Sean, bocah 11 tahun yang berlayar sendirian menuju sebuah negara yang diamanahkan sang kakek. 11 tahun telah berlalu sejak ia dan kakeknya terpaksa meninggalkan sebuah negara, tempat Sean lahir. Di negara inilah, dia akan bertemu dengan orang-orang baru yang menemani kerja kerasnya. Namun kisahnya tidak semenyenangkan itu. Bersamaan dengan pengaruh baik, ada banyak tantangan gila menantinya di depan. Dia hanya bocah 11 tahun!
Apakah Sean dan teman-temannya bisa menghadapi setiap masalah demi masalah yang tak kunjung pergi? Simak dan ikuti perjalanannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Miyaura
"Ayah! Ayo latihan, ayah sudah berjanji kemarin" Akira memanggil ayahnya. Ayahnya yang bisu menggunakan bahasa isyarat agar anak semata wayangnya itu paham.
"Ada pertemuan keluarga pagi ini, nanti siang kita latihan" itulah arti dari bahasa isyarat yang dilakukan oleh ayahnya.
Akira memasang wajah masam. "Dari kemarin ayah sudah berjanji, tapi ayah selalu mengingkarinya" keluh Akira dengan malas lalu berjalan menjauh meninggalkan ayahnya.
Sang ayah- Kaji, hanya bisa tersenyum menanggapi keluhan putranya. Ia terlalu banyak berjanji pada putranya sejak kemarin.
"Akira, apa kau mau ikut dengan ibu untuk membeli teh?" tanya sang ibu- Aiko, segera membangkitkan rasa semangat putranya yang tidak pernah habis.
"Ayo, ibu. Aku sudah lama tidak berjumpa dengan Hamura-san" jawab Akira bersemangat. Aiko dan Kaji saling memandang satu sama lain sambil tertawa kecil.
"Tapi kau harus membereskan ruanganmu terlebih dahulu. Setelah itu kita bisa pergi ke toko Hamura-san" ketus Aiko lagi.
"HAI" jawab Akira hormat lalu setelahnya ia segera berlari menuju kamarnya.
"Lain kali jangan membuat janji dengannya. Kau mengajarkannya untuk selalu menepati janji. Bisa-bisa dia tumbuh jadi orang yang suka membandingkan sesuatu" ujar Aiko dengan lembut di samping Kaji.
"Gomen"
Beberapa saat,
"Ibu, kenapa akhir-akhir ini ayah sering sekali dipanggil untuk pertemuan keluarga? Apa ayah terlibat masalah?" tanya Akira sambil menggenggam tangan ibunya.
"Tidak, nak. Ayahmu tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Dia hanya punya urusan penting untuk keperluan keluarga" jawab Aiko tersenyum meyakinkan putranya.
"Tapi aku sudah lama tidak latihan dengan ayah. Aku ingin menunjukkan teknik baruku pada ayah!" ujar Akira berlari kecil menuju hadapan ibunya, sambil menggerakkan tangannya seolah dia bertarung.
Aiko tersenyum lembut menanggapi tingkah laku putranya. Ia menghentikan langkahnya, lalu berlutut di hadapan putranya.
"Jika ayah sudah selesai dengan urusannya, kau bisa mengajaknya berlatih seperti biasa"
Akira menyunggingkan senyum ceria. Bocah 6 tahun itu tumbuh dengan semangat yang membara.
"Ahk iya ibu, Kaiji-sama memintaku untuk datang nanti sore ke rumah keluarga utama. Dia ingin aku dan Kaori-sama berlatih bersama" lapor Akira seraya menyebutkan nama paman dan adik sepupunya yang berjarak hanya satu tahun darinya.
"Benarkah? Kalau begitu jangan terlalu keras pada Kaori-sama. Laki-laki tidak boleh kasar pada perempuan, nak" pesan Aiko kembali berjalan bersama putranya sambil menggenggam tangan Akira. "Tapi kakek bilang, kita tidak boleh pandang buluh pada lawan kita" titah Akira segera.
