Ketika ketertarikan yang dihiasi kebencian meledak menjadi satu malam yang tak terlupakan, sang duke mengusulkan solusi kepada seorang gadis yang pastinya tidak akan direstui untuk ia jadikan istri itu, menjadi wanita simpanannya.
Tampan, dingin, dan cerdas dalam melakukan tugasnya sebagai penerus gelar Duke of Ainsworth juga grup perusahaan keluarganya, Simon Dominic-Ainsworth belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang tidak mengaguminya–kecuali Olivia Poetri Aditomo.
Si cantik berambut coklat itu telah menjadi duri di sisinya sejak mereka bertemu, tetapi hanya dia yang dapat mengonsumsi pikirannya, yang tidak pernah dilakukan seorang wanita pun sebelumnya.
Jika Duke Simon membuat perasaannya salah diungkapkan menjadi sebuah obsesi dan hanya membuat Olivia menderita. Apakah pada akhirnya sang duke akan belajar cara mencinta atau sebelum datangnya saat itu, akankah Olivia melarikan diri darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonwul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09: Tumbuh Menjadi Wanita Cantik
“Kamu tahu aku pandai menilai karakter, Simon.” Charlotte berucap tidak lama setelah duduk di kursi tamu ruangan pribadi Simon.
Tentang apa yang dilihat, didengar, juga dirasakannya kemarin malam, Charlotte tidak bisa menahan dirinya untuk mendatangi sang pemicu semua hal jahat yang mungkin akan dilakukannya.
Pria itu di lain sisi, dari belakang meja kerjanya dengan tenang, duduk dengan tenang. “Ada hal penting yang ingin kamu katakan? Kalau begitu, cepatlah, saya harus mengejar jadwal saya.”
Charlotte menganga kecil. “Baiklah.” Wanita muda itu berdiri dari kursinya dan berjalan ke sisi kursi yang diduduki Simon. “Akan kukatakan dengan singkat.”
Simon menghela pelan lalu menoleh pada wanita itu untuk melihatnya lebih jelas. “Katakanlah,” ujarnya pelan.
Charlotte menundukkan badannya, sebelah lengannya mendarat di atas lengan kursi kerja itu. Membuat wajahnya berdekatan dengan wajah Simon yang tak ada perubahan sedikit pun pada garis wajahnya meski dengan gerakan seduktif itu.
“Iblis apa pun yang ada di dirimu, jangan kamu tunjukkan selama hubungan kita terjalin.” Charlotte menyentuh wajah Simon dengan lembut. “Aku mohon, Simon, jangan buktikan orang-orang yang memiliki dugaan buruk tentangmu benar.”
Simon membalas tatapan Charlotte, ia tetap tampak santai, benar-benar menguasai situasi. “Lalu?” Ia menyentuh jemari Charlotte yang membelai wajahnya, membuat pergerakan itu berhenti. “Apa yang kamu inginkan dari saya akan itu?”
Charlotte tersenyum. “Berjanjilah padaku. Aku ingin ketenangan bahwa kamu tidak akan melakukannya.”
Simon tersenyum menyeringai, ia melepaskan sepenuhnya sentuhan wanita itu dari wajahnya. “Saya tidak berjanji kecuali untuk bisnis. Jika hanya itu yang akan terus kamu katakan, maka saya akan melanjutkan jadwal saya. Pergilah, Charlotte.”
♧♧♧
Olivia telah memegang dan memandangi ponselnya dengan kegundahan sejak ia bangun pagi ini.
Menyelesaikan pekerjaannya, hanya saat itu dirinya dapat terlepas dari berkecamuknya pikiran yang penuh pertimbangan untuk menghubungi Paul dan meminta bantuan pria itu.
“Olivia, apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?”
Olivia buru-buru mengatur emosinya supaya tidak sampai tercetak jelas di wajahnya. “Hng? Ah, bukan apa-apa, Ayah.” Ia tersenyum dan berlari kecil menghampiri Aditomo yang berjalan ke arahnya.
Aditomo tertawa melihat tingkah putri semata wayangnya itu. “Ayah mendapat kabar kalau malam tadi anak Ayah ini terlihat sangat cantik.”
Olivia bersungut kecil, pura-pura merajuk. “Jadi, kecuali malam tadi aku tidak cantik, ya?”
