NovelToon NovelToon
Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Perperangan / Elf / Action / Budidaya dan Peningkatan / Cinta Murni
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23: Duel Naga Void

Kegelapan di jantung Abyss tidak lagi terasa seperti ruang kosong; ia terasa padat, berdenyut, dan memiliki kehendak untuk menghancurkan. Langkah kaki Kaelan yang terbungkus sepatu bot logam berat menciptakan bunyi berderak di atas tumpukan kristal hitam yang rapuh. Di belakangnya, Bara dan sisa Legiun Karang bernapas dengan bantuan filter debu yang mulai tersumbat oleh partikel kehampaan. Bau belerang dan amis logam yang tajam membuat suasana semakin mencekam.

"Komandan, udara di depan kita... ini bukan lagi gas. Ini adalah mana yang membusuk," bisik Bara, suaranya parah karena iritasi tenggorokan.

Kaelan berhenti, tangannya secara otomatis terulur ke belakang untuk menahan Lyra agar tidak melangkah lebih jauh. "Tetap di belakangku. Perisai perak ini hanya bisa mencakup radius dua meter jika tekanannya meningkat lebih dari ini."

"Aku bisa merasakannya, Kaelan," Lyra menyahut, jemarinya meremas kain sapu tangan Azure yang kini terikat di pergelangan tangannya. "Mataku... dia tidak lagi hanya berbisik. Dia menjerit."

Tiba-tiba, gravitasi di dalam gua raksasa itu seolah menghilang. Potongan-potongan batu melayang ke udara, dan dari celah jurang yang tak berdasar di depan mereka, muncul sepasang mata merah raksasa yang tidak memiliki pupil. Seekor naga yang seluruh tubuhnya terdiri dari sisik obsidian mengkilap merayap naik. Setiap kali sayapnya yang transparan mengepak, gelombang tekanan mana membuat para prajurit manusia jatuh berlutut, memuntahkan darah dari hidung mereka.

"Naga Void," desis Kaelan. Ia merasakan sumsum tulangnya berdenyut hebat. Teknik Iron Bone Marrow miliknya bereaksi terhadap ancaman tingkat tinggi ini. "Bara! Bawa semua orang mundur ke lorong sempit di belakang! Ini bukan pertempuran untuk pasukan!"

"Tapi Komandan—"

"Itu perintah, Bara! Jaga garis belakang atau kita semua terkubur di sini!" Kaelan membentak, auranya meledak dalam pendar perak yang menyilaukan, memaksa tekanan naga itu mundur sejenak.

Bara menggertakkan gigi, namun ia tahu Kaelan benar. Dengan berat hati, ia menyeret para prajurit yang terluka mundur. Kini, hanya Kaelan dan Lyra yang berdiri di bibir jurang kehampaan.

"Dia memiliki perisai Event Horizon," Lyra berbicara dengan nada datar, seolah jiwanya mulai tersinkronisasi dengan makhluk di depan mereka. "Pedang atau kapakmu tidak akan bisa menyentuhnya. Dia berada di dimensi yang berbeda meski fisiknya ada di sini."

"Lalu bagaimana cara membunuhnya? Aku tidak bisa membiarkan kita menjadi santapannya hanya karena masalah dimensi," Kaelan menyiapkan kuda-kuda, kapak perangnya mulai dialiri api perak Spark 9.

"Hanya ada satu cara," Lyra melangkah maju, melewati perlindungan bahu Kaelan. Ia melepas penutup mata kirinya. "Aku harus membatalkan hukum dimensinya menggunakan mata ini. Aku harus... membukanya sepenuhnya."

Kaelan tersentak. Ia teringat peringatan Mina tentang risiko jika mata itu dipaksa melampaui batas. "Tidak, Lyra! Kau bilang sendiri mata itu bisa menelan jiwamu jika kau tidak hati-hati!"

"Jika aku tidak melakukannya, dia akan menelan kita semua, Kaelan!" Lyra berbalik, menatap Kaelan dengan satu mata hijau yang dipenuhi air mata dan satu mata ungu yang memancarkan kilat gelap. "Kau selalu bilang kau adalah rantaiku. Sekarang, aku meminta rantaiku untuk memegangku sangat erat agar aku tidak tersesat di dalam kegelapan itu."

