🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Mengobrol dengan Sahabat
Hafsa terbangun saat matahari sudah terik. Ia mengerjapkan mata, silau. Buru-buru ia beranjak dari tempat tidur untuk melaksanakan sholat subuh, tapi lalu urung setelah ingat kalau semalam baru saja datang bulan.
"Ya Allah, perutku.." Hafsa tiba-tiba merasakan sakit perut yang luar biasa. Ia kemudian merebahkan badannya kembali, menaruh bantal di atas perutnya.
Seharusnya, periode datang bulannya baru akan dimulai seminggu lagi. Tapi entah kenapa kali ini berbeda. Apalagi biasanya Hafsa juga tidak pernah merasakan sakit perut hebat seperti ini.
Hafsa meraba-raba tasnya. Dia selalu membawa obat-obatan darurat saat bepergian jauh. Untunglah dia segera menemukan obat pereda nyeri dan meminumnya.
Usai sakitnya membaik, Hafsa bergegas membersihkan diri. Hari ini dia harus jalan-jalan, tidak akan tidur di hotel seperti sebelumnya.
Suasana siang itu sudah lumayan ramai. Orang-orang sudah asyik berenang dan bersantai di sekitar pantai. Debur ombak semakin memeriahkan suasananya.
Hafsa duduk di bawah payung besar, bersantai sembari menyeruput es kelapa muda. Sembari mengamati hiruk pikuk orang-orang di sekitarnya.
Dering telepon membuat keheningan itu memudar. Hafsa melihat nama si penelepon. Ajwa.
"Assalamu'alaikum?" Hafsa menyapa si penelepon dengan antusias. "Apa kabar Ajwa?"
"Alhamdulillah aku sehat!” suara ceria dari seberang telepon membuat bibir Hafsa tersenyum. "Duh aku ganggu ya ini, masih asyik bulan madu malah ku telpon,"
"Ih, iya loh, mengganggu banget," Hafsa berseloroh. "Sepertinya sedang sibuk banget nih, sampai nggak datang waktu nikahan ku," Hafsa berkata sarkas.
"Sorry!" Ajwa di seberang sana mengatupkan kedua telapak tangannya. "Disini lagi sibuk banget! Tesisku ditolak terus sama dosen pembimbing!"
"Tapi itu memang bagian serunya kan?"
"Iya sih," Ajwa menyeringai lebar. "Meskipun sekarang rasanya jungkir balik, besok-besok bakalan jadi kenangan indah!"
Hafsa tertawa. Sahabatnya itu dari dulu tidak berubah. Ajwa adalah teman kuliah yang dulu juga pernah mondok di pesantren Bahrul Ulum. Selama mondok, mereka berdua bercita-cita untuk melanjutkan sekolah ke Universitas Al-Azhar di Kairo. Sayangnya, Hafsa malah disuruh untuk menikah setelah lulus kuliah. Sementara Ajwa akhirnya diterima di kampus yang mereka impikan dan sekarang sedang menghadapi ujian akhir.
"Seru nggak disana, Wa?"
"Seru banget! Kemarin aku dan teman-teman pergi ke Citadelle Salahuddin. Bagus banget Sa, sama seperti yang kita lihat di buku-buku!"
Hafsa tersenyum kecut. Yah, tidak bisa dipungkiri, dia juga ingin sekali pergi ke sana. Ia ingin ikut menghadapi pusingnya menyusun tesis sembari berjalan-jalan di Kota Kairo. Tapi tentu saja ia tidak bisa memperlihatkannya pada Ajwa.
"Terus kamu lagi ngapain di sana sekarang?" Ajwa ganti bertanya. "Kamu nggak tidur aja kan?"
Hafsa tertawa. Ajwa tahu betul tabiatnya. Pasalnya, setiap kali liburan, Hafsa memang lebih memilih tidur di hotel ketimbang jalan-jalan.
"Nggak dong, ini lagi di pantai," Hafsa merubah tampilan kamera menjadi kamera belakang, sehingga Ajwa bisa melihat pemandangan dan suasana dari seberang sana.
"Ya ampun ramai banget. Pengen deh kapan-kapan ke Bali juga. Eh ngomong-ngomong suamimu mana? Kok nggak kelihatan?"
"Oh itu.." Hafsa tergagap. "Naik selancar! Katanya tadi Gus Sahil mau coba naik selancar, jadi sekarang dia lagi main di sana,"
"Terus kamu nggak ikut gitu?"
"Ah, aku males, panas," bohong Hafsa. "Aku lebih suka santai saja disini,"
"Yee.. dasar aneh," ejek Ajwa. "Oh iya, kamu masih inget nggak Sa sama Gus Ihsan?"
"Gus Ihsan yang satu kampus sama kita?" Hafsa mengingat-ingat.
"Iya! Gus Ihsan yang itu! Kan sekarang dia lagi kuliah di Kairo juga, dan ketemu sama aku kemarin!"
