Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Memergoki Papa
Harry berdiri kaku di depan pintu kamar hotel yang baru saja terbuka. Matanya menatap tajam pria paruh baya yang berdiri di sana—Calvin, ayahnya sendiri. Seketika jantungnya berdentum keras. Ia tidak salah lihat. Wajah yang selama ini ia kenal dengan baik sebagai sosok kepala keluarga kini berdiri di hadapannya, mengenakan jubah hotel dan terlihat santai, seolah tak ada yang perlu disembunyikan.
"Harry?" suara Calvin terdengar datar, namun jelas sekali ada keterkejutan yang tak bisa ia sembunyikan.
Harry mengerutkan dahi. "Apa yang Papa lakukan di sini?" tanyanya dingin, mencoba menahan emosi.
Calvin tersenyum kecil, menutupi ketegangan yang mulai menyerangnya. "Aku… sedang ada urusan bisnis di sini. Kamu sendiri, mengapa kamu ke sini?"
Harry melirik ke dalam kamar, tapi posisi Calvin sedikit menghalangi pandangannya. "Urusan bisnis?" ulangnya pelan. "Di kamar hotel seperti ini? Sendirian?"
Calvin tertawa kecil. "Kamu sendiri tahu, bisnis kadang butuh tempat yang nyaman untuk negosiasi."
Harry makin curiga. Dadanya terasa sesak, pikirannya menari liar. Ia yakin pelacaknya tidak salah. Raline ada di dalam sana. Ia yakin suara pria yang ia dengar tadi saat Raline menelepon—itu suara Calvin.
"Boleh aku masuk sebentar, Pa?" tanya Harry tiba-tiba.
Calvin langsung menegang. "Untuk apa?" tanyanya cepat.
"Aku butuh bicara. Dan aku yakin Papa tidak keberatan," ucap Harry dengan santai.
Tak menunggu jawaban, Harry sudah melangkah masuk. Calvin berusaha tetap tenang, menutup pintu di belakangnya dan berjalan pelan mengikuti putranya.
Harry memandang sekeliling. Kamarnya cukup besar, tertata rapi, tapi masih ada dua gelas kopi di meja kecil dekat jendela dan sepatu wanita di samping sofa. Ia langsung menatap Calvin.
"Papa sendirian, ya?" tanyanya dingin.
Calvin hanya mengangguk.
Namun di balik tirai kamar, di balik lemari besar tempat koper diletakkan, Raline menahan napasnya erat-erat. Ia hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis dan jubah hotel yang sempat ia rebut cepat-cepat sebelum bersembunyi. Jantungnya berdegup kencang, ia bisa mendengar suara Harry dengan jelas. Panik. Takut. Cemas. Semua menyatu dalam dadanya.
"Papa yakin nggak ada yang Papa sembunyikan di sini?" Harry masih berbicara, kini berdiri tepat di tengah ruangan, memperhatikan setiap sudut dengan seksama.
Calvin menyilangkan tangan di dada. "Apa maksudmu?"
Harry berjalan ke arah meja dan mengambil salah satu gelas kopi. Masih hangat. Ia mendekat ke jendela dan melihat ada scarf milik Raline tergeletak di sana. Ia kenal betul corak itu. Ia pernah membelikan scarf itu untuk Raline saat ulang tahunnya tahun lalu.
"Jadi ini negosiasi dengan siapa?" tanya Harry lirih, tapi nadanya sangat menusuk.
Calvin mulai kehilangan kendali. "Harry, cukup. Jangan lancang masuk ke kamar ayahmu dan menuduh macam-macam."
Harry membalikkan badan. Tatapannya membara. "Papa tahu? Aku mendengar suara lelaki saat Raline meneleponku tadi. Suara laki-laki yang dekat dengannya. Dan sekarang aku menemukan Papa di kamar ini. Dan scarf yang pernah aku belikan untuk Raline—ada di sana."
Calvin terdiam. Tidak ada alasan yang bisa ia keluarkan saat ini. Ia hanya berharap Raline tetap diam dan tidak membuat suara.
Sementara itu, Raline di balik lemari mulai gemetar. Keringat dingin mengucur di pelipisnya. Nafasnya masih ia tahan.
"Aku tidak tahu apa yang sedang Papa lakukan," kata Harry pelan, "Tapi kalau aku tahu bahwa Papa terlibat dengan Raline..."
Ia tak melanjutkan. Hanya menghela napas berat, lalu menatap ayahnya dalam-dalam.
"Aku akan pergi dulu. Tapi, aku akan cari tahu semuanya," ucapnya sebelum melangkah menuju pintu.
Calvin hanya berdiri di tempat, membiarkan Harry keluar tanpa sepatah kata.
Begitu pintu tertutup kembali, barulah tubuh Calvin melemas dan ia menghembuskan napas lega. Raline buru-buru keluar dari persembunyiannya dengan wajah pucat pasi.
