Bagaimana rasanya ketika suami yang Aurel selalu banggakan karena cintanya yang begitu besar kepadanya tiba-tiba pulang membawa seoarang wanita yang sedang hamil dan mengatakan akan melangsungkan pernikahan dengannya? Apakah setelah ia dimadu rumah yang ia jaga akan tetap utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aure Vale, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian Delapan
Aurel mencoba menelpon suaminya, baterai ponselnya hanya ia isi sampai tiga puluh persen, setelah itu, ia langsung menghubungi Erven, memintanya untuk menjemput dirinya karena tubuhnya masih begitu lemas, belum lagi Aurel baru ingat jika dia sudah meninggalkan mobilnya di pinggir jalan.
Berkali-kali Aurel menelpon suaminya, tapi tidak kunjung diangkat, padahal Erven adalah tipe pria yang tidak bisa mengabaikan telepon yang masuk ke dalam ponselnya, Aurel mencoba berpikir positif, mungkin suaminya sedang sibuk atau ada meeting di kantornya, tapi sekali pun ada meeting, Ervel tidak pernah mengabaikan telpon yang masuk darinya, lalu mengapa kali ini sama sekali tidak diangkat?
Aurel semakin gelisah, kesabarannya hampir habis, ia hampir saja membanting ponselnya jika saja tidak ada seorang perawat yang masuk ke dalam ruangan, entah kenapa akhir-akhir ini Aurel sangat sulit mengendalikan emosinya.
" Permisi, saya izin memeriksa anda!" ujar perawat yang masuk itu seraya mendekati brangkar Aurel.
Aurel yang posisinya sedang duduk, langsung mengambil posisi ingin berbaring, tapi perawat menahannya.
"Anda tidak perlu berbaring, saya hanya ingin memeriksa kantung cairan infusnya,"
Aurel pun kembali duduk, sembari memperhatikan Sang perawat yang sibuk mengotak-atik selang cairan infusnya, lalu ia meminta izin untuk mencit jarum infus yang masih tertancap di punggung tangan kiri Aurel.
"Cairan infusnya sudah habis, anda diperbolehkan pulang, dan ini, biaya rumah sakit anda," perawat itu memberikan satu kertas berisi semua biaya rumah sakit selama seharian ini.
"Terima kasih,"
Perawat itu hanya mengangguk, lalu izin undur diri untuk bertugas di ruangan lain.
Setelah kepergian perawat tadi, Aurel kembali menatap ponselnya, lalu ia melirik charger yang masih ada di ruangannya, ia akan langsung bersiap pulang, mengembalikan kabel charger kepada perawat tadi siang, dan membayar biaya rumah sakit.
"Mungkin, mas Erven sedang sibuk," lirih Aurel seraya turun dari atas brangkar, ia merapihkan penampilannya yang sedikit berantakan, lalu menaruh ponselnya ke dalam tas, ia menoleh kesana-kemari mencari keberadaan sepasang high heelsnya, dan tersenyum lega begitu melihat high heels 2 sentimeter yang tergelatak di samping nakas dekat brangkar.
Setelah merasa tidak ada satupun barang yang tertinggal, Aurel langsung keluar ruangan, dan melangkah ke arah meja resepsionis untuk mengembalikan kabel charger dan juga membayar biaya rumah sakit dirinya.
"Selamat sore! Ada yang bisa saya bantu?" sambut wanita yang menjaga meja resepsionis itu dengan senyum ramahnya.
"Saya ingin mengembalikan kabel charge milik suster Arin," Aurel menyerahkan kabel charger itu kepada penjaga resepsionis.
"Oke, ada lagi?"
Aurel mengangguk, "saya ingin membayar biaya saya selama sehatian di sini," ucapnya dengan memberikan kertas berisi biaya rumah sakit.
"Pakai debit saja,"
Resepsionis itu mengangguk lalu menerima kartu ATM milik Aurel.
Setelah semuanya selesai, ia melangkah keluar dari lobby, mungkin ia akan memesan taksi saja, karena tidak mungkin ia berjalan sampai tempat ia memarkirkan mobilnya di jalan, beruntungnya orang-orang membawanya ke rumah sakit yang dekat dengan restoran tempat ia makan tadi, mengingat tentang restoran itu, Aurel ingat ia belum membayar makanan dan minuman yang ia pesan tadi, akan langsung ia bayar karena takut makanan yang sempat masuk ke dalam perutnya menjadi haram.
Baru saja Aurel keluar dari dalam lobby, ia melihat suaminya dan Jihan baru saja keluar dari dalam mobil, Aurel mengepalkan kedua tangannya, jadi ini alasan Erven tidak mengangkat telponnya? Karena ia sedang bersama Jihan?
"Loh, Aurel, kamu sedang apa di rumah sakit?" tanya Erven terkejut mendapati istri pertamanya keluar dari rumah sakit.
"Tidak apa-apa," jawab Aurel datar, ia hendak kembali melangkah tapi bahunya langsung ditahan Erven.
