinya meluap-luap, dia mengeluarkan semua isi pikirannya yang menganggu."
"Lewat mengamuk, menghamburkan barang, berteriak bisa membuat hatinya lega."
Kaivan mengangguk mendengar penjelasan psikolog tersebut.
"Sepertinya saya akan memberikan tugas ini kepada psikiater."
"Kenapa?"
"Pasien butuh resep obat, jika terus dibiarkan seperti itu, penyakitnya akan semakin parah dan sulit di sembuhkan. Pak Kaivan, bisa mencari psikiater, atau ingin saya yang merekomendasi untuk anda."
"Biarkan saya mencari psikiater ahli. Saya ingin dia secepatnya sembuh."
Saat di perjalanan keluar dari klinik, seseorang menyapa Kaivan.
"Pak Kaivan?"
Kaivan menoleh, orang itu adalah pak Calvin. Ceo Biantara Group.
Kaivan hanya tersenyum ringan membalas sapaan pak Calvin.
Calvin memandang gadis yang Kaivan bawa. Ada debaran membuat Calvin merasa aneh dengan dirinya.
"Istri pak Kaivan?" tanya Calvin. "Tapi bukannya pak Kaivan belum menikah, ya?"
"Kekasih saya," jawab Kaivan seadanya, bodoh amat jika Calvin berpikir yang enggak-enggak. "Saya permisi." Kaivan melanjutkan jalannya dengan Aruna yang setia di sampingnya.
Calvin memandang kepergian Kaivan, lebih tepatnya menatap punggung mungil Aruna.
"Seandainya kamu ada di sini, kamu pasti se cantik kekasihnya pak Kaivan," gumam Calvin mengingat sosok anaknya yang masih dia cari sampai sekarang.
"Apa kekasihnya pak Kaivan, mengalami gangguan mental?" tanyanya pada diri sendiri. "Kasian juga."
Calvin melanjutkan langkahnya masuk ke dalam klinik.
Di perjalanan pulang, Aruna kembali tertidur.
Kaivan sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia menoleh ke samping, menatap dalam Aruna yang tidur begitu tenang.
"Maaf, maaf lambat bertemu kamu. Jika seandainya kita dipertemukan lebih cepat, penyakit ini tidak akan terjadi. Kamu akan baik-baik saja. Gadis kecilku."
Hati Kaivan merasa sesak. Dia kira hanya butuh psikolog saja bisa membuat Aruna sembuh, ternyata dia dialihkan ke psikiater.
"Mama tunggu sebentar lagi, calon menantu mama akan sembuh." Kaivan menambah laju mobilnya agar secepatnya sampai di mansion.
"Halo, pah." Kaivan baru saja memasuki area mansionnya, bersamaan mendapatkan telpon dari papanya.
"Apa? Mama masuk rumah sakit?" Kaivan terkejut mendengar papanya mengatakan mamanya masuk rumah sakit.
Dikarenakan belum turun dari mobil, Kaivan memutar balik mobilnya keluar dari gerbang mansion.
Satpam yang melihat Tuannya pergi lagi mengerutkan kening. Terlihat cara mengendarainya begitu buru-buru.
"Semoga tidak terjadi apa-apa," gumam satpam tersebut.
"Loh perasaan ada mobil Tuan tadi?"
"Tuan pergi lagi, mungkin ada hal yang mendesak."
Partner satpamnya itu mengangguk, mereka pun lanjut ngopi sambil bercerita hal random.
Kaivan sampai ke rumah sakit, dia menatap Aruna yang juga baru saja membuka mata.
"Monster."
"Ayo keluar."
Aruna hanya menurut, dia keluar dari dalam mobil.
Kaivan mengenggam tangan mungil Aruna, meremasnya pelan agar bisa mengurangi kekhawatirannya kepada sang ibu.