"Lyra, pasti ada jalan lain," suara Kaelan bergetar, sebuah pemandangan yang jarang terjadi. Tangannya yang biasa menggenggam senjata dengan kokoh kini gemetar saat menyentuh pipi Lyra. "Aku tidak ingin kau kehilangan penglihatanmu demi aku. Martabatku tidak ada harganya jika kau harus menjadi buta."

"Ini bukan soal martabatmu, Kaelan. Ini soal pilihanku," Lyra tersenyum pahit, darah mulai menetes dari sudut mata kirinya. "Jadilah mataku setelah ini. Berjanjilah kau akan menceritakan padaku bagaimana warna langit Terra saat kita berhasil keluar nanti."

Naga Void itu meraung, sebuah serangan energi hitam meluncur deras ke arah mereka. Kaelan secara instan memeluk Lyra dan menggunakan punggungnya sebagai perisai. Ledakan itu membuat zirah perak Kaelan retak, dan rasa sakit dari The Shared Scar menghantam mereka berdua sekaligus. Kaelan mengerang, ia merasakan kulit di punggungnya seperti disetrika oleh besi panas.

"Sekarang!" Lyra berteriak.

Wanita itu melepaskan seluruh kendalinya. Mata kirinya memancarkan pilar cahaya ungu yang menembus langsung ke arah jantung naga. Seketika, perisai transparan yang menyelimuti makhluk itu pecah seperti kaca yang dihantam palu. Naga itu menjerit kesakitan karena eksistensinya dipaksa tunduk pada hukum fisik Benua Rendah.

"Kaelan! Serang sekarang atau kita kehilangan celah ini!" Lyra merintih, tubuhnya lemas dalam dekapan Kaelan, namun matanya terus memancarkan energi yang menghancurkan.

Kaelan merasakan kemarahan dan kesedihan yang meluap. Ia melompat, kakinya meledakkan energi perak yang menghancurkan lantai batu tempatnya berpijak. Di udara, ia melihat naga itu mencoba meregenerasi perisainya.

"Beraninya kau menyentuhnya!" Kaelan meraung.

Ia tidak hanya mengandalkan Spark 9. Di tengah keputusasaan itu, sumsum tulangnya mulai menyedot sisa-sisa energi Void yang bertebaran di udara—sebuah fenomena terlarang yang seharusnya membunuh manusia biasa. Namun, tubuh Kaelan justru berpendar lebih terang, putih menyilaukan mulai melahap warna peraknya.

Kapak perang Kaelan menghantam leher naga itu dengan presisi mematikan. Bunyi berderak sisik obsidian yang hancur memenuhi gua, diikuti oleh muncratan cairan hitam yang membakar apa pun yang disentuhnya. Kaelan tidak peduli lengannya melepuh; ia terus menekan senjatanya hingga menembus tulang belakang makhluk itu.

"Hancur kau!"

Ledakan energi dari benturan itu melemparkan Kaelan kembali ke arah Lyra. Di saat yang sama, naga itu meledak menjadi partikel hitam yang menghilang ke udara. Namun, harga yang harus dibayar sangatlah mahal.

Kaelan merangkak menuju Lyra yang tergeletak diam. "Lyra? Lyra, jawab aku!"

Saat ia membalikkan tubuh wanita itu, jantung Kaelan seolah berhenti berdetak. Kedua mata Lyra tertutup rapat, dan darah segar mengalir deras dari bawah kelopak matanya, membasahi kain sapu tangan Azure yang terjatuh di samping kepalanya.

"Kaelan...?" suara Lyra sangat lirih, tangannya meraba-raba udara dengan gemetar. "Gelap sekali... kenapa lampunya dimatikan?"

Kaelan meraih tangan itu dan menempelkannya ke wajahnya yang kini basah oleh air mata. Ia tidak bersuara, rahangnya mengeras hingga berdarah, menahan jeritan duka yang bisa meruntuhkan martabatnya sebagai seorang komandan. Ia memeluk tubuh dingin itu, sementara di langit-langit gua, reruntuhan mulai berjatuhan akibat serangan sihir Alaric dari permukaan yang mulai menembus masuk.

"Aku di sini, Lyra," bisik Kaelan, suaranya pecah. "Aku di sini. Maafkan aku... maafkan aku."

Reruntuhan batu mulai menghujani dasar jurang, menciptakan dentuman yang beradu dengan suara gemuruh dari permukaan. Kaelan merasakan setiap getaran itu sebagai ancaman langsung terhadap nyawa Lyra yang kini bersandar lemas di dadanya. Tangannya yang masih memegang kapak bergetar hebat, bukan karena lelah, melainkan karena amarah yang tertahan dan rasa bersalah yang menghimpit martabatnya.