"Kakek mengajarkan hal semacam itu hanya untuk keperluan melawan musuh. Kaori-sama adalah adikmu, kau tidak boleh kasar padanya" jawab Aiko dengan nada lembut.
"Begitu ternyata. Kaiji-sama sering sekali bersikap keras pada Kaori-sama. Apa Kaiji-sama itu orang jahat?" tanya Akira lagi.
"Kaiji-sama tidak keras, tapi dia tegas dan disiplin. Kau harus mencontoh sifat seperti itu tapi tetap saja tidak boleh kasar pada perempuan" jawab Aiko menjelaskan dengan sabar.
Miyaura Akira, dia adalah putra tunggal, anak semata wayang Kaji dan Aiko. Sebelumnya, Miyaura Kento memiliki dua orang putra kembar, Kaiji dan Kaji. Kaiji ialah anak sulung dan Kaji anak bungsu keluarga tersebut.
Meski kembar, mereka berbeda. Kaji sejak lahir terlahir bisu. Walau begitu, ia petarung yang terampil dan cerdas. Kaiji lahir dengan kondisi sempurna, dan dikenal tegas sekaligus disiplin meski dia tidak memiliki bakat yang sama seperti adiknya.
Kento yang idealis lebih menekan Kaiji- sang kakak, karena menganggap Kaji yang bisu tidak akan bisa meneruskan kepemimpinan walau dia memiliki potensi dan kecerdasan di atas rata-rata.
Kaji yang tumbuh tanpa perhatian ayahnya, bekerja keras seorang diri setiap harinya demi mendapat pengakuan. Namun semuanya mengikuti takdir.
Miyaura ialah keluarga bangsawan yang berperan penting untuk negeri mereka. Keluarga bangsawan itu terbagi menjadi dua, keluarga utama dan keluarga cabang.
Karena kekurangan yang dimilikinya, Kaji menempati keluarga cabang yang tugasnya melindungi dan patuh pada perintah keluarga utama. Alhasil, Kaji harus patuh pada perintah Kaiji, selaku pemimpin keluarga utama sekaligus kepala klan Miyaura.
Sore itu, Akira menuju rumah keluarga utama sekaligus menghampiri ayahnya yang belum kembali.
"Ayah!" Akira segera menghampiri Kaji yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. "Kau lebih cepat dari yang kuperkirakan, nak" ujar Kaiji yang tidak jauh dari mereka.
"Selamat sore Kaiji-sama" sapa Akira sambil membungkuk hormat. "Berapa kali aku katakan padamu, panggil saja aku dengan sebutan paman" Kaiji tertawa kecil menanggapinya.
Pria itu sangat menyukai keberadaan Akira. Ia mengharapkan seorang anak laki-laki, namun pencipta memberinya seorang anak perempuan- Miyaura Kaori.
"Ayah, apa ayah hari ini lelah? Bagaimana jika sehabis dari sini kita latihan pada malam hari? Tapi jika ayah lelah, ayah bisa beristirahat" ujar Akira bersemangat. "Baiklah, ayah harus menepati janji pada putra ayah ini" Kaji menggerakan tangannya.
Akira yang paham melompat kegirangan. "Akira" panggil seseorang yang begitu Akira kenali. Kento, sang kakek.
"Kakek" Akira segera membungkuk hormat. "Kemarilah, waktunya kau dan Kaori latihan" panggil Kento segera. Akira menurut dan mengikuti kakeknya. "Kaji" panggil Kaiji ragu.
Kaji menoleh pada kakaknya. "Aku sudah banyak sekali meminta tolong padamu. Tapi ini cukup penting" gumam Kaiji memikirkan kalimat yang cocok untuk memberitahu keinginannya.
"Nishimiya sedang mengandung anak keduaku. Aku tidak tahu apakah jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan. Tapi dengan posisinya sebagai istriku, akan banyak masalah yang terjadi jika berita kehamilannya tersebar luas. Bisakah kau menjaganya selama dia hamil?" tanya Kaiji.