Raut risau Aditomo terlihat jelas di wajahnya, ia membawa tubuh mungil sang putri ke rangkulannya. “Bukan begitu. Anak gadis Ayah ini perempuan tercantum sejagat raya, tidak ada tandingannya. Sangat disayangkan Ayah tidak ada di sana untuk melihatnya langsung.”
Olivia tertawa di dalam pelukan ayahnya. “Iya sih, sayang sekali Ayah tidak bisa melihatku malam tadi.”
Aditomo melerai pelukan mereka, ia merangkul pundak sang putri sebagai gantinya dan mulai berjalan bersama. “Kamu tahu, Nak? Saat Ayah berjaga malam tadi, ada satu tamu yang sangat kurang ajar.”
Olivia menoleh dengan tatapan khawatir. “Dia melakukan apa pada Ayah?”
Aditomo tersenyum pahit. “Ayah tidak bisa menceritakan detailnya padamu, tapi tamu itu sangat kurang ajar bahkan saat memanggil Ayah untuk mengantarkannya pulang.”
Olivia berhenti berjalan, tatapan risaunya begitu dalam kepada sang ayah. “Pasti berat bagi Ayah. Apa semua baik-baik saja?”
Aditomo memberikan senyuman indahnya. Sepenuhnya karena perasaan terenyuh akan emosi yang ditunjukkan putrinya itu. Ia menjadi sadar, bahwa waktu yang telah ia lewati tanpa sang putri tidak sebentar. Putrinya itu telah tumbuh semakin dewasa.
“Dengarkan Ayah, Nak.” Aditomo berjalan ke hadapan Olivia. “Bekerja dengan para konglomerat atau bahkan bangsawan terkadang sangat menguras tenaga dan emosi. Beberapa orang itu tidak jarang menganggap dirinya berada di atas dari orang lain, sehingga saat berhadapan dengan pekerja seperti kita, mereka bersikap begitu semena-mena.”
Olivia mendengarkan dengan saksama setiap perkataan ayahnya itu.
“Ayah memiliki beberapa tabungan yang sudah Ayah siapkan untuk biaya kuliahmu di Indonesia. Pertimbangkanlah lagi, Nak. Ada baiknya kamu kembali ke Indonesia dan melanjutkan studimu. Ayah akan pastikan kamu tidak perlu bekerja menjadi pesuruh seperti ayahmu ini,” sambung Aditomo dengan intonasi lembutnya memberi pengertian supaya Olivia ingin menuruti usulannya.
Untuk beberapa alasan, semua kekacauan yang telah memorak-porandakan dirinya terasa tidak begitu berarti lagi. Ia merasa masih bisa menanggungnya jika itu demi sang ayah. Semua kekacauan itu, bahkan juga Simon sang pemicu, ia akan berusaha bertahan.
Olivia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak akan meninggalkan Ayah sendiri. Terlebih setelah mendengar cerita Ayah tadi, dan alasan terbesarnya adalah aku tidak ingin hidup terpisah dengan Ayah lagi.”
“Anak Ayah,” ujar Aditomo lalu membawa Olivia kembali ke pelukannya. Namun, kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Perasaan saling menyayangi yang tulus dari keduanya terucapkan dengan sangat baik.
Masih di dalam rengkuhan sang ayah, Olivia mengucapkan impian sekaligus janjinya. “Aku akan mencari cara untuk Ayah dan aku bisa terlepas dari pekerjaan dan keluarga ini. Nanti, biarkan aku yang mencari nafkah untuk kita berdua.”
♧♧♧
"Selama menyelesaikan studi doktoral, saya akan menetap di Amerika sampai wisuda." Adalah yang dikatakan Simon pada Benedict di tengah berlangsungnya pesta pertunangan dirinya dan Charlotte kemarin malam.
Berpikir akan pergi dari mansion bukan hanya dipikirkan oleh Olivia. Simon memikirkan hal yang sama dengan alasannya sendiri.
Simon tahu betul bahwa hatinya telah goyah dan demi menekan pertumbuhan perasaan yang hanya akan menjadi tak terkendali, melarikan diri adalah pilihan terbaik.
Maka dari itu, saat ini di ia berdiri di hadapan kedua pihak keluarganya dan Charlotte.
"Saya akan menetap di Amerika selama studi saya selesai. Siang ini keberangkatannya, maka inilah kesempatan saya untuk berpamitan."
"Baguslah, kamu akan lebih fokus saat sendiri." Louis Ainsworth, sang ayah sekaligus duke sebelumnya memberikan pendapatnya.
Tampaknya kedua orang tua Charlotte tidak setuju dengan itu, mereka mengernyit samar begitu mendengarnya.