"Komandan! Kita harus pergi! Plafon gua ini akan runtuh dalam hitungan menit!" suara Bara menggelegar dari kejauhan, mencoba menembus kabut debu hitam yang menyesakkan.

Kaelan tidak segera menjawab. Ia menatap wajah Lyra yang pucat pasi. Darah di kelopak mata wanita itu mulai mengering, meninggalkan jejak merah yang kontras dengan kulit pualamnya. Dengan gerakan yang sangat lembut, seolah takut akan menghancurkan sesuatu yang rapuh, Kaelan merobek bagian jubahnya yang tidak terkena darah naga dan menyekanya.

"Kaelan... pergilah," bisik Lyra, jemarinya yang dingin menyentuh rahang Kaelan yang kaku. "Bawa pasukannya. Aku... aku hanya akan menjadi beban jika kau harus menggendongku dalam gelap ini."

"Jangan pernah ucapkan itu lagi," geram Kaelan, suaranya rendah dan penuh penekanan. "Jika dunia ini harus menjadi gelap untukmu, maka aku akan membakar seluruh Benua Langit hanya untuk memberimu satu percikan cahaya. Kau bukan beban. Kau adalah satu-satunya alasan aku masih bernapas di tempat terkutuk ini."

Kaelan berdiri, menyampirkan kapaknya ke punggung, dan mengangkat tubuh Lyra dalam pelukannya. Di tengah guncangan hebat, ia merasakan sisa-sisa energi naga yang ia serap tadi mulai bereaksi di dalam aliran darahnya. Itu bukan lagi sekadar energi otot; itu adalah percikan yang lebih tajam, lebih liar. Jalur energinya mulai terbentuk secara otomatis, sebuah tanda awal dari evolusi yang dipicu oleh trauma dan kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup.

"Bara! Jiro! Lindungi sisi kiri dan kanan!" perintah Kaelan saat ia mulai berlari menembus lorong yang mulai tertutup reruntuhan. "Gunakan perisai mana kalian untuk menahan batu-batu kecil. Aku yang akan menangani blokade besar!"

"Siap, Komandan!"

Saat mereka mencapai persimpangan jalan menuju jantung Abyss, sebuah bongkahan batu raksasa jatuh tepat di depan mereka, menutup akses satu-satunya. Debu tebal membubung tinggi, menghalangi pandangan.

"Sial! Kita terjebak!" Jiro berteriak panik, menatap dinding batu setinggi lima meter yang baru saja tercipta.

"Mundur!" Kaelan melangkah maju. Ia merasakan panas yang luar biasa di dadanya. "Jaga Lyra sejenak."

Ia menyerahkan Lyra kepada Mina, lalu berdiri menghadap bongkahan batu tersebut. Kaelan mengepalkan tinjunya. Pendar perak di kulitnya kini mulai tercampur dengan garis-garis putih yang tajam. Ia tidak lagi hanya menggunakan kekuatan fisik; ia menggunakan frekuensi resonansi yang ia pelajari dari getaran Naga Void tadi.

"Hancur!"

Kaelan menghantamkan tinjunya ke tengah batu raksasa itu. Alih-alih suara hantaman benda tumpul, yang terdengar adalah suara ledakan frekuensi tinggi. Batu itu pecah menjadi butiran pasir halus dalam sekali pukul. Teknik Iron Bone Marrow miliknya telah melakukan lompatan kualitas di tengah tekanan maut.

"Luar biasa..." gumam Mina, matanya membelalak melihat kekuatan yang baru saja dilepaskan Kaelan. "Itu bukan lagi sekadar Spark 9."

"Jangan diam saja! Bergerak!" Kaelan kembali mengambil Lyra dari pelukan Mina dan terus berlari.

Mereka menyelip di antara celah-celah sempit saat gua di belakang mereka benar-benar runtuh, menutup jalan bagi kavaleri Alaric untuk mengejar lebih jauh ke bawah. Atmosfer di sekitar mereka mulai berubah; udara terasa lebih dingin namun lebih murni, jauh dari bau belerang yang tadi menyiksa paru-paru.

Setelah menempuh perjalanan yang terasa seperti berjam-jam dalam kegelapan, mereka akhirnya sampai di sebuah ruang terbuka yang sangat luas. Di tengahnya, terdapat sebuah danau air tawar yang berpendar dengan cahaya biru redup—sebuah oase di tengah neraka Abyss.