Kaji terdiam beberapa saat. Ia bingung menanggapi permintaan kakaknya. "Kali ini kau boleh menolak, aku akan meminta pengawal saja-"
Ucapannya terhenti ketika tangan Kaji bergerak. "Aku tidak bisa berjanji menjaganya selama hamil. Tapi aku akan membantumu sebisaku, mengawasinya, dan menjaganya dari jauh"
Kaiji terkejut menerima jawaban itu. Setelah perlakuan berbeda pada Kaji, ia selalu menghormati kakaknya itu. "Kau menerima... permintaanku?" tanya Kaiji terkejut.
Kaji mengangguk sambil tersenyum. "Aku berjanji pada Akira untuk melatihnya. Jika ia berkembang, dia bisa meneruskan posisiku. Maka ia bisa menjaga anak-anakmu" Kaiji menatap adiknya terkejut.
"Kenapa kau justru berpasrah? Akira tidak pantas hanya menjadi keluarga cabang. Dia-"
"Bagaimanapun dia putraku. Mau seistimewa apapun bakat yang dimilikinya, takdirnya tidak berubah"
Kaiji menatap adiknya tertegun. "Onii-sama tidak perlu mengkhawatirkan kami, fokuslah pada tugas utamamu. Aku percaya padamu, maka jagalah kepercayaan itu" Kaji tersenyum tenang.
Sementara Akira,
"Lelah sekali, kakek tidak pernah memberi ampun padaku" keluh Akira menghapus keringat yang bercucuran di pelipisnya.
"Akira-niisan" panggil seseorang. Akira berbalik badan. Dialah Kaori, putri dari Kaiji. Gadis kecil lemah lembut dan murah hati. Wajahnya hampir mirip dengan Akira, hanya saja berbeda warna rambut.
Nishimiya, ibu dari Kaori menurunkan warna rambutnya pada putrinya itu.
"Kaori-sama, ada perlu apa?" tanya Akira segera. "Apa niisan mau minum teh bersama malam ini?" tawar Kaori ragu.
Akira tersenyum. "Tentu" jawab Akira tidak menolak. "Arigatou, aku akan menunggumu nanti malam.. Akira-niisan" Kaori membungkuk.
"A-Ahk, tidak perlu begitu Kaori-sama. Suatu kehormatan kau mengajakku minum teh bersama" gumam Akira gelagapan.
Kakeknya bisa memarahinya jika Kaori membungkuk hormat padanya. "Dan sekali lagi, panggil saja aku dengan sebutan Akira" ujar Akira tersenyum. "Ibu bilang, aku harus memanggilmu dengan sebutan niisan karena kau lebih tua dariku"
Akira tersenyum mendengarnya. "Baiklah, terimakasih atas waktumu hari ini. Sampai jumpa nanti malam, Kaori-sama" pamit Akira membungkuk.
Kaori menatap kepergian bocah itu. "Aku mau jadi kuat seperti niisan" gumam Kaori tersenyum.
Ketika di rumah,
"Kaori-sama mengajakmu minum teh bersama?" tanya Aiko terkejut mendengarnya. "Apa boleh ibu?" tanya Akira tampak antusias.
"Tentu, sebuah kehormatan putri Miyaura memintamu untuk minum teh bersama" jawab Aiko tersenyum. "Tapi ibu, mengapa kakek memperlakukanku berbeda? Dia sangat lembut pada Kaori-sama, sementara aku tidak"
Aiko menghentikan acara memotong sayurnya. "Itu karena kau laki-laki. Kakek tidak mungkin bersikap keras pada anak perempuan" jawab Aiko tersenyum.
"Kalau begitu, jika aku anakku laki-laki, maka aku-"
"Ma, mah. Pikiranmu jauh sekali, hahaha"
9 bulan...
"Nishimiya-sama, melahirkan?" Akira terkejut mengetahui bibinya akan melahirkan. "Ya, untuk itu kita akan menginap di sana. Ibu harus membantu lahirannya, dan kau harus menjaga Kaori-sama"
Akira mengangguk paham. "Laksanakan, bos".
Siang itu, Kaori berjalan-jalan keliling kota. "Hey, Kaori!" panggil seseorang yang begitu Kaori kenal. Namanya Daisuke, Akira juga mengenalnya.
