Byan, seorang pria yang memiliki mimpi, mimpi tentang sebuah keadaan ideal dimana dia membahagiakan semua orang terkasihnya. terjebak diantara cinta dan sayang, hingga terjawab oleh deburan laut biru muda.
tentang asa, waktu, pertemuan, rasa, takdir, perpisahan.
tentang mimpi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arief Jayadi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kebetulan yang disebut takdir?
Ony, taukah kamu aku pernah memimpikanmu, dimalam yang sama aku melamar Asih? Taukah kamu mimpi itu begitu sempurna untuk menjadi nyata?
Tentu saja itu hanya aku ucapkan didalam hatiku saat ini. Kutarik nafas panjang, berharap otakku bisa memproses dengan cepat apa yang sedang terjadi dan apa yang akan aku hadapi, dengan ketenangan yang tentunya aku butuhkan. Tapi otak ini semakin tidak sejalan antara otak depan dan otak kecil, sialnya aku semakin tenggelam.
“Aku ingin bercerita padamu, tentang sesuatu,ada waktu?” kataku pada Ony
Aku meminta Ony untuk duduk di sampingku. Kutarikkan kursi agar ia mendekat padaku. Ony terdiam, masih berdiri terpaku, ia meragu, tampak jelas matanya berkaca, nafasnya memburu menahan gempuran linang airmata yang siap membanjir deras. Aku tau ada sedikit celah sesal yang muncul dalam dirinya atas ucapnya barusan. Sementara aku, hanya menunggu reaksinya dan merasakan betapa sialnya aku harus melihat air mata ini lagi, air mata yang sama di pagi hari waktu itu. Sementara aku ingin menjadi arsitek yang membangun rumah kokoh di hatinya agar airmata ini tidak lagi terlihat, namun takdir membuat aku lah yang mengalirkannya kembali?
Waktu seakan menjadi selamanya, berhenti di detik kami saling termangu, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Pandangan matanya seperti sedang menelanjangi diriku, pun pandangan mataku berharap aku dapat menelanjangai perasaannya, mengurainya agar aku tahu langkah apa yang harus aku ambil selanjutnya. Tapi tak
bisa begini, aku harus mengambil gerakan terlebih dahulu, aku harus dapat menguasai keadaan ini.
“ingat waktu kau berkata kau memimpikan tentangku?” tanyaku mengawali lagi berjalannya detik waktu.
Ony hanya terdiam, tapi mulai mencoba melangkahkan kaki menuju kursi didekatku. Menjatuhkan badannya keras di kursi itu, yang dengan luarbiasanya tidak mengalihkan matanya sedikitpun dari aku. Rasanya seperti sedang di berondong oleh Kalashnikov tepat di batang otak. Kematian seketika hasilnya.
“boleh aku bertanya, tentang apakah mimpimu?” ujarku lebih lanjut.
Entah kenapa, kalau saja sebelumnya jarum waktu seakan berhenti, saat ini tiba-tiba jarum detik jam dinding mengeluarkan suara lantang, lebih dari biasanya. Tik tok tik tok, seperti menghina perasaanku yang sedang bingung menyusun rencana untuk keluar dari keadaan. Keadaan dimana Ony cuma diam untuk beberapa saat, dengan tetap mengarahkan ujung laras Kalashnikov melalui dua mata coklatnya. Seperti sedang bersiap untuk memntahkan berondongan peluru gelombang selanjutnya, kali ini kearah badan agar kematian ku semakin dapat dipastikan.
“aku sedang berjalan, di gunung tapi begitu dekat dengan pantai” ia mulai bercerita,
“menggunakan gaun berwarna biru muda, menuju sebuah upacara, langkahku begitu ringan seperti sedang terbang melayang. Upacara yang meriah, ada tawa, haru, dan banyak lampu, obor.”
Ony mencoba menjelaskan situasi dari mimpinya.
Mendengar keseluruhan cerita tentang mimpi Ony itu, aku tertegun, ingin rasanya segera membuka buku ilmu
statistika, atau buku apapun yang akan bisa menjelaskan berapa probabilitas terjadinya mimpi yang sama persis dialami oleh 2 manusia yang berbeda, yang tidak memiliki hubungan darah. Aku tak perduli buku ataupun teori apapun itu, bahkan kalau ternyata itu adalah buku primbon, yang penting buatku saat ini itu bisa di terima oleh logikaku, dan bisa menenangkanku.
Tanganku menutupi wajahku, bukan karena aku ingin menutupi ke galauanku, aku hanya ingin menutup mataku dengan tekanan ibu jariku agar mataku bisa berputar kedalam, sehingga aku bisa melihat lebih jauh kedalam otakku, kemudian memecut barisan admin di otakku yang bekerja tidak becus. Menjadikan semuanya semakin tidak
beraturan. Sialnya, hidup memang benar tak seruwet benang layangan, tapi lebih dari itu. Parahnya lagi, hidup tidak memiliki gunting yang bisa kita gunakan untuk memotong benang ruwet agar bisa diurai menjadi potongan potongan kecil yang membuat semakin mudah kita selesaikan dan rapikan kembali.
*****
“sederhana saja, jujur atas anugerah rasa, karena takdir hanya urusan sang Kuasa”
*****