Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH LIMA
Langit pagi itu berwarna merah jingga, sinar matahari mulai mengintip dari sela sela awan, menerobos masuk ke jendela kamar dengan lembut, menciptakan suasana yang hangat dan menenangkan. Gala, dengan lembut menggoyangkan bahu Nara, istri tercintanya yang masih terlelap dalam selimut hangat.
"Sayang, bangun," bisik Gala lembut, sambil tersenyum melihat wajah damai Nara.Nara perlahan membuka matanya, menatap suaminya dengan rasa sayang yang mendalam.
"Em... aku masih ngantuk, Mas..." gumamnya dengan suara yang manja, membuat Gala semakin tidak tega membangunkannya. Namun, ia teringat akan kewajiban mereka di pagi hari.
"Ehhh... salat dulu,"Gala, mencoba mengingatkan Nara akan rutinitas mereka setiap pagi. Suara Gala penuh dengan nada cinta dan kesabaran, walaupun ia sedikit kecewa karena mereka belum bisa melaksanakan salat bersama.
"Emm... aku sedang datang bulan, kamu lupa,Mas" sahut Nara, sambil memiringkan tubuhnya kembali ke posisi tidur. Wajahnya memperlihatkan rasa tidak nyaman, mengingatkan Gala pada malam pertama mereka yang kurang sempurna karena kehadiran tamu bulanan Nara.
Gala menghela nafas, mengingat kekecewaan yang sempat menghampiri hatinya. Namun, ia cepat-cepat mengusir pikiran tersebut dan memilih untuk memahami situasi. Dengan penuh kasih, ia mengusap rambut Nara dan berbisik,
"Mas lupa, Sayang. Istirahatlah lagi." Gala duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Nara yang kembali terlelap. Ia merenung sejenak, merasa bersyukur atas cinta yang kembali mereka temukan setelah sekian lama terpisah.Gala tersenyum, mengecup kening Nara sebelum Gala ke dapur untuk membuat sarapan.
Gala terlihat begitu lincah, memotong daging dan membuat bumbu, tampak Gala mengenakan apron biru sambil menggoreng telur di atas wajan yang telah memanas. Aroma kopi yang baru diseduh menyatu dengan bau roti panggang yang membuat selera makan pagi itu meningkat.
Nara, dengan rambut basahnya yang baru saja diikat ke atas, berjalan pelan menuju dapur dengan langkah yang masih terasa lengang. Melihat Gala sibuk, dia mendekat dari belakang dan dengan lembut melingkarkan tangan di pinggang Gala.
"Pagi, Prof," bisik Nara dengan suara yang menggoda, sementara bibirnya mendarat di leher Gala yang tampak menggoda.Gala tersenyum tanpa mengalihkan pandangan dari telur yang sedang digoreng.
"Pagi, Sayang," sahutnya, sambil merasakan hembusan nafas Nara yang hangat di lehernya.Nara tidak puas dengan hanya satu kecupan. Dia kembali mendekatkan bibirnya ke leher Gala, kali ini dengan sedikit gigitan kecil.
"Eeemm, jangan nakal, kalau mas kepengen gimana?" Gala berusaha tetap fokus pada masakannya, tapi suara Nara yang manja membuatnya terganggu.Tangan Nara mulai bergerak lebih bebas, mengusap-usap dada bidang Gala dengan kelembutan. Sementara itu, Gala mencoba menahan diri dan fokus pada sarapan yang hampir selesai. Meski begitu, senyum tipis tak bisa lepas dari wajahnya, menandakan betapa dia menikmati sentuhan yang diberikan Nara pagi itu.
Gala dengan cepat menati kan kompor, dan dengan gerakan lembut membalikkan badan Nara, mencubit hidung mancungnya "Nakal..." kata-kata itu meluncur halus sebelum bibir Gala dengan penuh nafsu mencium bibir Nara yang merah muda.
Di dapur yang berselimut aroma pagi, mereka semakin larut dalam tarian kasih. Tangan Gala lembut mengelus leher jenjang Nara, kemudian menyentuh wajahnya yang ayu, sementara perlahan dia mengangkat Nara ke atas meja dapur. Semua sudut dapur dan setiap peralatan masak menjadi saksi bisu atas pergulatan hangat yang meluapkan api asmara di pagi itu.
Namun ciuman panas itu terhenti ketika suara perut Nara mengganggu keheningan, berteriak meminta diisi. Nara menunduk malu, tetapi Gala justru menatapnya dengan senyum lembut yang membuat Nara merasa makin kikuk. Tawa kecil keluar dari bibir Gala yang barusan menyentuh perut Nara.
"Kamu lapar...?" tanyanya lembut sambil menyentuh bibir Nara dengan ibu jarinya, menghapus jejak dari ciuman yang tak sempat mereka tuntaskan.
"Em..." hanya gumaman itu yang mampu keluar dari bibir Nara, terasa aneh menjawab pertanyaannya dengan sepatah kata saat wajahnya memerah seperti tomat.
"Tunggu di sini, Mas siapkan sarapan," katanya penuh perhatian, sambil menggendong Nara dan mendudukkannya di kursi meja makan.Nara menurut, mengikuti sentuhan tangannya yang hangat.
Mata Nara tak lepas memandangnya dari meja makan, melihat setiap gerakan Gala yang luwes. Sosoknya begitu menenangkan, seperti pelabuhan yang selalu siap menerima kapal yang penuh ombak. Senyum Nara perlahan mengembang tanpa ia sadari. Hatinya berbisik pelan.
