Kehidupan gadis yang bernama Renata Nicholas tak jauh dari penderitaan, wajahnya yang pas-pasan serta penampilannya yang kurang menarik membuat semua orang terus merendahkannya.
Setelah orang tuanya meninggal, Renata tinggal bersama sang bibi dan sepupunya. Namun, mereka selalu tak adil padanya dan mengucilkannya. Tak pernah mendapatkan kebahagiaan membuat Renata jenuh dan memutuskan pergi dari rumah.
Disaat itu ia bertemu dengan laki-laki yang bernama Derya Hanim, seseorang yang pernah ia kagumi, akan tetapi itu bukan akhir dari segalanya, ternyata Derya hanya memanfaatkan keluguannya sebagai pelukis yang hebat.
Setelah tahu tujuan Derya, Renata kembali bangkit dan pergi dari pria itu, dan akhirnya Renata bertemu dengan Bagas Ankara, dia adalah bos Renata, pria yang diyakini bisa membantu mengubah hidupnya, baik dari segi karir maupun wajahnya. Bagas yang ingin membalas mantannya pun mengakui Renata sebagai pacarnya.
Akankah cinta tumbuh diantara mereka?
Ataukah Bagas kembali memanfaatkan Renata seperti yang dilakukan Hanim?
Siapa sosok Bagas dan Derya, pria yang sama-sama hadir dalam hidup Renata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Putus
Kabar anjloknya perusahaan Bagas sudah menyebar ke seluruh penjuru. Salah satu perusahan yang sangat besar itu kini tinggal puing-puing, bahkan Bagas hanya mampu mempertahankan beberapa karyawan saja, itupun dengan keikhlasan hati mereka yang siap menerima bayaran lebih kecil.
Seharian penuh Bagas mengurung diri dikamar. Ia terus menatap ke arah jendela dan memijat pelipisnya, pikirannya buntu hingga membuatnya tak ingin bertemu siapapun.
Beberapa kali ketukan pintu menggema, hingga membuat Bagas terpaksa membukanya.
Bagas berdiri tepat di depan mamanya, wajahnya suram, sedikitpun tak ada semangat untuk melakukan sesuatu.
"Mama sudah tahu semuanya," ujar mama memberikan pelukan hangat untuk putranya.
"Maafkan aku, Ma. Seharusnya aku lebih teliti lagi, aku memang nggak berguna, aku tidak bisa diandalkan." Bagas merasa bersalah sudah mengecewakan mamanya.
Sssttt
Mama mengelus punggung lebar Bagas dengan lembut, menenangkan Bagas yang sangat kacau.
"Rezeki sudah diatur, kamu tidak usah menyalahkan diri sendiri, mungkin kali ini memang bukan rezeki kamu, semua ada masanya, tetap semangat pasti kamu bisa melewati semua ini."
Mama menggiring Bagas menuju meja makan, hampir seharian perut Bagas kosong, tak ada makanan yang bisa masuk ke mulutnya mengingat masalah yang dihadapi sangat berat.
"Gimana dengan Jerry?" tanya mama di sela-sela makannya.
Bagas meletakkan sendoknya setelah menelan makanannya lalu meneguk air minum.
"Kemarin aku sudah menyuruhnya untuk pergi, tapi dia tidak mau, katanya ingin tetap kerja bersamaku."
Mama tersenyum lalu menyuapi Bagas.
"Tadi paman telepon, hari ini dia mau datang ke sini," ucap Mama.
Senyum mengembang dari sudut bibir Bagas. Tak menyangka ada kejutan di balik dirinya yang saat ini terpuruk.
Bagas melanjutkan makannya dan mulai menghapus apa yang mengendap di otaknya.
Paman pasti bisa membantuku.
Baru saja menyelesaikan makan, pintu utama terbuka lebar, orang yang baru saja di omongin sudah tiba di sana.
"Paman," teriak Bagas sembari berlari menghampiri paman dan bibinya juga sepupunya.
Bagas berhamburan memeluk pamannya, setelah itu beralih pada bibinya.
"Chika apa kabar?" tanya Bagas seraya mengulurkan tangannya.
"Baik, kakak sendiri gimana?" Gadis yang baru berumur sembilan belas tahun itu tersenyum dan memeluk Bagas dengan erat.
"Kakak juga baik, tapi hari ini tidak terlalu baik," sambungnya dengan suara yang semakin pelan.
Mama ikut menyambut saudaranya, hampir dua tahun lamanya mereka tidak bertemu, dan kini saatnya melepas rindu.
"Gimana kabar kamu, Ti?" tanya Bibi pada mama Bagas, yang mempunyai nama Tanti.
"Kalau aku baik, Mbak, tapi Bagas __"
"Kenapa?" sergah paman menepuk pundak Bagas.
"Kemarin ada masalah di kantor, katanya ada beberapa klien yang membatalkan kerja sama dengan perusahaannya, jadi ia mengalami kerugian besar, dan sekarang terpaksa harus mengeluarkan beberapa karyawan."
"Itu masalah kecil, paman bisa bantu," jawab pria yang berambut putih itu dengan enteng."
Disaat asyik berbincang membahas masalah yang terjadi, ponsel Bagas berdering, nama Melinda berkelip di layar.
