NovelToon NovelToon
Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Amelia greyson

Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

31

Pagi itu, suasana di rumah Arif tetap terasa canggung dan penuh ketegangan. Maira sudah berangkat ke sekolah lebih pagi, membawa perasaan berat yang masih menghantuinya. Arif, yang berusaha menjaga keseimbangan antara keluarganya dan Amira, berangkat kerja dengan wajah yang nampak lelah, meski ia berusaha tampak tegar.

Begitu pintu depan tertutup dengan suara yang menandakan Arif sudah pergi, rumah itu kembali sunyi. Bu Ningsih dan Ayah Arif duduk di ruang tamu, masih dengan ekspresi marah dan kecewa. Hening, hanya ada suara jam dinding yang terdengar detakannya. Kedua orang tua Arif masih saling berpandangan dengan wajah tegang, seolah masing-masing sedang berjuang menahan perasaan.

Namun, suasana yang hening itu pecah ketika pintu depan dibuka lagi. Livia, sahabat lama keluarga Arif yang sudah terbiasa dekat dengan orang tua Atif datang dengan langkah penuh percaya diri. Senyumnya yang sinis sudah terukir di wajahnya, dan ia tampak tidak sabar untuk mencampuri keadaan yang sedang memanas di rumah itu.

Dia pura-pura kaget melihat ada orang tua Arif di rumah itu, padahal dia sudah tau dari Bu Rina, yang tadi malam sudah mengabari Livia jika orang tua Arif berkunjung kerumah Arif.

"Hai, Bu Ningsih, Pa," sapanya dengan nada manis yang sedikit berlebihan. "Apa kabar? Lama tidak bertemu."

Bu Ningsih tersenyum tipis, meskipun ada sedikit ketegangan dalam sorot matanya. "Livia, kamu datang di saat yang tepat. Kita baru saja membahas soal Arif dan Amira."

Livia mengangkat alis, matanya melirik sekilas ke arah Amira yang sedang duduk di sudut ruangan. "Oh, jadi masih ada masalah dengan si Amira itu?" tanya Livia dengan nada yang terdengar mengandung sindiran. "Aku kira dia sudah bisa menyesuaikan diri dengan keluarga ini. Tapi sepertinya ada yang kurang."

Amira, yang sedang duduk di dekat meja, merasakan hawa tak menyenangkan yang tiba-tiba muncul. Livia selalu punya cara untuk membuat suasana semakin panas, dan kali ini tampaknya tidak akan berbeda. Tanpa rasa segan, Livia melangkah lebih dekat dan duduk di sebelah Bu Ningsih.

"Apa kalian benar-benar yakin bahwa Amira itu orang yang tepat untuk Arif?" Livia bertanya dengan suara halus tapi tajam. "Aku tahu, dia wanita yang baik. Tapi... apakah dia bisa mengerti bagaimana cara beradaptasi dengan keluarga besar seperti ini?"

Amira mencoba menahan diri, meskipun perkataan Livia terdengar menyakitkan. Ia tahu, Livia bukanlah orang yang mudah diterima, apalagi jika ia sudah mulai mencampuri masalah keluarga. Namun, Amira juga tidak ingin terlibat dalam pertengkaran yang lebih besar.

"Memang, Livia," Bu Ningsih melanjutkan dengan nada yang lebih tajam. "Kami merasa dia masih belum cukup mengerti dengan dinamika keluarga ini. Sepertinya, dia tidak bisa beradaptasi dengan baik."

Livia mengangguk, tampaknya merasa senang karena mendengar ada yang sependapat dengannya. "Keluarga Arif ini bukanlah keluarga yang mudah diterima begitu saja. Terlebih lagi, jika seseorang datang tanpa benar-benar memahami sejarah kita."

Livia melemparkan pandangannya kepada Amira, dan senyumnya lebih terlihat seperti sebuah tantangan. "Saya rasa kamu juga tahu, Amira, bahwa keluarga ini punya banyak aturan tak tertulis yang harus dipahami sebelum benar-benar diterima. Mungkin kamu harus mulai menyesuaikan diri lebih banyak lagi, atau mungkin..."

Livia membiarkan kata-katanya menggantung di udara, seolah-olah memberi amaran halus.

Amira merasa hatinya tertekan, namun ia mencoba tetap tenang. "Saya hanya ingin menjadi bagian dari keluarga ini dengan cara saya sendiri. Saya tidak ingin menggantikan siapapun, dan saya tidak berniat untuk mengubah apapun yang sudah ada."

Tapi Livia sepertinya tidak puas dengan jawaban itu. "Tentu saja kamu tidak ingin menggantikan siapapun, Amira," katanya dengan nada yang lebih dingin. "Tapi kita semua tahu, kadang-kadang, hal-hal yang tidak diinginkan bisa terjadi begitu saja. Kalau kamu ingin diterima, mungkin kamu perlu lebih banyak usaha lagi, bukan hanya berbicara."