"Kenapa kamu mendukungnya pergi jauh dari kita?" Margareth pun tidak setuju.
Louis yang terduduk di atas kursi roda lantaran mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya, namun tidak kehilangan kewibawaannya sama sekali. Ia membalas tatapan tajam istrinya itu dan berucap tenang. "Dengan dia hidup sendiri di sana tanpa keributan keluarga kita, setidaknya mengurangi sedikit beban yang ada di pundaknya. Itu akan membantunya lebih fokus, baik dalam menyelesaikan studinya maupun pekerjaannya sebagai duke."
Margareth tersenyum pahit dan memutuskan tidak akan berpendapat lagi setelahnya.
Simon melihat tingkah kedua orang tuanya yang tidak akur itu dengan santai. Bukannya tidak tahu, bahwa pernikahan sang duke dan duchess sebelumnya telah lama berantakan akibat kehadiran seorang wanita simpanan.
Charlotte tersenyum di tengah ketegangan keluarga Simon, dengan penuh keanggunan, ia berusaha menengahi permasalahan.
"Saya sependapat dengan Ayah Mertua. Saya juga sangat mempercayai keputusan Simon. Pasti setiap keputusan yang diambilnya memanglah terbaik." Charlotte mengakhiri kalimatnya dengan melihat Simon dengan tatapan aku-sedang-memberi-peringatan kepada sang tunangan.
Simon mengerti sepenuhnya tatapan itu, namun dirinya kembali tidak tersulut akan permainan yang wanita itu coba mainkan padanya.
"Seperti dugaan, kamu sungguh bijaksana, Charlotte." Simon memberikan pujian pada tunangannya itu. Sebuah pujian kosong tidak susah untuk diucapkannya.
Semua persiapan dan urusan telah diurus sepenuhnya, Simon dalam perjalanan untuk keluar mansion dan menaiki mobil menuju bandara.
Baik Olivia ataupun ayahnya masih berada di sekitar halaman mansion, mereka pun menyaksikan kepergian Simon yang diantar oleh kedua keluarga itu.
Charlotte yang melihat dari kejauhan bahwa Olivia sedang melihat ke arah mereka pun memberikan sebuah tontonan yang layak, dengan tiba-tiba ia memeluk erat tubuh Simon.
Olivia cukup tertegun melihat itu, dan hanya memburuk saat ayahnya berkomentar betapa serasinya Simon dan Charlotte.
"Sepertinya Tuan Duke akan pergi. Apa beliau akan melanjutkan kuliahnya, ya?" gumam Aditomo. Olivia mencegah dirinya untuk menoleh dan bertanya lebih akan perkataan sang ayah.
Lebih baik tidak tahu sama sekali supaya aku tidak kepikiran.
Simon membiarkan Charlotte memeluknya untuk beberapa saat, dengan gerakan ringan, ia pun juga membalas pelukan tunangannya itu. Namun, semua haru dari perpisahan pun segera berakhir tatkala Benedict mengingatkan waktu supaya tidak terlambat.
Masuk ke dalam mobil, Simon duduk dengan tatapan lurus ke gawai tablet pintarnya. Saat mobil mulai berjalan dan hampir melewati Olivia dan ayahnya, Simon mengangkat wajah dan menoleh ke jendela di sampingnya.
Kecepatan mobil melaju membuatnya tidak bisa berlama-lama melihat Olivia, namun ia memanfaatkannya dengan sangat baik.
Sebagaimana mengambil sebuah barang untuk dijadikan souvenir, ia akan mengingat bagaimana penampilan gadis itu dan membawa kenangan itu bersamanya.
Olivia, sebuah keyakinan datang kepada saya dengan sangat jelas. Sejelas sentuhan saya di wajahmu malam itu, saya yakin bahwa kamu akan tumbuh dewasa menjadi wanita cantik.
...♧♧♧...
^^^** the picture belongs to the rightful owner, I do not own it except for the editing.^^^
Tapi aku juga mau Paul berhak mendapatkan kehidupan yang adil, dan biarkan Simon yang menanggung karma atas perbuatan nya, contohnya seperti 'rencananya untuk memisahkan Olip dan Paul justru menjadi pedang yang telah ia tempah susah payah namun dia gunakan untuk menggorok lehernya sendiri'
ga peduli guwaa!!!
Jeez, of course she just sarcastic, my dear
ahh pake tanda sesuatu donggt/Grimace/