Setelah gagal berjodoh dengan Ustaz Ilham, tanpa sengaja Zahra bertemu dengan pria yang bernama Rendra. Dia menolong Rendra saat dikejar seseorang, bahkan memberi tumpangan pada Rendra yang mengaku tak mempunyai tempat tinggal.
Rendra yang melihat ketulusan hati Zahra, merasa jatuh cinta. Meski dia selalu merasa kotor dan hina saat berada di dekat Zahra yang merupakan putri pertama pemilik dari pondok pesantren Al-Jannah. Karena sebenarnya Rendra adalah seorang mafia.
Apakah Zahra akan ikut terseret masuk ke dalam dunia Rendra yang gelap, atau justru Zahra lah penerang kehidupan Rendra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
"Cantik sekali senyumnya..."
Seketika Zahra berhenti tersenyum. Dia menundukkan pandangannya sambil melanjutkan santapannya tanpa bersuara.
Begitu juga dengan Rendra. Dia makan dengan pelan karena ujung bibirnya yang terluka karena bekas pukulan itu terasa sangat perih. Bahkan darah yang tadi sudah dibersihkan kini merembes lagi di ujung bibirnya.
"Aduh!" Rendra mengambil tisu dan mengusap ujung bibirnya.
Mendengar suara Rendra, Zahra kini meluruskan pandangannya. "Kompres pakai es, biar gak berdarah lagi. Sementara jangan makan yang pedas-pedas dulu biar gak perih."
Dua pesan yang terucap dari bibir Zahra itu seketika membuat hati Rendra menghangat.
"Iya." jawab Rendra singkat lalu dia menyudahi makannya dan berdiri mengambil es di freezer kulkasnya.
Zahra meminum air putih setelah piringnya telah kosong. Dia kini berdiri dan berjalan mendekati Rendra. "Sini aku bantu, kamu duduk aja."
Rendra terperanga beberapa saat tapi sedetik kemudian dia menganggukkan kepalanya dan duduk di kursi ruang tengah sebelum Zahra berubah pikiran.
Zahra membungkus beberapa es batu yang berbentuk kotak-kotak kecil itu dengan kain lalu dia duduk di dekat Rendra dan mulai mengompres ujung bibir Rendra secara perlahan.
"Aw," Sekarang rasanya memang lebih perih dari pada saat dia menerima pukulan tadi.
"Kamu bisa melawan mereka, kenapa kamu tadi tidak langsung melawan?" tanya Zahra.
"Aku melawan seseorang itu melihat waktu dan melihat tempat terlebih dahulu. Sebenarnya aku tidak mau kampung kamu yang damai dan agamis itu terkena masalah hanya karena aku."
"Terus kenapa kamu datang ke kampung aku?" tanya Zahra sambil terus mengompres luka itu secara perlahan. Darah itu mulai mengering dan sudah tidak keluar lagi.
"Ya, karena cari tempat yang aman." Rendra tersenyum kecil. "Tapi ternyata mereka masih saja menemukan aku."
Zahra menyudahi kompresannya. "Udah, jangan kena makanan pedas dulu."
Rendra hanya tersenyum kecil. Dia kembali mengingat penyebab dia bertemu dengan Zahra. Saat itu anak buah Elang Hitam berhasil melumpuhkan anak buahnya. Dia terpaksa berlari seorang diri untuk menyelamatkan barang bukti yang sudah berhasil berada di tangannya. Lalu tanpa sengaja dia bertemu dengan Zahra.
"Makasih." kata Rendra.
"Iya." kemudian Zahra berdiri sambil mengemas bekas kompresan itu.
Rendra hanya duduk sambil melihat langkah Zahra yang kini menaiki anak tangga dan berjalan menuju kamarnya.
"Zahra..." Rendra tersenyum kecil lagi. Dia tidak menyangka sekarang justru ada seorang wanita muslimah yang tinggal di rumahnya. "Seorang bunga yang cantik tidak seharusnya bersedih dan menangis."
Rendra mengambil ponselnya lalu menghubungi anak buahnya lagi. "Bagaimana? Sudah mendapatkan alamatnya?... Oke, aku akan ke sana besok."
...***...
Zahra tersenyumlah...
Jangan pernah bersedih dan menangis...
Suara itu seolah terdengar nyata di telinganya.
Zahra terbangun dari tidurnya saat sayup-sayup terdengar suara adzan subuh.
"Astaghfirullah, kenapa aku mimpi Rendra lagi." Zahra menarik napas dalam lalu menghebuskannya. "Sepertinya ini karena setiap hari aku bertemu degan Rendra."