"Daisuke-san" gumam Kaori seraya mendekat. "Kenapa wajahmu murung? Apa kau punya masalah?" tanya Daisuke yang duduk di ayunan. Kaori diam sejenak.
"Apa ayahmu memarahimu lagi?" tanya Daisuke yang selalu mendengar keluh kesah sahabatnya itu.
"Ibu akan melahirkan, aku hanya khawatir jika anak itu laki-laki.. kakek akan memperlakukannya seperti Akira-niisan" jawab Kaori menunduk sedih.
"Kakekmu pasti akan memperlakukannya sama. Jangan khawatir. Daripada kau pusing, ayo kita bermain" ajak Daisuke menarik tangan sahabatnya.
Kaori tersenyum. Namun tanpa ia sadari, seseorang mendengar percakapannya dan inilah awal mula konflik buruk itu terjadi.
......................
"AGGHHKK" Nishimiya berteriak berusaha sekuat tenaga melahirkan anaknya. "Sedikit lagi, Nishimiya-sama" ujar Aiko membantu wanita itu.
Dan, "Akhirnya!" Aiko merasa lega ketika anak itu lahir. "Dia perempuan" ujar Aiko seraya menunjukkannya pada Nishimiya. "Putriku, kau cantik sekali" gumam Nishimiya tersenyum.
"Siapa di sana?!" Aiko segera waspada ketika ada bayangan orang asing melalui pintu kayu geser itu.
Seseorang membukanya, dan diikuti beberapa orang. "Tidak! To-" ucapan Aiko terhenti ketika ia merasakan sesuatu menusuk perutnya.
"Kami ambil bayi ini, nona" ujar orang itu menangkap bayi yang digendong Aiko. Wanita itu terkapar dengan mengalir. "PUTRIKU! KAIJI! KAJI! AYAH!"
Namun malangnya, Nishimiya juga harus menerima luka tusuk di dadanya.
Kaji yang mendengar itu bergegas ke ruang bersalin. Matanya melotot dan wajahnya segera memucat mendapati pemandangan mengerikan di sana.
"Apa yang-"
Kaiji tidak bisa meneruskan kalimatnya. Kento yang juga baru saja tiba mengerutkan keningnya serius. "Pengawal tangkap para penyusup itu!"
Di sisi lain, Akira dan Daisuke yang melihat 4 penculik dan mengikuti mereka. "Oi, Kira.. mereka orang dewasa apa kau yakin?" tanya Daisuke memastikan ulang.
"Mereka menculik adik sepupuku, aku tidak bisa membiarkannya!" jawab Akira berlari secepat kilat.
"Berhenti kau!" perintah Akira melempar suriken pada mereka. Namun kemampuan bocah itu tentu kalah dengan mereka.
"AKIRA!" teriak Daisuke ketika seorang di antara mereka berhenti. Dan, "Bocah jangan ikut campur!" pesan orang itu tersenyum sinis sebelum akhirnya ia kembali kabur bersama kelompoknya.
Daisuke menerima luka fatal setelah melindungi Akira. "Dai, apa yang kau lakukan?!" Akira memegangi sahabatnya itu.
"Kau ceroboh sekali" ledek Daisuke terkekeh.
"Dai, bertahanlah aku-"
"Tidak perlu, Kira"
Akira menatap sahabatnya itu terkejut. "Aku tidak memiliki siapapun selain kau sebagai sahabatku, jadi jika aku mati... hanya kau yang akan bersedih" ujar Daisuke tertawa kecil.
"Apa yang kau katakan? Kau tidak boleh mati!" Akira menahan tangisnya. Ia ketakutan.
Daisuke meletakkan sesuatu pada telapak tangan Akira. "Ini kalung yang aku buat sendiri. Bisakah kau menjaganya untukku? Saudara?" tanya Daisuke tersenyum dengan darah yang keluar dari bibirnya.
"Aku akan menjaganya. Maka dari-"
Ucapan Akira terhenti. Hujan lebat turun. "Oniisan!" Kaori memanggilnya dari jauh.