"Ternyata kamu gak pernah berubah, Mas. Tetap penyayang, tetap memanjakanku, bahkan setelah aku mengecewakan dan mengabaikanmu." Napas berat tak terasa terhembus dari hidung mancung Nara, mengingat bagaimana dirinya dulu menolak Gala, mencoba menjauh, tak mampu menerima Gala yang hadir di hidup Nara saat ingatannya tercerabut paksa dari kenyataan.
"Maaf... Aku sudah menyulitkanmu, Mas," berbisik Nara dalam penuh sesal. Nara merasa getir memikirkan segala kebodohan dan sikap buruknya di masa lalu, tapi Gala... dia tak pernah berhenti sabar. Dia tetap ada, dan selalu ada untuk wanita yang ia cinta.
Gala mengaca rambut Nara dengan lembut, menyadarkan Nara dari lamunannya.
"Eeyy..kok malah melamun," tegur Gala, suaranya lembut namun ada sedikit kekhawatiran.
Nara menoleh, tatapannya penuh dengan rasa bersalah, "Maaf," ucapnya pelan.Gala menghentikan gerak tangannya, menyipitkan mata, mencoba membaca apa yang tersirat di wajah Nara.
"Maaf untuk apa?" tanya Gala sambil menyendokkan nasi goreng ke piring Nara, mencoba memecah kebekuan.Terdengar desah pelan dari Nara.
"Maaf, aku sudah terlalu kejam mengabaikanmu, Mas," bisiknya lirih, tangannya menggenggam tangan Gala yang lain. Ada rasa berat yang tampak jelas dalam setiap kata yang diucapkannya, seolah setiap suku kata berusaha menahan beban
Gala menatap Nara, matanya menghangat, penuh pengertian. Dia menggenggam balik tangan Nara, "Jangan meminta maaf, semua itu terjadi karena bukan kamu sengaja, ingatanmu yang saat itu hilang, yang tak dapat mengingat apa apa" ujar Gala terdengar santai.Nara mengangguk, menatap Gala penuh cinta.
"Makan lah, sebentar lagi kita ke kampus,pagi ini, Mas harus gantikan Pak Rofi,"ujar Gala mengalihkan pembicaraan agar Nara tak terus merasa bersalah.
Nara pun dengan cepat menyantap makanan dalam piringnya. Lalu berganti pakaian yang cocok di badannya dan menenteng ransel menunggu Gala mengambil tas laptopnya dari meja kerja.
"Ayo..." ajak Gala menggandeng tangan Nara.
Pagi yang cerah di kampus, mahasiswa berlalu lalang dengan berbagai aktivitas. Gala dan Nara, yang biasanya jalan sendiri sendiri, kali ini terlihat berbeda. Nara dengan sengaja memamerkan kedekatannya dengan pak dosennya itu, tangannya melingkar di lengan kiri Gala, seakan menunjukkan pada publik atas kepemilikannya. Keduanya berjalan beriringan di koridor kampus.
Tatapan mata mahasiswa lain segera tertuju pada mereka. Ada yang menghentikan langkah, ada pula yang berbisik dengan teman di sebelahnya. Isu tentang hubungan Nara dengan salah satu dosen di kampus yang telah lama beredar, kini seolah mendapatkan bukti nyata.
Nara yang selama ini terkenal akan kecerdasannya, kini menjadi topik panas di kalangan mahasiswa.Di sudut kampus yang dipenuhi bisik-bisik mahasiswa, desas-desus tentang Nara dan Prof Gala semakin mencuat.
"Benarkah itu, Nara dan Profesor Gala memiliki hubungan spesial?" tanya seorang mahasiswa dengan mata yang berkilau, terbakar rasa penasaran.
"Tentu, aku melihatnya dengan mata kepala sendiri!" seru seorang temannya, menambahkan semburat sensasi pada gosip yang telah membara. "Mereka tampak sangat mesra saat turun dari mobil bersama,tadi di parkiran." ujarnya dengan metatap serius.
"Jadi, apa itu berarti Prof Gala menjemput Nara hari ini?"ujar salah satu mahasiswi Gala, merasa tak rela.
"Kemungkinan besar,begitu" jawab yang lain dengan nada yakin. Seorang penggemar berat Gala menyela, suaranya penuh kecemburuan. "Aku tak rela mendengarnya... dan melihat kemesraan mereka Wey..!" Jiwanya pun meronta ronta.
Sementara di pojokan kampus, kerumunan mahasiswa yang bergumam terus memperhatikan setiap gerak-gerik Gala dan Nara.Gala, menyadari setiap pandangan yang tertuju padanya, Gala hanya dapat tersenyum lebar, bahagia dan sedikit bangga.
Gala tahu, mulai hari ini, isu tentang hubungan mereka akan semakin memanas. Nara, di sisi lain, terlihat tenang dan bahkan seolah menikmati sorotan yang diterimanya. Dia berbisik kepada Gala, "Rupanya kita jadi bintang hari ini,Mas?"
Bisik Nara. Gala tersenyum sambil mengelus manja puncak kepala Nara.
"Biarkan mereka berbicara dan bergosip, yang penting kita tahu apa yang sebenarnya terjadi, pada kita"Ujar Nara sembari tersenyu, Gala pun ikut tersenyum menatap Nara penuh cinta,semakin membuat iri para nata yang memandangnya.