Amira merasa kata-kata Livia semakin menggerogoti rasa percaya dirinya. Ia sudah berusaha menunjukkan yang terbaik, tapi setiap kali seseorang datang dan mengkritik tanpa tahu apa yang terjadi, itu membuatnya semakin tertekan.

Bu Ningsih menatap Livia dengan tatapan yang penuh arti. "Kamu benar, Livia. Mungkin Amira perlu sedikit waktu untuk menyesuaikan diri."

Livia tersenyum puas, merasa dirinya berhasil memanaskan suasana. "Betul. Tidak ada yang instan dalam keluarga ini. Tapi kalau Amira bisa mengikuti aturan yang ada, saya rasa semuanya akan lebih mudah."

Amira mencoba menguatkan dirinya. "Saya akan berusaha, Bu Ningsih, Pa. Saya tidak akan menyerah."

Namun, dalam hati Amira, ketegangan ini semakin membuatnya meragukan apakah ia bisa benar-benar diterima di keluarga ini. Setiap hari ia merasa semakin terasing, dan setiap kata-kata tajam dari orang-orang di sekitarnya semakin mengikis semangatnya.

Livia, yang merasa sudah cukup memanaskan suasana, akhirnya bangkit. "Baiklah, kalau begitu. Saya hanya ingin melihat keluarga ini menjadi lebih harmonis. Jangan lupa, Amira, kamu harus tahu apa yang diinginkan keluarga ini. Bukan hanya apa yang kamu inginkan."

Dengan senyuman terakhir yang menggantung, Livia berjalan keluar, meninggalkan Amira dan orang tua Arif yang masih terperangkap dalam konflik yang semakin dalam.

Setelah Livia pergi, suasana kembali hening, dan Amira merasa seperti ada beban berat yang semakin menekannya. Ia tahu, ini baru permulaan dari perjalanan yang panjang dan penuh tantangan. Tapi apakah ia mampu bertahan di tengah semua ini?

Setelah Livia pergi, rumah kembali terasa hening. Namun, suasana tersebut bukanlah keheningan yang menenangkan. Amira merasakan berat yang semakin menekan dada. Kata-kata Livia yang disertai sindiran tajam masih terngiang di telinganya. Meski ia berusaha untuk tetap tenang, ada sesuatu dalam dirinya yang merasa semakin terasing di rumah ini. Tidak hanya Livia yang membuat suasana semakin sulit, tetapi juga sikap Bu Ningsih yang semakin tidak ramah.

Di ruang tamu, Bu Ningsih duduk di kursi, matanya terfokus pada televisi yang menyala tanpa benar-benar menonton. Ayah Arif duduk di sebelahnya, tapi keduanya sepertinya masih terdiam, terjebak dalam perasaan kecewa yang belum bisa mereka lepaskan.

Amira berdiri di samping jendela, memandangi pemandangan luar yang tidak begitu menarik—hanya jalanan yang sibuk dengan kendaraan berlalu lalang. Ia merasa terjebak, seolah-olah rumah ini bukan tempat yang bisa memberinya kedamaian.

Setelah Livia pergi dari rumah Arif, suasana terasa sedikit lebih tenang, meskipun ketegangan masih menyelimuti. Amira merasa seolah-olah hari-harinya tidak akan pernah bebas dari tekanan, baik dari Livia maupun dari keluarga Arif yang tampaknya belum bisa menerima kehadirannya sepenuhnya.

Setelah beberapa waktu berlalu, Amira kembali ke dapur untuk menyiapkan makan, berusaha mengalihkan pikirannya. Namun, pikirannya tetap tertuju pada percakapan yang tidak mengenakkan dengan Livia, yang datang dengan maksud yang jelas untuk memperburuk suasana.

1
kalea rizuky
dr marah baik marah lagi baik. lagi mau nya apa ortu arif nee
kalea rizuky
kok aneh dr marah2 langsung cpet luluh
kalea rizuky
lu aja yg tolol Rif ngapain ngasih celah ke perempuan lain meski sahabat bodoj
leahlaurance
wow....so sweet,thor lebih diperhati ya banyak typo nya.
Hyyyyy Gurliiii🪲: Terimaksih banyak kak,
total 1 replies
leahlaurance
kaya dikit semacam ,satu imam dua makmum😅
Hyyyyy Gurliiii🪲: Haiiii kakak kak, maaaf yaaa sblum nya
Saya gak tau cerita ituuu 🤣
total 1 replies
leahlaurance
cerita ini kaya,curhat seoramg isteri.ayu usaha terus embak.
leahlaurance
mampir ,dan di bab ini sepertinya biasa juga.
leahlaurance
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!