Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Teman Bicara
Sudah satu Minggu aku menghabiskan waktu di vila. Namun, aku belum menemukan solusi dari masalah rumah tanggaku. Semakin dipikirkan semakin sakit. Mau si pelakor laki-laki atau perempuan sama saja sakitnya tapi kurasa pelakor laki-laki lebih rumit.
Kali ini aku tetap mengaktifkan ponsel. Tidak seperti tempo hari. Dave sangat menghargai keputusanku. Dia tidak meneror untuk mengajakku bertemu membahas permasalahan kami. Namun, tak dapat dipungkiri banyak pikiran aneh yang melayang di dalam benakku.
Apa Dave sudah tidak mencintaiku lagi? Apa dia sedang bercumbu dengan lelakinya? Apa Dave lebih memilih pelakor itu daripada aku? Ah, susah juga ternyata. Aku yang tak ingin diganggu oleh Dave, aku juga yang repot dengan perasaanku sendiri. Sebenarnya apa yang aku mau?
Karena tidak ada hal lain yang ingin ku lakukan, aku beralih ke mbah Gugel. Mengetik beberapa pertanyaan yang ingin aku tanyakan tapi malu untuk bertemu langsung. Mungkin dengan beberapa artikel online bisa membantu meringankan masalahku ini.
Ada beberapa artikel yang aku dapat, yang cukup rekomendasi. Di antaranya berisi tentang ganjaran bagi istri yang meminta cerai pada suami jika suami dalam keadaan baik. Mungkin baik yang di maksud benar-benar suami yang baik.
Imam yang baik, menafkahi istri, tidak melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, melindungi istri, dan yang pasti tidak berselingkuh.
"Gimana dengan yang berselingkuh?" ucapku sendiri.
Aku beralih ke artikel lain. Isinya tentang ujian rumah tangga. Aku membacanya penuh khidmat. Banyak kiat-kiat yang diberikan saat mendapati ujian. Setelah membacanya sampai selesai malah aku sendiri yang kesal. Aku menganggap si penulis artikel belum tentu pernah merasakan sakit hati dari diselingkuhi.
Ibaratnya berucap itu gampang tapi melakukannya belun tentu bisa. Seperti yang pernah aku lakukan dulu. Aku merasa kiat-kiat itu hanya opini dari si penulis artikel saja. Bukannya bertambah baik, aku justru semakin kesal. Pikiranku seketika buntu. Yang ada aku malah melempar ponselku di kasur.
"Tidak! Aku tidak bisa begini terus. Waktu semakin berjalan. Banyak hal yang telah terlewati. Apalagi Carla. Ini adalah masa emasnya. Aku tidak ingin kehilangan lebih banyak waktu emasnya. Aku harus mencari seseorang yang bisa diajak untuk berkonsultasi," aku mulai frustasi dan bangkit dari kasur.
Aku berjalan bolak-balik seperti dikejar oleh sesuatu yang tak tampak. Ingin bertemu dengan ahli agama, aku malu untuk bertanya. Lagipula aku tidak tahu mana ahli agama yang cocok. Maksudku yang paham dengan masalah ini dan tidak memihak sebelah. Ingin meminta pendapat sahabat yang biasa aku ajak nongkrong dulu juga tidak mungkin.
Setelah menikah kami jarang bahkan nyaris tidak pernah nongkrong bareng. Mereka juga belum menikah. Bisa jadi kurang paham atau tidak mengerti menghadapi masalah ini.
"Argh!" Aku teriak frustasi.
Kali ini aku benar-benar frustasi. Merasa kembali ke jalan buntu, aku memilih menghempaskan tubuhku kembali ke kasur. Aku kembali meraih ponsel yang sempat tertimpa bantal. Malas mencari artikel dan berselancar di medsos, aku beralih ke aplikasi berlogo telpon. Mungkin mengintip status wa di kontak ku sedikit menghibur.
Aku mengklik logo telpon warna putih dengan dasar persegi hijau. Usai terbuka, serentetan profil di setiap kontak dilingkari warna hijau. Ada salah satu kontak yang sangat jarang dilingkari warna hijau. Aku penasaran status apa yang dibuat olehnya.
