Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Ingatan Menyakitkan.
Hari kelulusan.
Zenaya terpaku, tatkala matanya memandang sekeliling gedung serbaguna milik sekolah yang kini telah ramai oleh para siswa-siswi berpenampilan memukau.
Mereka tampak anggun dan berkelas dengan menggandeng pasangan masing-masing, sangat berbeda dengan Zenaya yang memilih datang ke pesta perpisahan ini seorang diri.
Zenaya memang tidak berniat mengajak siapapun, bahkan dia sempat enggan datang ke sana kalau saja ketiga sahabatnya tidak datang membujuk.
"Zen, ayo!"
Teriakan dari Alice yang kini tengah menggandeng kekasihnya sontak membuyarkan lamunan Zenaya. Gadis itu pun bergegas menyusul sang sahabat.
Tidak ada yang berbeda dari pesta perpisahan sekolah lainnya, hanya saja angkatan mereka mengadakan acara tersebut dengan sedikit lebih mewah.
"Kamu tidak mau ikut berdansa, Zen? Ini bukan dansa pasangan." Grace yang duduk di sebelah Zenaya bersuara.
Zenaya menggeleng pelan. "Aku cukup menikmati acara dari sini saja."
Mata Zenaya pun sibuk menjelajahi seisi gedung sebelum akhirnya terhenti terhenti pada sosok seorang lelaki yang berada tidak jauh dari mejanya.
Reagen terlihat sangat tampan dan berwibawa mengenakan tuxedo hitam. Dia tampak serasi bersanding dengan Natalie yang duduk di sebelahnya.
Zenaya tersenyum getir. Ingatan akan kebaikan Natalie saat berbicara dengannya benar-benar membuat gadis itu seperti orang bodoh.
Zenaya sadar tidak akan ada gadis yang dengan senang hati memberikan ucapan selamat, setelah pria pujaannya berpacaran dengan gadis lain.
Andai saja dia menyadari sejak awal, mungkin dia tidak akan terjebak terlalu jauh dalam permainan Reagen.
Tanpa sadar Zenaya menggenggam gelas miliknya lebih erat, ketika melihat Natalie dengan sangat anggun tertawa di sebelah Reagen dan berusaha melakukan kontak fisik.
Zenaya mendecih. Dia sadar kebenciannya pada Reagen semakin hari semakin tumbuh besar.
"Benar begitu, Rey?" tanya Natalie sembari berusaha menyentuh lembut tangan Reagen.
Entah apa yang sedang Natalie bicarakan bersama teman-temannya, Reagen sama sekali tidak menyimak. Lelaki itu hanya fokus menatap ke arah seorang gadis yang kini tengah menyorotinya dengan tatapan dingin.
Reagen bahkan secara spontan bangkit dari kursinya saat melihat Zenaya pergi. Lelaki itu sengaja mengikuti langkah Zenaya.
Zenaya mengembuskan napasnya lega saat mengetahui bahwa taman di belakang sekolah sangat sepi. Maklum saja yang dia butuhkan saat ini memang keheningan.
"Zenaya!"
Gadis itu ada sontak terbelalak saat mendapati Reagen tiba-tiba muncul di hadapannya.
Kemarahan kembali datang. Tidak ada lagi debaran jantung yang dulu pernah dia rasakan tiap kali bertemu dengan lelaki itu. Zenaya hanya menatapnya dengan penuh rasa kebencian.
"Zen, aku ...."
Belum sempat Reagen menyelesaikan perkataannya, Zenaya sudah melayangkan sebuah tamparan sekuat tenaga. Tamparan yang tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan apa yang sudah dilakukan Reagen terhadapnya.
Pijakan kaki Reagen goyah sesaat karena tak siap menerima tamparan Zenaya. Kendati demikian, ekspresi wajah lelaki itu sama sekali tidak terkejut. Tampaknya dia sudah dapat menebak apa yang akan gadis itu lakukan jika mereka kembali bertemu.
Zenaya mendongakkan kepalanya zembari memasang raut wajah angkuh. Dengan sorot mata penuh kebencian dia membalas tatapan sendu Reagen.
"Hentikan tatapan palsumu itu!" ujar Zenaya dingin.
"Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semua." Reagen berusaha mendekati Zenaya kembali, tetapi gadis itu segera berteriak dan menyuruhnya untuk berhenti.
"Aku tidak butuh penjelasan apapun lagi!" Setelah berkata demikian Zenaya pun pergi melangkah meninggalkan Reagen. Tujuannya saat ini adalah rumah, Zenaya sudah tidak berkeinginan ikut dalam pesta.
"Zen–"
"Berhenti menyebut namaku dengan mulut sampahmu itu!" Zenaya berbalik lalu menunjuk wajah Reagen. Dadanya tampak naik turun menahan emosi.
Zenaya bisa saja memukul Reagen kembali, tapi dia enggan melakukannya. Dia hanya berusaha menahan air mata yang entah kenapa ingin keluar.
