Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.
Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?
Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.
Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
Beberapa minggu setelah podcast “Kami Juga Manusia” dipublikasikan, ketegangan di sekolah masih terasa, namun ada sesuatu yang berubah. Meskipun podcast itu lebih mengundang kontroversi daripada pujian, tak bisa dipungkiri bahwa suara mereka mulai didengar. Di balik layar, persahabatan mereka diuji, dan mereka mulai menyadari bahwa perjuangan untuk kebenaran jauh lebih berat daripada yang mereka bayangkan.
Pagi itu, seperti biasa, Nala, Juno, Dita, dan Raka duduk di ruang kecil yang mereka sewa untuk merekam podcast. Suasana di luar ruangan itu tampak tenang, tetapi di dalam, mereka merasakan ketegangan yang tak terucapkan. Ada hal-hal yang belum terungkap, ada perasaan yang terpendam, dan mereka tahu ini bukan hanya soal sekolah lagi.
“Gimana kalau kita bikin episode yang lebih personal?” tanya Dita sambil menatap laptopnya. “Yang benar-benar menceritakan apa yang kita rasakan setelah semua ini.”
Juno mengangguk. “Aku rasa itu ide yang bagus. Mungkin ini saatnya untuk menunjukkan sisi lain dari kita. Di luar perlawanan, di luar kritik.”
Raka yang biasanya diam, kali ini membuka mulut. “Tapi kita harus hati-hati. Banyak orang yang mengira kita cuma cari perhatian. Kalau kita terbawa emosi, mereka akan menganggap kita cuma drama.”
“Benar,” Nala menyela. “Tapi bukan berarti kita harus terus-terusan diam. Kita juga manusia yang merasa, bukan robot. Dan menurutku, kalau kita nggak jujur tentang ini semua, orang-orang nggak akan mengerti.”
Dita mengangguk setuju. “Kita bicarakan saja apa yang ada di hati kita. Tentang rasa frustasi, tentang harapan, tentang keraguan.”
---
Beberapa hari kemudian, mereka duduk bersama di ruang podcast, kamera menyala, dan mikrofon di depan mereka. Kali ini, tidak ada skrip yang mereka buat sebelumnya. Hanya perasaan dan kata-kata yang mengalir begitu saja.
Nala memulai, “Semuanya mungkin berpikir kita melakukan ini karena marah atau kecewa. Sebenarnya, itu memang bagian dari alasan kita. Tapi yang paling utama adalah kita ingin ada perubahan. Kita ingin orang-orang tahu bahwa sistem ini tidak bisa terus begini.”
Dita melanjutkan, “Aku tahu banyak yang bilang kita terlalu muda untuk berbicara soal ini. Tapi faktanya, kami yang merasakannya. Kami yang menjalani sistem ini setiap hari. Kami yang terjebak di dalamnya.”
Raka menatap kamera, “Selama ini kita terlalu fokus pada nilai, pada prestasi. Tapi kita lupa bahwa ada banyak hal yang lebih penting: kesehatan mental, rasa aman, kebebasan berpikir. Kami bukan cuma sekadar angka yang harus dihitung.”
Juno menambahkannya, “Dan kami tidak sendirian. Banyak yang merasa seperti ini. Kami hanya kebetulan yang berani bicara. Tapi ada ribuan, bahkan jutaan anak muda yang terjebak dalam sistem yang sama. Mungkin mereka tidak berani berbicara, mungkin mereka takut. Tapi mereka ada.”
Nala menatap mikrofon, suaranya sedikit serak. “Jujur, aku capek. Capek karena merasa selalu disalahpahami. Capek karena setiap kali kita berbicara, orang-orang hanya melihat dari sisi mereka, bukan dari sisi kita. Padahal, kita semua sama-sama manusia. Semua punya perasaan, semua punya mimpi.”
Dita menggenggam tangan Nala, “Aku juga capek. Capek karena terus berjuang tanpa dihargai. Kadang-kadang, aku merasa, apakah semua yang kita lakukan sia-sia?”