Zahra turun dari ranjang lalu membuka tirai jendelanya. Dia menatap langit yang masih gelap. Suara adzan subuh hanya lirih terdengar, tidak seperti di kampungnya yang terdengar keras dan saling bersahutan saat adzan berkumandang.
Kemudian dia segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh dirinya dan mengambil wudhu. Tak butuh waktu lama dia keluar dari kamar mandi lalu mengambil mukena dan menggelar sajadah menghadap kiblat. Kemudian dia segera melaksanakan sholat dua rakaat itu.
Setelah mengucap salam, seperti biasa dia berdzikir dan berdo'a. Di setiap do'anya selalu terselip nama kedua orang tuanya dan memohon maaf atas semua perilaku yang telah melukai hati orang tuanya.
"Maafkan Zahra, Abi, Umi. Semoga Allah senantiasa melimpahkan keselamatan dan kebahagiaan pada Umi dan Abi. Amin." setelah itu dia meraih Al-Qur'an dan mulai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Suara merdu Zahra seketika membangunkan Rendra dari tidurnya. Kamar Rendra yang tepat berada di sebelah Zahra, jelas bisa mendengar suara merdu Zahra meski lirih.
Rendra kini duduk dan bersandar di headboard. Dia tersenyum kecil. "Zahra, andai saja kamu bisa menjadi penerang dalam kehidupan aku yang gelap ini."
Rendra duduk termenung seorang diri di dalam kamarnya. Dia terlahir dari seorang mafia. Darah mafia kuat mengalir di tubuhnya. Sejak kecil dia sudah terbiasa dengan dunia gelap itu. Dia ingin meninggalkan dunianya tapi rasanya sangat sulit.
"Sudah hampir satu tahun aku berusaha keluar dari zona ini, tapi sulit. Penutupan darkweb aku justru memicu masalah besar." Rendra menghela napas panjang. Di saat dia menyerahkan sisa senjata berapinya di penjualan situs itu pada salah satu tentara kenalannya agar diamankan, tapi dari sudut pandang lain dia justru difitnah dan terancam dipidana. "Aku sudah terlanjur hidup dengan banyak musuh yang siap menghancurkanku setiap saat. Aku harus membereskan mereka semua terlebih dahulu baru memikirkan nasib hidup aku selanjutnya."
Rendra membuka tirai jendelanya lalu membuka kaca itu, dia menghirup udara segar pagi hari. Biarkan paru-parunya terisi dengan oksigen bersih terlebih dahulu sebelum dia penuhi dengan asap rokok lagi.
Kini dia ambil seputung rokok dan menyulutnya. Dia duduk di dekat jendela sambil menghisap rokok dan merenungi hidupnya. Rencana apa yang akan dia lakukan selanjutnya?
Zahra menghentikan bacaannya. Lalu menutup Al-Qur'an itu. Dia membuka mukenanya dan melihat keluar jendela karena ada sebuah asap yang berjalan tertiup angin. Dia buka jendela itu dan melihat ke sisi kirinya.
Rendra yang mendapati pandangan dari Zahra seketika memadamkan putung rokoknya. "Maaf, asapnya mengganggu."
Zahra hanya tersenyum kecil sambil mengalihkan pandangannya. "Jangan mengotori udara yang masih segar dengan asap rokok."
"Oke. Aku akan kurangi kebiasaan ini." Rendra kini meluruskan pandangannya menatap bukit yang masih berselimut kabut. "Di sana ada perkebunan teh." tunjuk Rendra pada bukit-bukit yang masih tertutup kabut itu.
"Perkebunan teh?"
"Iya, kalau kamu mau ke sana biar nanti diantar sama anak buah aku. Kalau seandainya kamu capek berjalan, ada sepeda dan ada motor atv juga." kata Rendra.
Zahra menatap bukit yang sekarang mulai diterangi sinar mentari pagi. "Perkebunan milik siapa?"
"Milik warga."
Zahra menautkan alisnya mendengar jawaban dari Rendra. Selalu saja dia membuatnya penasaran. "Kalau yang bangunan besar itu pabrik?"
"Iya, pabrik teh. Kalau kamu mau mencari pengalaman kerja, kamu bisa bekerja di sana. Semua posisi terbuka untuk kamu." Rendra tersenyum menatap Zahra yang sedari tadi menghindari pandangannya.
"Jangan pernah pandang aku seperti ini lagi, aku gak suka. Kita bukan mahram." kemudian Zahra berjalan mundur dan menutup kaca jendela itu lagi.
Rendra masih saja tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Zahra... Zahra..."
💞💞💞
Like dan komen ya...
jgn lama2
critanya bnyk bngt cobaan nya