Damian yang mulai menutup diri setelah memilih pergi dari rumah. tiba-tiba mengetahui bahwa ayahnya telah “membeli” seorang pengantin untuk merawatnya. Gadis pengantin tersebut bernama Elia yang merupakan siswinya di sekolah. Elia muncul di depan pintunya, dan menyatakan bahwa Dia dikirim oleh ayah Damian untuk menjadi pengantinnya.
Elia terpaksa menerima takdirnya sebagai istri yang tak di inginkan oleh Damian, demi membantu orang tuanya yang memiliki hutang dengan keluarga Toma.
"Namaku adalah Elia. aku disini untuk menjadi pengantinmu." ~Elia
"Aku adalah Gurumu." ~Damian
Menjadi seorang pengantin 18 tahun untuk gurunya sendiri, apakah Elia mampu mencairkan jiwa gunung es suaminya?
ig : unchiha.sanskeh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia ingin dicintai
"Jangan terlalu mengharapkan aku."
Saat mengatakan itu aku jadi teringat pada pendapat Mr. N, ahli sejarah dunia yang mengatakan bahwa kehidupan itu adalah jalan yang panjang, ada banyak sejarah yang masih harus di catat. Tidak berhenti atau berjalan di waktu itu saja, akan banyak orang yang kamu temui dan akan ada banyak tempat yang harus di kunjungi, jadi manfaatkan waktu mu. Jangan melewatkan satu detik pun kesempatan. Karena setiap waktu yang terbuang adalah suatu kesempatan dari ketidak beruntungan di masa depan.
Elia itu adalah remaja polos yang baru tumbuh. dia akan banyak mengukir sejarah baru, karena dia adalah gadis yang pantang menyerah jadi jalannya pun masih panjang. Karena itu sayang sekali di hidupnya ini dia terpaksa menikah untuk keluarganya. Menikahi seorang guru pesimis yang menutup diri, sebuah kesengsaraan yang menjadi takdir malangnya.
“Kenapa?” Katanya.
“Sederhana, karena aku orang yang tidak memiliki perasaan. Itu saja.” jawabku sambil mengambil tas yang ada di bawah.
“Tapi, kalau aku jatuh cinta dengan pak Damian. Itu tidak masalah, kan?”
“Aku memang sedikit takut dengan situasi kita sekarang, tetapi aku ingin menjalani hidup dengan sungguh-sungguh. Kita telah menikah, dan aku adalah istrimu. Ini semua demi masa depan, kan? Aku tak ingin menyesal di kemudian hari. Aku akan berjuang melakukan yang terbaik, dan membuat bangga suamiku. Tidak masalah jika sekarang belum ada cinta, aku akan berjuang sebaik mungkin. Jadi karena itu tolong terimalah kehadiranku pak Damian!”
Ku pandangi lagi dia, dia berdiri tegap dengan mata berbinar-binar. Secara tidak langsung aku jadi sedikit terharu, bukan oleh sikap dirinya yang sudah sering ku saksikan sejak belakangan terakhir ini, bukan pula oleh kecantikannya yang mulai menggetarkan jiwaku. Melainkan oleh keberanian dan keteguhannya menanggung dan mengungkapkan perasaan dengan ekspresi yang murni, rendah hati dan tegas. Tetapi karena pernyataan cintanya ini pula aku merasa seperti di sayat sebilah pisau tajam.
Sejak saat itu, dia benar-benar membuktikan keyakinannya, dengan menunjukkan keteguhan dan ketekunan dalam belajar. Bahkan setelah kelas tambahan yang ku berikan, dia masih melanjutkan dengan melatih soal-soal. saat aku berjalan ke dapur untuk mengambil air minum, k Ku lihat sosok dirinya, dia belajar di samping jendela.
“Kamu sedang apa?”
“Ah, aku sedang masak air. Jadi sembari menunggunya mendidih aku mencoba berlatih soal ujian dari yang di ajarkan pak Damian barusan.”
“Selesaikan soal yang kau kerjakan sekarang, sisanya lanjut lagi besok. Sudah malam!”
“Tapi aku sudah di lima soal terakhir, sayang kalau harus di lewatkan begitu saja. aku tak akan berhenti sebelum semua soal ini selesai.”
“Meskipun sampai larut?” kataku.
Dia membisu, tetapi kepalanya mengangguk pelan. Sambil menghela nafas, Aku terdiam menyandar di pangkal pintu dapur. melihat kegigihan Elia aku sedikit tersentuh, Namun terkadang aku juga merasa kasihan padanya. Mengapa gadis sepertinya bisa memiliki semangat yang begitu berkobar seperti ini? di bawah cahaya lampu yang temaram, ku pandangi sosoknya. Aura kehidupannya menyala-nyala menyilaukan diriku yang gulita. Kemudian aku menarik kursi di depannya, “Sini..” kataku sambil menadahkan tangan di depannya.