"Dari siapa?"
"Melinda, sebentar paman, aku ke sana dulu."
Bagas meninggalkan ruang keluarga menuju teras depan rumah.
"Halo Mel, ada apa?" tanya Bagas mengawali pembicaraan.
"Kita ketemuan di tempat biasa, ada yang ingin aku bicarakan sama kamu." Suara Melinda terdengar sangat berat dan serius.
"Baiklah, aku akan segera datang."
Bagas mematikan ponselnya lalu masuk. Sebenarnya untuk saat ini ia enggan keluar, tapi bagaimana lagi, jika tidak dituruti pasti Melinda akan marah.
Bagas mengenakan kaos oblong putih yang dibalut dengan jaket kulit, serta celana jeans hitam dengan lutut yang robek. Memakai topi hitam dan kaca mata yang senada.
"Hati-hati ya, jangan ngebut," pesan mama sebelum Bagas berangkat.
Paman menatap punggung Bagas yang mulai menjauh.
"Kapan dia menikah?" tanya paman seraya mengambil secangkir kopi dari nampan yang di bawa bibi.
"Katanya Melinda minta waktu setahun lagi, Mas."
Paman bertanggung jawab penuh atas Bagas. Sebagai orang tua, ia sangat khawatir mengingat usia Bagas yang menginjak dua puluh tujuh tahun, tapi belum beristri.
Setelah membelah jalanan selama tiga puluh menit, akhirnya Bagas tiba di tempat tujuan. Sebuah cafe favoritnya dan Melinda saat menghabiskan waktu senggang.
Bagas masuk ke dalam melewati beberapa pengunjung yang saling menikmati hidangan di meja masing-masing.
Melinda nampak menunduk dan mengaduk latte yang ada di depannya.
"Ada apa?" tanya Bagas, ia duduk disamping Melinda tanpa melepas topinya lalu menyeruput minuman hangat milik Sang pacar.
Selama berpacaran, keduanya saling makan sepiring berdua, bahkan kopi pun secangkir berdua yang membuat semua orang iri.
Melinda masih diam, matanya yang berkaca mulai menatap wajah Bagas dengan lekat.
"Ada apa?" tanya Bagas mulai menerka-nerka, dadanya mulai bergemuruh saat melihat Melinda yang tak kalah kacau darinya.
Sebenarnya aku sangat mencintai kamu, tapi karena masalah ini kita tidak bisa bersama.
"Kita putus," ucap Melinda pelan, namun sangat menusuk ke ulu hati Bagas hingga pria itu runtuh.
Bagas membulatkan matanya dan menggeleng, ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Hubungan yang terjalin tiga tahun tanpa rintangan, tiba-tiba saja Melinda mengucapkan kata putus tanpa alasan yang jelas.
"Apa maksud kamu?" tanya Bagas antusias.
"Sepertinya hubungan kita tidak bisa dilanjutkan lagi, aku tidak hanya butuh kasih sayang dan cinta, tapi aku butuh materi. Sekarang kamu sudah tidak bisa memberikan itu."
Bagas menyunggingkan bibirnya, ia sangat paham dengan maksud Melinda, selama ini ia memang memperlakukan Melinda bak putri, apapun yang diminta pasti ia kabulkan. Bagas juga tidak pernah protes dengan gadis itu meskipun terkadang permintaannya di luar nalar.
"Apa ini karena perusahaanku bangkrut?"
Melinda menunduk lagi, dari lubuk hati yang terdalam, ia masih sayang dan cinta dengan Bagas, tapi karirnya sebagai model juga butuh dukungan, dan posisi Bagas sekarang ini tidak memungkinkan untuk mendukungnya.
"Maafkan aku, kamu harus tahu posisiku."
Meskipun hati Bagas sangat hancur, ia tetap berusaha tenang dan melipat kedua tangannya, sebagai seorang pria, ia tidak mau terlihat rendah mengemis pada wanita.
"Tidak usah minta maaf, aku pikir kamu akan mencintaiku dalam keadaan suka maupun duka, tapi aku salah, kamu hanya mencintai hartaku saja."
"Bukan begitu?" Melinda menggelengkan kepalanya dan meraih tangan Bagas, namun dengan cepat pria itu menepisnya dan mendorong kursinya dengan kasar lalu menggebrak meja.
Semua pengunjung menoleh menatap wajah Bagas yang berapi-api dengan kedua tangan mengepal.
"Aku kecewa sama kamu, tapi tidak apa-apa, sekarang aku tahu bahwa kamu tidak layak aku perjuangkan."
Bagas meninggalkan tempat itu, ia tak mengindahkan suara Melinda yang terus memanggil namanya.
Bagas langsung masuk mobil dan duduk di depan kemudi, ia terus memukul setir dengan gigi saling mengerat, menahan amarah yang sudah membuncah di ubun-ubun.
Aku pikir kamu serius dan berbeda dari perempuan di luaran sana, tapi aku salah, kamu tak lain hanya cewek matre yang memandang materi.
Bagas kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, meskipun keadaannya semakin kacau, ia masih mengutamakan keselamatan. Bagas datang ke sebuah danau untuk meluapkan kemarahannya.