"Kamu sakit? Sakit apa? Bilang sama Mas?" Tanya Erven beruntun, Aurel menatap lekat kedua mata Erven yang memang menyiratkan dia sangat khawatir dengan keadaan dirinya yang baru saja keluar dari rumah sakit, ia ingin mengatakan jika dirinya hamil, tapi Jihan membuat Aurel kembali menutup bibirnya.
"Mas, perutku sakit," lirih Jihan.
Aurel langsung memalingkan pandangannya, dadanya kembali sakit mendengar Jihan juga memanggil Erven dengan sebutan 'mas', rasanya seperti ada pisau yang menusuk dirinya, sakit juga perih.
Aurel tidak menyangka jika ternyata Jihan juga memanggilnya dengan panggilan khusus dirinya kepada Erven, dulu selama setahun pernikahan pun, Erven tidak suka di panggil dengan embel-embel 'mas' karena ia bukan orang Jawa dan juga tidak ada keturunan Jawa, tapi kini, dengan Jihan, yang baru beberapa hari ia nikahi, sudah dibebaskan memanggil dirinya dengan embel-embel 'mas', bukankah masih banyak panggilan lain selain 'mas'?
"Aku pergi," pamit Aurel langsung melangkah cepat meninggalkan Erven yang menatapnya dengan tatapan yang Aurel benci.
"Aurel, tunggu!" Erven mengejar dirinya yang sudah membuka ponsel untuk memesan taksi.
"Kamu sakit apa?" tanya Erven.
"Lebih baik mas urus Jihan dulu, kasihan dia sedang sakit kan perutnya?"
Erven menggeleng, ia tidak bisa menerima istrinya yang sikapnya sangat berubah drastis.
"Aurel,"
"Mas,"
Keduanya berucap bersamaan, keduanya saling menatap, menyelami cerita yang ada di balik mata, sebelum akhirnya Aurel memutus duluan tatapan itu.
"Taksinya sudah sampai, aku pamit dulu mas, Assalamu'alaikum," ucap Aurel langsung menghampiri taksi yang berjarak beberapa langkah dari tempatnya berdiri.
Erven hendak mengejarnya kembali, tapi suara teriakan Jihan mengalihkan perhatiannya, Erven terkejut melihat Jihan yang sudah terjatuh dengan kedua tangan yang memeluk perutnya, dengan perasaan paniknya, Erven berlari menghampiri Jihan.
Di balik kaca taksi yang berwarna hitam, Aurel menatap keduanya sendu, rasa cemburu kembali menguasai dirinya, jika sejak awal ia tidak menuruti suaminya untuk menikah lagi, ia tidak mungkin berada dalam situasi seperti sekarang ini, seharusnya kabar kehamilan dirinya menjadi salah satu kabar bahagia yang Erven Terima, tapi kini, biarlah Aurel tidak memberitahunya dulu, ia akan menunggu moment yang pas untuk ia beritahu kepada Erven.
Aurel langsung memalingkan wajahnya begitu ia melihat bagaimana lembutnya Erven memperlakukan Jihan, apa yang pernah ia dapatkan dari Erven, Aurel tahu, pasti Jihan juga mendapatkannya.
"Pak, langsung berangkat aja ya!" ucap Aurel sadar jika sopir taksi itu masih menunggu perintah darinya, mungkin Sang sopir tahu apa yang sedang menimpa dirinya, melihat dirinya yang menangis.
Aurel sendiri bahkan tidak sadar kapan air matanya keluar, ia hanya sibuk memperhatikan suaminya dan Jihan.
"Ini benar lokasinya, mbak?" tanya sopir itu, mungkin sedikit aneh karena setelah dari rumah sakit lokasi tujuan Aurel malah menuju restoran bukan ke rumah.
"Iya, benar pak,"
Aurel menghapus air matanya dengan tisu yang ada di tasnya, lalu ia membuka ponselnya, hendak memberikan kabar kepada editornya yang pasti marah karena merasa di bohongi oleh Aurel.
Tapi justru matanya malah melihat notif dari Ervel yang mengatakan permintaan maaf karena tidak mengangkat telpon, Sejak tadi pagi, Jihan mengeluh sakit pada bagian perutnya, dan Ervel tidak mendengar suara telpon yang masuk ke dalam ponselnya.
Aurel tersenyum miris, bolehkah ia menyesali keputusannya memberikan izin Erven menikah lagi, harusnya ia menyadari dari awal, Erven tidak akan pernah bisa menepati janjinya jika ia sudah memiliki dua istri.
_________________________________________
Ada aja tingkah Jihan yang tiba-tiba perutnya sakit, bikin Erven bingung aja.
Tapi menurut kalian siapa yang harusnya Erven kasih perhatian lebih dulu, Aurel yang baru keluar rumah sakit atau Jihan yang tiba-tiba perutnya sakit? komen yaa!
bye bye aja lah