"Jangan katakan apapun, biarkan kebencian ini melekat kuat dalam diriku. Jadi, tolong jangan pernah muncul di hadapanku lagi!" Zenaya kembali melangkah setelah dengan berani mendorong bahu Reagen hingga nyaris terhuyung.
Reagen hanya bisa terdiam. Kakinya tak mampu melangkah mengejar gadis itu. Gadis yang entah mengapa membawa Reagen pada kegelisahan mendalam.
Sejak mengetahui perubahan sikap Zenaya, hidup Reagen tak lagi sama.
...**********...
10 tahun kemudian.
"Ini laporan yang diminta tadi pagi, Bu." Seorang wanita berusia tiga puluhan meletakkan setumpuk berkas di atas meja kerja atasannya.
"Terima kasih, Jill," ucap Zenaya tanpa mengalihkan pandangannya pada laptop. Dia sibuk mengetik selama beberapa saat, sebelum akhirnya menutup laptop tersebut.
Zenaya kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa. Dia berhasil menyelesaikan S1 Jurusan Manajemen Bisnis, dan S2 Jurusan Manajemen Keuangan.
Selepas menyelesaikan kuliah S1-nya, Zenaya langsung diminta bekerja oleh sang ayah di rumah sakit mereka, Winston General Hospital. Berkat kemampuannya yang mumpuni kini Zenaya diangkat menjadi manajer keuangan rumah sakit tersebut.
"Omong-omong sebentar lagi makan siang, Ibu mau saya pesankan makanan?" ucap wanita tadi.
Zenaya menggeleng. "Aku—"
"Makan, makan!" Suara seorang wanita lain tina-tiba terdengar bersamaan dengan pintu ruangannya yang terbuka.
Zenaya tersenyum. "Aku akan makan dengan Grace, kamu bisa kembali," ucapnya.
"Baik, kalau begitu saya permisi." Wanita tersebut undur diri. Tidak lupa dia juga menyapa Grace.
Grace yang dikenal memiliki kepribadian meledak-ledak kini menjelma menjadi seorang wanita anggun yang manis. Terlebih setelah menikah. Dia juga merupakan salah satu dokter di rumah sakit ini dan tengah mengambil program pendidikan dokter spesialis.
Jauh di belahan dunia lain, Emily kini sibuk membantu usaha restoran bintang lima milik suaminya, sementara Alice sedang sibuk berkeliling dunia dengan keluarga kecilnya dalam waktu yang tidak dapat ditentukan, dan di antara mereka berempat memang hanya Zenaya saja yang belum memiliki pasangan hidup.
Entah sebesar apa ketakutannya seorang pria, hati Zenaya sama sekali tidak pernah tergugah. Zenaya hanya ingin fokus menikmati kesendiriannya saat ini.
"Ayo!" Zenaya bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri Grace. Mereka pergi meninggalkan ruangan Zenaya bersama untuk makan siang.
"Kamu pasti lelah sekali," ujar Zenaya begitu mereka sampai di lobby rumah sakit. Keduanya memang lebih senang makan di luar dari pada di kantin rumah sakit.
"Biasa saja. Kamu tahu sendiri kalau staminaku bahkan melebihi seorang binaragawan!" Grace menanggapi kekhawatiran sahabatnya itu dengan lelucon garing.
Zenaya tertawa kecil, biar bagaimanapun ada beberapa hal yang tidak berubah dari sahabat baiknya itu.
"Permisi! Permisi!"
Langkah Zenaya dan Grace sontak terhenti saat sebuah mobil ambulance berhenti tepat di depan mereka.
Supir ambulance kemudian turun dari mobil dan membuka pintu belakang. Brankar lalu diturunkan dan orang perawat dan dokter jaga bergegas keluar dari ruang UGD.
"Pasien mengalami benturan di kepalanya dan patah pada lengan kanannya. Tekanan darah pasien berada pada 80/60mmHg dan saturasi oksigennya di bawah 80, dok!" seru salah seorang petugas medis ambulance.
"Siapkan ventilator! Kita perlu CT scan juga!" pekik sang dokter jaga pada salah seorang perawat yang ikut bersamanya.
"Baik, dok!"
Zenaya terpaku begitu melihat keadaan pasien yang penuh dengan darah tersebut. Namun, bukan itu yang membuat tubuh Zenaya berubah kaku, melainkan pada siapa yang berada di atas brankar tersebut.
Sepuluh memang telah berlalu, tetapi bukan berarti Zenaya lupa akan sosok pria yang pernah menyakitinya dulu.
"Rey, ya Tuhan, Rey!"
Jantung Zenaya seketika berdebar keras saat seorang wanita dengan penuh air mata berteriak histeris sembari mengikuti brankar tersebut. Sementara dua orang pria lain tampak mengikuti wanita tersebut.
"Zen," panggil Grace hati-hati. Dia yang sama terkejutnya dengan Zenaya kini menyentuh lembut lengan sang sahabat.
Zenaya berpaling menatap Grace.
"Kamu melihatnya?" tanya Grace sembari menatap sendu Zenaya.
Zenaya sama sekali tidak menjawab.