"Oi, Dai. Daisuke! Dai!"
Langkah Kaori terhenti ketika melihat tubuh kaku di pelukan Akira. Ia mengenal wajah pemilik tubuh itu.
"TIDAK.. DAISUKE!"
Beberapa saat,
"Negosiasi?" tanya Kaiji terkejut. "Benar, Kaiji-sama. Mereka meminta Kaiji-sama untuk menukarkan diri dengan putri anda"
Kaiji terdiam mendengarnya. Ia baru kehilangan istrinya, dan sekarang ia juga harus berhadapan dengan pilihan antara dia yang mati atau putrinya.
"Kalau begitu, tukar saja dengan Kaji" ujar Kento segera. Kaiji yang mendengarnya melotot terkejut.
"Ayah-"
"Kita akan menyelamatkannya nanti. Setelah bertukar, Kaji akan mengambil kembali putrimu"
Kaiji menatap ragu ayahnya. Ia beralih menatap Kaji yang terdiam tidak percaya mendengar rencana ayahnya itu. Ayahnya, mengorbankannya?
"Ayah, bagaimana jika gagal?!" tanya Kaiji mengerutkan keningnya. "Tidak akan ada yang mati" tegas Kento meyakinkan mereka.
Tanpa mereka sadari, Akira mendengar percakapan itu dari luar ruangan. Ia baru kehilangan sahabatnya, lalu ibunya, dan mungkin saja sebentar lagi, ayahnya?
Mereka akhirnya melakukan pertemuan di jembatan perbatasan ibu kota dengan kota seberang. Di sana, para penculik sudah menunggu kedatangan mereka.
"Akhirnya, keluarga bangsawan Miyaura" ujar salah satu dari mereka menyambut kedatangan keluarga itu. "Tidak perlu berlama-lama, langsung saja lakukan pertukarannya!"
Kento menatap tajam mereka. "Pelan-pelan pak tua. Tapi aku ingin memastikan apakah kalian memang menyerahkan kepala utama keluarga ini, atau justru pria bisu yang cerdas itu"
Kaiji terdiam memucat mendengarnya. Namun ia semakin terkejut, ketika Kaji berjalan sendiri menghampiri mereka.
Ia menyerahkan tangannya. "Wah, tampaknya kau sangat antusias" gumam pria itu tersenyum senang.
Namun, "Kaji!" Kaiji terkejut ketika pria itu justru menusuk dada Kaji. "AYAH!" teriak Akira panik.
Pengawal segera menahan Akira yang hendak maju menghampiri ayahnya.
"Akira-sama, tolong tahan dirimu"
"Apa maksudmu? Ayahku diserang! Lepaskan aku! Ayah!"
Akira terus memberontak. "Hey, bocah. Asal kau tahu saja, kami bisa tahu kelahiran sepupumu... karena putri keluarga ini"
Akira yang mendengarnya terdiam kaku. Begitu pula dengan yang lain. "Dia bercerita pada sahabatmu yang kubunuh. Malang sekali nasibmu, kau kehilangan ibumu, lalu sahabatmu, dan terakhir... ayahmu" ledek pria itu tersenyum senang.
"KAKEK APA YANG KAKEK LAKUKAN? KENAPA KAKEK DIAM SAJA?!" teriak Akira melihat kakeknya yang memucat ketakutan memandangi putranya.
Namun, di kesempatan itu, Kaji segera menyerang balik pria itu. Ia berhasil menyerang semua penculik dengan kemampuannya, lalu ia merebut kembali anak kedua Kaiji.
Kaji berjalan gontai berusaha sadar. "Putriku.." gumam Kaiji meraih putrinya yang selamat. Bersamaan dengan itu, Kaji terkapar. Mirisnya, mereka justru tidak memperdulikan Kaji yang sekarat di sana.
"Ayah!" Akira menghampiri ayahnya. "Tolong! Apa yang kalian lakukan?! Tolong ayahku!" Akira berusaha meminta bantuan.