"Oh ya? di Al-Azhar juga?"
"Nggak, dia di Universitas Ibn Tofail. Dan ngomong-ngomong, dia sebentar lagi balik ke Indonesia loh,"
Hafsa terdiam. Dia jadi ingat dulu kenangannya dengan Gus Ihsan. Bukan kenangan yang istimewa memang, tapi cukup berkesan.
Gus Ihsan dulu adalah kakak tingkat Hafsa dan Ajwa di kampus. Saking aktifnya dalam kegiatan kampus, Gus Ihsan sampai harus berulangkali mengulang mata kuliah semester sebelumnya karena selalu mendapatkan nilai kurang dalam absen. Itulah kenapa beberapa kali mereka bisa satu kelas.
"Gus Ihsan kaget loh waktu aku kabarin kamu udah nikah,"
Kenangan Hafsa terputus saat mendengar celetukan Ajwa. "Oh ya?"
"Seperti yang aku bilang dulu Sa, kayanya Gus Ihsan suka deh sama kamu,"
"Ngawur!" Hafsa cepat-cepat menepis tebakan Ajwa. "Kami dari dulu nggak ada apa-apa!"
"Iya memang statusnya nggak ada apa-apa. Cuma ya, kalau aku melihat tatapannya ke kamu itu ada yang beda gitu loh,"
"Wa.." suara Hafsa memperingatkan. "Aku ini sudah menikah loh,"
"Iya, iya, maaf.." Ajwa mengerutkan bibir. "Aku kan cuma mau ngabarin itu,"
"La terus kamu di sana gimana, sudah ada yang ditaksir belum?" Hafsa ganti memberi pertanyaan. "Sudah dapat calon?"
"Naksir sih banyak, tapi yang mau nggak ada!" Ajwa memberengut kesal. "Memang aku sejelek itu ya Sa?!"
"Yang bilang siapa? Kamu itu cewek paling cantik dan menarik yang pernah aku kenal,"
"Iya, soalnya cewek yang kamu kenal itu cuma aku to?"
Hafsa tertawa. Astaga, berbicara dengan Ajwa membuat moodnya langsung membaik seratus persen. Sudah lama ia tidak tertawa selepas itu.
Setelah lama mengobrol, Ajwa kemudian berpamitan karena ia harus segera menghadap dosen pembimbingnya saat itu.
Telepon mati. Hafsa mendadak merasakan kehampaan yang besar. Seperti keadaan saat suasana ramai tiba-tiba berubah menjadi sepi dalam sekejap. Meski sebenarnya itu hanya perasaan Hafsa saja, karena pantai masih penuh dengan hingar bingar suara pengunjung.
Saat melihat ke arah laut, Hafsa mendapati sosok yang ia kenal. Seorang lelaki dengan tubuh tegap dan tinggi, dengan proporsional tubuh yang gagah, tampak berjalan menuju ke arahnya. Rambutnya yang panjang sepundak dan ikal alami tampak diikat ke belakang. Laki-laki itu tampak semakin tampan dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Seperti pemeran utama dalam film, keberadaannya terlihat lebih menonjol dari kebanyakan orang.
Ah, cinta memang buta. Padahal sudah tidak terhitung berapa kali kata-kata Gus Sahil menusuk hati Hafsa. Namun saat ini Hafsa tetap saja memuji paras indah laki-laki itu. Meski parasnya mungkin tak seindah perkataannya padanya.
Hafsa buru-buru mengalihkan pandangan saat jarak Gus Sahil semakin mendekat. Pura-pura tidak melihat apapun.
"Sudah dari tadi Sa?" Gus Sahil tampaknya hanya basa basi, tapi Hafsa tetap merasa terkejut dengan pertanyaan itu.
"Lumayan," Hafsa menjawab datar.
"Tadi saat mau pergi aku sudah bangunkan kamu, tapi kamu nggak bangun-bangun. Jadi aku pergi sendiri,"
Hafsa mengangguk-anggukkan kepala. Bohong, itu pasti hanya alasan Gus Sahil saja. Hafsa bukan tipe orang yang susah dibangunkan.
"Aku sekarang mau balik ke hotel, bersih-bersih. Kamu masih mau di sini atau ikut balik?"
Hafsa berpikir sejenak. Dia sebenarnya cukup malas berjalan kembali ke hotel, tapi berdiam diri di sini juga membosankan. Hafsa akhirnya beranjak, mengikuti Gus Sahil.
Tapi, baru selangkah kakinya berjalan, Hafsa tiba-tiba merasa pandangannya menjadi kabur, dan semuanya tampak berputar. Langkahnya menjadi limbung.
"Gus.." Hafsa merintih saat tubuhnya mulai jatuh tersungkur.
Pemandangan terakhir sebelum semuanya menjadi gelap adalah saat Gus Sahil berlari ke arahnya dengan berseru panik. Mencoba menangkapnya sebelum jatuh ke atas pasir.