"Kamu gila," bisik Raline. "Nyaris saja dia tahu semuanya!"
Calvin justru tertawa kecil, lalu mendekat dan mencium pelipis Raline. "Dan nyaris itu… selalu membuat hubungan kita lebih seru, bukan?"
÷÷÷
Cahaya matahari menembus jendela besar kantor di lantai teratas itu, menyinari meja kerja Harry yang kini penuh dengan berkas tak tersentuh. Di atas meja, sebuah bingkai foto terpajang—foto dirinya bersama Raline saat mereka merayakan anniversary pertama mereka. Keduanya tersenyum bahagia dalam balutan pakaian formal, saling memandang seperti dua orang yang percaya bahwa cinta mereka akan abadi.
Namun, senyum di foto itu kini terasa seperti ejekan baginya.
Harry menatap foto tersebut lama, seolah berusaha menggali makna yang pernah ada. Di tangannya, ia menggenggam sepasang manset perak dengan inisial "H&R" yang pernah Raline berikan padanya sebagai hadiah. Ia masih ingat betul betapa bahagianya ia saat menerimanya. Raline saat itu memeluknya erat, berbisik bahwa ia akan selalu jadi satu-satunya di hati gadis itu.
Bohong.
Air mata mulai mengalir di pipinya tanpa bisa ia tahan. Ia mencoba menahan, tapi dada yang sesak dan hati yang remuk membuat tangisnya tumpah.
"Apa kurangnya diriku?" lirihnya pada diri sendiri. "Apa aku nggak cukup baik untuknya?"
Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Semua petunjuk mengarah pada satu hal: Raline telah menghianatinya, dan lebih dari itu—dengan ayahnya sendiri. Pukulan itu terlalu dalam. Terlalu kejam.
Dan yang membuatnya lebih muak lagi, Calvin—ayahnya sendiri, sosok yang ia hormati dan kagumi sejak kecil—ternyata sanggup menikamnya dari belakang. Menyakiti ibunya—Ziva, yang tak pernah sedikit pun curiga. Mama yang selalu setia, bahkan saat Calvin pulang larut malam, selalu percaya bahwa suaminya sibuk bekerja demi keluarga.
Harry mengepalkan tangannya. Ia benar-benar tidak sanggup menerima semua ini.
Tiba-tiba, pintu kantornya diketuk pelan. Ia mengusap air matanya cepat-cepat, mencoba kembali tenang.
"Masuk!" ucapnya dengan suara parau.
Pintu terbuka dan Sandrina—sekretaris pribadinya, masuk sambil membawa beberapa berkas. Wajahnya sempat terkejut melihat mata Harry yang sembab, namun ia tak berkomentar apa pun.
"Ini berkas untuk rapat besok, Pak. Sudah saya ringkas," ucap Sandrina pelan.
Namun, saat ia meletakkannya di meja, Harry berdiri dan menghampirinya. Tanpa berkata apa pun, pria itu langsung menarik tubuh Sandrina ke dalam pelukannya dengan erat.
"Pak... Harry?" gumam Sandrina, bingung dan kaget.
"Please..." suara Harry gemetar. "Aku... aku cuma butuh seseorang sekarang. Aku nggak bisa sendiri. Aku nggak kuat."
Sandrina terdiam. Ia tahu Harry sedang dalam kondisi yang rapuh, tapi pelukan itu terasa begitu tulus. Tangannya yang semula kaku perlahan terangkat membalas pelukan itu, membiarkan Harry bersandar di pundaknya.
"Aku percaya padanya, Sandrina. Aku pikir dia cinta sama aku... ternyata dia... dia tidur dengan papaku sendiri," lirihnya, nyaris seperti bisikan penuh luka.
Sandrina tersentak. Ia memang sempat mendengar desas-desus soal keretakan hubungan Harry dan tunangannya, tapi ia tak menyangka akan serumit dan sesakit ini.
Harry menarik diri sedikit, menatap mata Sandrina. "Aku nggak tahu harus percaya siapa lagi sekarang. Semuanya sudah hancur."
Wajah Sandrina lembut, penuh empati. "Aku di sini, Pak. Kalau Bapak butuh teman... sandaran... aku siap."
Dan tanpa pikir panjang, Harry menundukkan wajahnya dan mencium bibir Sandrina dengan penuh emosi. Bukan karena cinta, tapi karena luka. Karena pengkhianatan. Karena kesepian yang menyesakkan.
Sandrina sempat ragu, tapi tak menolak. Ia tahu, untuk hari ini, Harry hanya ingin merasa bahwa ia masih diinginkan, masih berarti.
Mereka tetap dalam dekapan itu, di balik dinding kaca kantor yang kini dibalut tirai.
Hari itu, hati yang patah mencari pelipur lara.