Namun bocah 6 tahun itu diabaikan oleh mereka. Mereka sibuk mengurusi putri Kaiji yang baru lahir itu. "Ayah! Kenapa mereka tidak mendengarkanku?!" Akira memegangi ayahnya yang lemah.
Kaji tersenyum. Dengan sisa tenaganya ia menjitak kepala Akira. "Go...men"
Dan tangan pria itu terjatuh. Bersamaan dengan itu, matanya terpejam, dan nafasnya berhenti.
"Ayah! Ayah!"
Kaiji yang mendengar itu akhirnya tersadar. "AYAH! TIDAK! AYAH!" teriak Akira menangis.
"Kaji-"
"SINGKIRKAN TANGAN KOTORMU ITU DARI AYAHKU, PEMBUNUH!"
Kento yang mendengarnya terkejut. "AYAH MACAM APA KAU? HANYA KARENA AYAHKU BISU, KAU MENGORBANKANNYA DEMI KEPENTINGAN PUTRA KESAYANGANMU!"
Kaiji yang mendengarnya menatap Akira terkejut.
"Niisan-"
"PERGI KAU. KARENA ULAHMU, AKU KEHILANGAN ORANG-ORANG YANG MENGANGGAPKU ADA"
Mata Kaori berair setelah mendengar itu. "Kalian semua, iblis!"
Setelah Kaji dimakamkan, semua kembali seakan tidak terjadi apapun.
"Akira-sama..."
"Aku akan pulang ke rumah. Katakan saja pada mereka"
Akira menolak ajakan untuk tinggal di rumah keluarga utama sementara waktu.
Pengawal membungkuk dan memahaminya. Akira berjalan sendiri kembali ke rumah.
Sesampainya ia di rumah, "Aku pulang" ekspresinya datar. "Sial.." gumam Akira menunduk.
Selama pemakaman ayahnya, ia tidak menangis sedikitpun. Orang-orang sampai mengira dia orang yang tidak punya hati.
"Aku tahu tidak akan ada yang menjawabku, tapi tetap saja aku menantikan kata sambutan itu" gumam Akira dengan air matanya yang mengalir.
Ia beralih menatap sebuah foto dirinya bersama seorang pria dan wanita yang tersenyum. Bingkai foto itu menempel di dinding, dan tidak ada yang mengisi dinding itu selain bingkai foto Akira dengan ayah dan ibunya.
"Maaf ayah, tapi aku harus mengingkari janjiku. Aku tidak lagi mau menghormati mereka"
...****************...
"Sudah cukup, kita lanjutkan besok. Kaori, kau harus berusaha lagi!" ketus Kaiji pagi itu.
Sudah 2 tahun sejak kepergian Kaji, sifat Akira berubah drastis. Dia yang dulunya ceria, berubah menjadi pendiam dan dingin. Tatapan matanya tajam, dan penuh kebencian.
"Akira-niisan..." panggil Kaori dengan ragu. Akira menghentikan langkahnya dan tidak menoleh.
"Aku ingin mengajakmu minum teh bersama-"
"Aku sibuk. Kalian saja"
Kaori terdiam menatap kepergian Akira yang bahkan tidak lagi mau menatap wajahnya.
"Biarkan saja dia, dia akan sadar dia membutuhkanmu suatu saat. Maka berusahalah menjadi lebih kuat darinya" pesan Kento segera.
"H-Hai, ojii-sama"
Setiap hari, Akira dan Kaori akan selalu beradu kemampuan namun hasilnya sama. Selain karena Akira laki-laki, Kaji menurunkan bakatnya pada putranya itu.
Hingga suatu hari. "Kaori, berusahalah! Seharusnya kau lebih kuat dari Akira!" perintah Kaiji tidak puas.
Akira yang mendengarnya menatap Kaiji. Alhasil, Akira terjatuh. "Niisan, maaf... aku-" ucapan gadis itu terhenti ketika Akira sudah bangkit dan hendak menyerangnya.