“Perlihatkan padaku, biar ku periksa!”
Setelah dia memberikan buku dan pena miliknya, pelajaran tambahan kembali berlangsung. Tidak ku sangka bahwa dia mampu menjawab semua soal dengan benar, meskipun sebenarnya latihan soal ini tergolong kelas teri.
“Cepat sekali! Wah!”
Dia berdecak kagum tentu saja membuatku senang dan jadi sedikit besar kepala. “Sanggul mu sedikit kendur, Elia,” aku berkata sekedar untuk menenangkan diri. Karena aku merasa terbawa perasaan oleh pujian yang di berikannya. Dia tersenyum simpul, dan dengan sedikit gugup, membetulkan kembali sanggulnya.
Di saat itulah pula rambut yang katanya tipis tergerai, dan ku saksikan kecantikannya yang alamiah; garis wajahnya begitu seimbang dengan pahatan anatomi yang sempurna. Bibirnya merah muda persis seperti sakura di musim semi.
Namun, di balik wujudnya yang menyala-nyala ini, terdedah ekspresinya yang berduka. Entah mengapa timbul keinginan dalam diriku untuk memeluknya, walau hanya untuk malam ini saja, sekadar agar ia tidak terlalu berat menanggung beban. Tapi keinginan itu ku urungkan, sebab aku menyadari bahwa aku tak ada alasan untuk itu.
Dia kembali menundukkan pandangan,
“Tidak usah terlalu di paksakan, kalau kamu sakit hasilnya juga sama saja nihil.” Kataku.
Elia mendongakkan kepalanya dan berkata, “Aku ingin berjuang untuk ujian akhir semester nanti, aku ingin mendapatkan posisi sepulu top score agar pak Damian bangga, dan tidak merasa malu lagi sebagai suami karena beristrikan siswi bodoh seperti ku,”
Karena ucapannya aku jadi melankolis, “Segitunya, ya?”
“Iya, karena aku ingin di cintai oleh Pak Damian!”
Aku gemetar mendengar ucapannya, aku membisu, terdiam kaku. Apa yang baru dia katakan masih jelas di telingaku. Aku mencoba untuk meragukannya, tapi kalimat itu hidup lagi, seperti musik pada piringan yang di putar terus sepanjang malam. Dan betapa tersiksanya aku apabila harus mendengarnya sampai pagi.
“Aku ingin menjadi istri yang di harapkan pak Damian,” Tegasnya kembali. “Walaupun pak Damian mengatakan tidak akan membuka diri pada siapapun, tetapi aku yakin masih ada ruang untuk seorang istri. Aku akan berjuang untuk pernikahan kita supaya tidak akan ada penyesalan lagi bagi kita di masa depan. Aku akan memberikan cinta yang hangat seperti lentera yang membakar hati beku pak Damian, suatu saat pasti akan luluh. Aku akan Melakukan tugasku sebagai murid dan melaksanakan kewajibanku sebagai istri. Bukankah itu adil pak?”
Aku menatapnya dengan tatapan yang tajam karena merasa agak tertekan, tidak kah dia mengerti dengan apa yang di ucapkannya? Pikiranku jadi bertambah kalut. Kemudian untuk menenangkannya aku menoleh keluar jendela, melihat langit yang temaram penuh dengan awan kelabu. Mendung memenuhi malam, bintang-bintang tenggelam di balik kabut yang menebal. Udara dingin kian menusuk. Hanya lampu-lampu yang menyala di luar yang memberi citra terang pada kegelapan. Di tengah semua itu, dan semua kenyataan ini, aku merasa murung dan gelisah, karena tak tahu harus memberi respon bagaimana pada Elia.
Kami kemudian saling bertatapan lagi, saling bertanya-tanya barangkali ada sesuatu yang tak terduga. “Kalau ternyata aku berhasil meraih peringkat sepuluh besar top score saat ujian akhir semester nanti, apakah pak Damian akan menerima cintaku? Pasti menolak, ya? Soalnya pak Damian dingin sekali. Kejam, kejam,” katanya sambil tersenyum kaku.
Dan kamu Elia, kamu memberikan aku cinta hingga aku luluh padamu, tetapi apakah kamu akan mempertahankan cintamu itu? Aku takut kehilangan setelah menaruh rasa. Kamu masih terlalu muda, delapan belas tahun, apakah diriku ini hanya menjadi bagian dari petualangan cintamu yang panjang, ya? Apakah sebelumnya kamu pernah mencintai orang lain? aku menduga-duga dalam hati.
“Mungkin, bisa jadi...” kataku.
“Bisa jadi apa pak Damian? Di terima atau di tolak?”
“Bisa jadi keduanya..”
“Jahat!”
Aku mengambil air minum ku, segar sekali. “Ayolah, kita selesaikan soal ini lagi.”