Menceritakan tentang Raya seorang perempuan yang memiliki kelebihan yaitu Indra keenam. Raya adalah seorang vokalis bend nya yang berada KapRal. Raya juga merangkap sebagai pencipta lagu yang dia ambil dari kisah-kisah arwah penasaran.
Suatu hari Genk KapRal didatangkan beberapa musibah dan malapetaka, pertama Raya nyaris terbunuh, kedua bend KapRal mendapati sebuah fitnah bahwa bend mereka melakukan plagiat atas lagu-lagu yang diciptakan Raya.
Saat merasa frustasi Raya tiba-tiba mendapat ide untuk datang ke villa milik kakeknya.
Di Sana dia yang ditemani sagara menemukan beberapa hal ganjil serta berhasil menemukan sebuah syair atau mantra yang akan di ubah oleh Raya menjadi sebuah lagu.
Dari sanalah malapetaka besar itu akan muncul. Setelah Raya memperkenalkan lagi ciptaanya kepada teman-teman bend nya.
Satu persatu teman-teman bend mati dengan cara yang mengenaskan, pembunuh nya hanya meninggalkan jejak yang sama yaitu kedua bola mata korban lenyap tiada bekas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuireputih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9 Pembunuhan Masal di Pesta Klasik
Ini tampak seperti pesta klasik zaman kolonial Belanda. Banyak muda-mudi memadu kasih di sana, lalu lalang seenaknya di depan Raya dan Sagara. Atau mungkin mereka tak melihatnya? Lagipula ini aneh.
Sagara tak lagi mampu menyembunyikan getar di sekujur tubuh, sedangkan Raya masih ternganga dengan mata menyalang menelusuri tiap seluk beluk ruang. Rumah kakeknya berubah seratus delapan puluh derajat. Tak ada kain putih kumuh yang menutup barang-barang.
Jaring laba-laba lenyap. Dinding yang tadinya dihiasi potret bebas kakek Raya, telah berganti menjadi foto sosok pria asing bersorot mata dan rambut kecoklatan bertuliskan Algrandra Van Der Arvero 1917.
Van Der Arvero? Mungkinkah ini foto ayah dari kakek Raya?
Sontak Raya menutup mulut menggunakan dua telapak tangan mungilnya. Sepertinya ia dan Sagara terlempar ke sebuah dunia asing. Namun yang pasti, tempat ini bukan dihuni manusia hidup.
"Raya, ini di mana?" Sagara bertanya dengan bisikan.
Raya tak menjawab. Matanya masih sibuk mengamati setiap orang yang ada di pesta ini. Ya, Raya yakin jika ini adalah sebuah pesta, terbukti banyaknya pemuda Belanda mengenakan setelan jas dan para noni mengenakan busana lolita klasik.
Musik mendayu, mengiringi dendang pasangan yang berdansa. Raya merasa terhanyut dalam irama yang sendu. Namun, hanyutan itu buyar ketika Sagara menepuk telapak tangannya.
"Ray! Kita ada di mana? Aku merasakan firasat buruk. Ini pasti bukan dunia kita!" Sagara berkata dengan ketakutan mencapai ubun-ubun.
'Dunia orang mati." jawab Raya singkat.
"Hah?" Sagara tak mampu menyembunyikan keterkejutan.
"Bagaimana bisa kita keluar dari sini? Ray, kamu pasti bisa melakukan sesuatu!" pinta Sagara. Keringat dingin telah mengalir, membanjiri kening dan bajunya.
Sagara terpekik ketika sebuah mata tajam milik seorang noni melotot ke arahnya. Pemuda itu panik, tapi bingung hendak kabur ke mana. Ia menoleh menatap Raya. Gadis itu malah terdiam. Mulutnya terpejam dan bibirnya komat-kamit. Namun, rupanya ketegangan tidak berhenti sampai di situ.
Satu persatu orang di pesta itu tumbang dan menggelepar dengan mulut mengeluarkan darah segar setelah meminum bir yang disuguhkan beberapa pelayan berwajah pribumi.
Semua menjerit ketakutan. Korban berjatuhan satu persatu dengan keadaan yang sama. Mereka jatuh dan memuntahkan darah. Kebanyakan langsung diam tak bergerak. Suasana kacau balau. Hanya tampak satu orang yang tenang. Ia adalah lelaki berkumis yang ada di foto. Lelaki yang berada tepat di tengah dengan memakai seragam tentara Belanda.
"Tolong!" pinta salah seorang lelaki dengan tuksedo putih. Ia sekarat. Darah terus keluar dari mulutnya. Susah payah ia merayap dan berusaha menggapai kaki lelaki berseragam yang kini menyeringai.
Tanpa belas kasihan, lelaki berseragam itu menendang wajah lelaki bertuksedo putih hingga tak bergerak lagi. Mati.
Sagara menutup mata, tak tahan dengan adegan kejam di hadapannya.
"Algrandra! Kau pengkhianat!" Geram marah terdengar, tapi lelaki berseragam yang dipanggil Algrandra itu tersenyum tenang sambil mengambil senapan di sebuah rak yang berada tak jauh dari situ.
Ditembakinya sisa orang yang masih bertahan. Jerit memilukan terdengar disertai cipratan darah yang mengotori rumah.
Namun, seseorang datang mendobrak pintu depan yang terkunci. Beberapa orang berseragam tentara Belanda masuk dan menodongkan senjata pada Algrandra.
"Mengapa kau melakukan ini? Kau membunuh orang-orang kita?" tanya lelaki dengan banyak tanda bintang di bahunya.
"Aku terpaksa!" jawab Algrandra perlahan.
"Sebegitu besarnya cintamu pada Ngarlien sampai harus melakukan hal bodoh seperti ini? Untuk apa? Kekuatan abadi? Itu omong kosong!"
Komando untuk menembaki Algrandra diluncurkan.
Bunyi tembakan terdengar memekakkan telinga, menyulap hening menjadi hingar binger. Kala itu juga, bau dupa tercium kuat, membuat para tentara pusing. Tembakan pun meleset. Anehnya, di antara banyak peluru yang diarahkan pada Algrandra, tak ada satu pun yang melukainya.
"Ngarlien ada di sini!" pekik salah satu tentara.
Yang disebut pun muncul dari ambang pintu. Seorang wanita berkebaya putih dengan wajah jelita menebar senyum manis bergantian pada satu persatu lelaki yang ada di ruangan itu. Semua terpana, terpikat oleh gincu merah menyala yang dipoles di bibir gadis lugu yang sakti itu.
tapi kerennnnn 👍👍👍👍