"Laki-laki tidak boleh kasar pada perempuan, nak"
Suara Aiko berhasil menyadarkan Akira. Namun, "HUAAAAA" teriak Akira segera merasakan sakit di keningnya. Kento mengendalikan cucunya itu dengan sebuah segel di kepala yang bisa membakar ubun-ubun bahkan sampai mati.
Segel itu hanya diberikan pada keluarga cabang. Dan keluarga utama bisa mengendalikannya, jika keluarga cabang tidak patuh pada perintah.
"Kakek, hentikan! Aku mohon!" Kaori segera menghampiri kakeknya. Kento tersadar dan segera menghentikan penyiksaannya pada Akira.
"Apa yang sudah kulakukan?!" gumam Kento menatap telapak tangannya terkejut.
"Hahaha, kenapa tidak kakek lanjutkan saja?" mereka menatap Akira terkejut. "Oh aku lupa, setelah kalian membiarkan ayah terbunuh... kalian menantikanku untuk menjadi penerus keluarga cabang selanjutnya bukan?" tanya Akira bangkit berdiri.
Kento menatap cucunya tidak percaya. "Kaori-sama" tunjuk Akira pada gadis kecil itu. Kaori menatap Akira ketakutan.
"Sadar ataupun tidak, kau adalah penyebab malam berdarah saat itu" Kaori memucat terkejut.
"Cukup, Akira! Kau harus melupakan kejadian itu!"
"Melupakannya? Dulu aku sangat menghormati kalian. Tapi pandanganku kini berubah"
Kento terdiam. "Mulai detik ini, aku bukan bagian dari Miyaura. Aku bukan Miyaura Akira" seisi ruangan dibuat terkejut dengan mata putih dan beberapa urat di pipi Akira.
Akira meninggalkan mereka di sana. Kaori menatap punggung lebar Akira, yang tampak memikul sebuah beban namun ia tidak bisa menyimpulkannya.
"Dia benar-benar berubah" gumam Kento memejamkan matanya. "Kakek, biar aku coba bicara saja padanya" tawar Kaori.
Kento dan Kaiji saling melempar tatapan. Saat latihan saja yang diawasi oleh orang dewasa, Akira sudah punya niat membunuhnya.
"Aiko-san bilang, Akira-niisan tidak pernah bersikap kasar pada perempuan"
Malamnya, Akira mengemasi beberapa barangnya. Ia tampak memasukkan beberapa hal yang menurutnya penting ke dalam tas.
"Maaf, ayah. Aku tidak bisa tinggal di sini, tempat ini meninggalkan kenangan pahit" gumam Akira memasukkan foto bingkai mereka.
Ia memikul tas itu, dan hendak pergi. "Niisan, mau ke mana?" tanya seseorang berhasil menghentikan langkah kaki Akira.
Ia berbalik badan. "Lancang sekali kau menginjakkan kaki di rumah keluargaku" ketus Akira mengetahui Kaori berkunjung ke sana.
"Maafkan aku, aku hanya ingin menjelaskan sesuatu padamu" jawab Kaori ragu.
"Tidak ada yang perlu kau jelaskan. Semua yang kau katakan tidak akan mengembalikan mereka" Kaori terdiam mendengarnya.
"Niisan mau ke mana? Kenapa membawa tas begitu?" tanya Kaori terheran. "Ke manapun aku pergi, kalian tidak perlu lagi peduli padaku. Aku bukan lagi bagian dari Miyaura" Kaori mengerutkan keningnya.
"Tidak bisa begitu. Niisan tetap cucu kakek-"
"Aku bukan cucunya! Dia saja tidak menganggap ayahku sebagai putranya!"
Kaori terdiam takut. "Kau mengulur waktu saja" gumam Akira kembali berjalan. "Tolong maafkan aku!" Kaori akhirnya membungkukkan tubuhnya.
Akira meninju dinding rumahnya segera. Kaori tentu terkejut. "Sudah aku bilang, tidak perlu mengajakku berbicara lagi karena aku tidak akan mendengarkanmu. Kenapa kau keras kepala sekali?!" ketus Akira dengan tatapan tajam.
Bocah itu kembali melangkah secepat mungkin.
"Niisan, jangan pergi!"