Ada tiga garis yang menampilkan tiga status berbeda. Status pertama foto dua tiket pesawat. Kedua foto pegangan tangan dan terakhir foto hotel bintang lima yang letaknya satu kota denganku. Tanpa pikir panjang aku langsung menghubungi orang yang membuat status tadi.
"Assalamualaikum," jawab seseorang di seberang sana.
Suaranya masih sama seperti dulu. Sudah berapa tahun kami tidak bersua tapi terkadang berkomunikasi melalui pesan singkat sekedar menanyakan kabar atau merespon statusku.
"Waalaikumsalam," jawabku.
"Apa kabar Rei?" tanyaku.
Aku berusaha menahan gejolak bahagia di hati. Tentu saja, Rei adalah pilihan pertamaku untuk mendiskusikan masalah rumah tangga yang sedang ku hadapi. Aku memiliki alasan kuat. Rei sudah lama menikah. Jika aku tidak salah hitung, usia pernikahannya sudah memasuki usia ke delapan belas.
Dia dan suaminya juga belum dikarunia buah hati hingga saat ini. Setahuku, mereka mengangkat anak dari kakak Rei. Itu juga tidak tinggal bersama mereka. Kehidupan rumah tangga Rei dan suaminya ku lihat baik-baik saja.
Tidak bisa dipungkiri, setiap rumah tangga pasti ada cobaan. Aku yakin, Rei pasti pernah mengalaminya. Bukannya aku kepo alias penasaran tapi aku ingin tahu cara Rei menghadapi dan menyelesaikannya.
"Alhamdulillah baik," nada suaranya lembut dan terdengar bahagia.
"Kabarmu gimana?" timpalnya lagi.
"Alhamdulillah baik," aku berbohong.
"Kenapa lu ngga hubungin gue sih, Rei! Kalo lu ada di Bandung," aku sedikit kesal padanya.
"Perginya dadakan. Nemenin suami meeting," balas Rei singkat.
"Jauh amat meeting-nya!" ledekku.
"Ho oh! Kata laki gue sih emang enak maen jauh-jauh," balasnya sambil terkekeh.
"Rei!" seruku
"Hmm."
"Kira-kira bisa ketemuan ngga? Gue kangen banget sama lu," aku berucap dengan lancar karena alasan yang kuberi sangat masuk akal.
"Ntar gue tanya laki gue dulu ya."
"Iya, istri yang solehah," godaku.
Rei tertawa di seberang sana. Cukup lama kami bertukar cerita. Menanyakan kabar dan kegiatan saat ini. Selain memiliki usaha di bidang jasa pendidikan, Rei juga seorang penulis novel online. Aku ingat kejadian beberapa tahun lalu. Saat pertama kali kami bertemu di pesta ulangan tahun perusahaan papaku.
Rei dan suaminya juga hadir di sana sebagai tamu perwakilan dari perusahaan di luar pulau. Aku tidak sengaja menumpahkan air di gamisnya. Bukannya marah, Rei malah tersenyum dan mengajakku mengobrol. Hebatnya lagi dia menganggap kejadian itu tidak pernah ada. Begitulah awal yang manis menjadi awal persahabatan kami.
Usai mengakhiri obrolanku dengan Rei. Aku memilih keluar kamar untuk mencari Carla dan menemaninya bermain. Jujur saja, sudah seminggu terakhir, aku absen mengurus Carla. Untung saja Carla menyukai bi Ijah. Jadi, aku tidak kerepotan dan fokus menyelesaikan masalahku.
"Mama kenapa? Kok dali tadi cenyum-cenyum cendili," tanya Carla saat melihatku berdiri tepat dihadapannya.
"Mama lagi senang karena mama mau ketemu sama teman mama," jawabku sambil mengambil alih Carla dari gendongan bi Ijah.
Bobot badannya semakin bertambah. Membuatku tidak bisa bertahan lama menggendongnya.
"Carla sayang, besok mama mau bertemu dengan teman mama. Carla mama tinggal sama nenek Ijah dulu, ya!" ucapku sambil mengusap pangkal hidungnya yang mungil.
"Cewek atau cowok?" sebuah pertanyaan polos yang lolos dari mulut balita itu.
Aku tertawa mendengar pertanyaannya yang sederhana tapi terkesan lucu. Bisa-bisanya dia bertanya jenis kelamin orang yang akan aku temui nanti.