Kaelan merebahkan Lyra di tepi danau yang berumput lumut lembut. Ia berlutut di sampingnya, mengabaikan luka-lukanya sendiri yang mulai mengeluarkan uap panas akibat proses penyembuhan otomatis sumsum tulangnya.

"Mina, periksa dia. Sekarang," perintah Kaelan, matanya tidak lepas dari Lyra.

Mina segera bekerja. Ia menggunakan sisa-sisa ramuan alkimianya untuk membasuh wajah Lyra. "Saraf matanya tidak hancur secara fisik, Kaelan. Tapi mata kirinya... ia seolah-olah 'tertidur' karena kelelahan energi yang ekstrem. Untuk sementara, dia tidak akan bisa melihat apa pun. Mata kanannya juga ikut terdampak oleh tekanan saraf."

Lyra mencoba tersenyum, meski bibirnya gemetar. "Setidaknya... aku masih bisa mendengar suaramu. Itu sudah cukup."

Kaelan menggenggam tangan Lyra, lalu mencium jemarinya yang dingin. Martabatnya sebagai komandan yang tak tergoyahkan retak di tempat ini, di depan danau yang sunyi. Ia tahu, langkah berikutnya akan lebih berat. Mereka kini berada di wilayah yang belum pernah dipetakan oleh siapa pun dari Benua Langit maupun Terra.

"Kita akan tinggal di sini sampai kau pulih," ucap Kaelan tegas kepada seluruh pasukannya. "Bara, dirikan tenda. Jiro, pasang jebakan sensorik di mulut lorong. Kita tidak boleh lengah."

"Kaelan..." Lyra memanggil lirih.

"Aku di sini."

"Apa kau... benar-benar melihat naga itu hancur?"

"Ya. Kau menghancurkan perisainya, dan aku memutus kepalanya. Dia tidak akan pernah menyakitimu lagi," Kaelan membelai rambut Lyra yang berantakan.

"Lalu... kenapa aku masih merasa ada sesuatu yang besar di bawah danau ini?" bisik Lyra, suaranya membuat suasana oase yang tenang itu mendadak menjadi mencekam kembali.

Kaelan menoleh ke arah permukaan danau yang tenang. Di kedalaman air biru itu, ia melihat kilatan cahaya yang sama dengan cahaya yang keluar dari mata Lyra tadi. Ia menyadari bahwa kemenangan mereka atas Naga Void hanyalah pembuka pintu bagi sesuatu yang jauh lebih kuno dan berbahaya yang tertidur di jantung dunia.

Kaelan berdiri perlahan, menatap ke arah air yang diam, sementara tangan kirinya masih menggenggam erat tangan Lyra. Ia tahu, evolusi energinya baru saja dimulai, dan mahar yang harus ia bayar untuk melindungi wanita ini mungkin akan menuntut lebih dari sekadar nyawanya.

1
prameswari azka salsabil
awal keseruan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sungguh pengertian
prameswari azka salsabil
kasihan sekali kaelan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
luar biasa
Kartika Candrabuwana: jos pokoknya👍
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ujian ilusi
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sesuai namanya
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
syukurlah kaelan meningkat
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ada petubahan tradisi?
Kartika Candrabuwana: pergerseran nilai
total 1 replies
prameswari azka salsabil
kaelan bertahanlah
Kartika Candrabuwana: ok. makasih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bertarung dengan bayangan🤣
Indriyati
iya. untuk kehiduoan yang lebih baik
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Indriyati
ayo kaelan tetap semanhat😍
Kartika Candrabuwana: iya. nakasih
total 1 replies
Indriyati
bagus kaelan semakinnkuat👍😍
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
Indriyati
iya..lyra berpikir positif dan yakin👍💪
Kartika Candrabuwana: betul
total 1 replies
Indriyati
seperti di neraka😄🤭🤭
Kartika Candrabuwana: iya. makssih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
wuihhh. asyik benere👍💪
prameswari azka salsabil
iya kasihan juga ya🤣🤣
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ini pertambangan ya😄
Kartika Candrabuwana: kurang lebih iya
total 1 replies
prameswari azka salsabil
hidup kaelan👍💪
Kartika Candrabuwana: baik. ayo kaelan
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bersabar ya
Kartika Candrabuwana: iya. makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!