Raka tersenyum tipis. “Tapi, kalau kita tidak mulai, siapa yang akan mulai?”
Juno mengangguk. “Tentu saja, kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi yang jelas, kita sudah melakukan yang terbaik. Kita sudah mengungkapkan apa yang ada di hati kita.”
---
Malam itu, podcast yang mereka rekam langsung diunggah ke berbagai platform. Judulnya sederhana, “Di Balik Layar Podcast Gagal Paham”. Tidak ada embel-embel sensasional, hanya percakapan jujur mereka tentang bagaimana perasaan mereka selama beberapa bulan terakhir.
Reaksi dari netizen kali ini berbeda. Banyak yang berkomentar dengan lebih empati, bahkan beberapa teman lama mereka memberikan dukungan. Meskipun ada juga yang tetap mengkritik, namun tak sebanyak sebelumnya. Komentar-komentar yang muncul lebih banyak berbicara tentang perjuangan, tentang rasa lelah, dan tentang harapan.
> “Sangat relatable, gue juga merasa terjebak dalam sistem yang sama.”
> “Kalian benar, kita nggak cuma angka di daftar nilai. Kita manusia, kita punya hak untuk didengar.”
> “Gue ikut bangga sama kalian. Semoga ada lebih banyak yang berani kayak kalian.”
Namun, di sisi lain, ada juga komentar pedas yang kembali muncul, mengingatkan mereka bahwa perjuangan mereka belum selesai.
> “Kalian cuma anak muda yang nggak tahu apa-apa. Dunia itu keras, dan nggak ada tempat untuk orang yang terlalu banyak ngomong.”
> “Siapa kalian, sih? Seolah-olah kalian lebih tahu daripada para guru.”
> “Podcast ini cuma cara kalian cari perhatian. Coba cari masalah lain yang lebih penting.”
Tapi kali ini, reaksi itu tidak terlalu mempengaruhi mereka. Karena mereka tahu, meskipun beberapa orang menentang, ada lebih banyak orang yang akhirnya paham.
---
Di sekolah, perubahan mulai terasa. Meskipun ada tekanan dari pihak-pihak tertentu, seperti guru dan pihak administrasi, para murid mulai mengirimkan pesan-pesan dukungan. Mereka merasa bahwa suara mereka yang selama ini terpendam, akhirnya menemukan tempat. Beberapa bahkan mendatangi mereka secara langsung, mengucapkan terima kasih karena telah membuka mata mereka.
Raka merasakan perubahan ini lebih dalam. Meskipun ia masih harus menghadapi guru-guru yang memberi tekanan, ia merasa ada sedikit harapan. “Mungkin kita bisa merubah sesuatu. Mungkin perubahan itu tidak datang seketika, tapi paling tidak, kita sudah memulai.”
Nala tersenyum, “Iya, setidaknya kita tahu kita tidak sendirian. Ada yang peduli, ada yang mendukung.”
Juno menatap ke arah jendela, “Tapi ini baru permulaan. Kita harus siap untuk lebih banyak halangan ke depan.”
Dita mengangguk setuju. “Kita harus terus maju. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, tapi kita harus bertahan.”
---
Namun, meskipun ada sedikit perubahan, ketegangan masih terasa di dalam diri mereka. Masing-masing dari mereka tahu bahwa perjuangan ini lebih berat daripada yang mereka bayangkan. Ada masa-masa ketika mereka hampir ingin menyerah, ada saat-saat ketika mereka merasa semua yang mereka lakukan sia-sia. Tapi mereka sadar, ini bukan hanya soal mereka. Ini soal seluruh generasi yang merasa terpinggirkan, yang merasa suaranya tidak didengar.
Dan di balik layar podcast mereka, mereka semakin mengerti bahwa perubahan sejati tidak datang begitu saja. Perubahan itu datang melalui perjuangan, melalui pengorbanan, dan melalui keberanian untuk terus berbicara meskipun banyak yang tidak setuju.