Sinopsis
Rania, seorang gadis desa yang lembut, harus menanggung getirnya hidup ketika Karmin, suami dari tantenya, berulang kali mencoba merenggut kehormatannya. Belum selesai dari satu penderitaan, nasib kembali mempermainkannya. Karmin yang tenggelam dalam utang menjadikan Rania sebagai pelunasan, menyerahkannya kepada Albert, pemilik sebuah klub malam terkenal karena kelamnya.
Di tempat itu, Rania dipaksa menerima kenyataan pahit, ia dijadikan “barang dagangan” untuk memuaskan para pelanggan Albert. Diberi obat hingga tak sadarkan diri, Dania terbangun hanya untuk menemukan bahwa kesuciannya telah hilang di tangan seorang pria asing.
Dalam keputusasaan dan air mata yang terus mengalir, Rania memohon kepada pria itu, satu-satunya orang yang mungkin memberinya harapan, agar mau membawanya pergi dari neraka yang disebut klub malam tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 8
Airon menyesap kopinya perlahan. Sebenarnya, hasrat untuk kembali menarik Dania dan menghabiskan sisa pagi itu bersamanya begitu kuat. Gadis itu, dengan kepolosan dan rasa takutnya, telah menjadi candu yang aneh, satu-satunya hal yang berhasil meredakan badai dalam dirinya. Namun, Airon menahan diri. Prioritas dan kekuasaan harus ditegakkan.
Kopi itu terasa sempurna. Hangat, kaya, dan pahitnya pas. Persis seperti kopi yang pertama kali Dania buat, kopi yang ia tumpahkan karena marah. Kali ini, tidak ada garam, hanya kepatuhan yang pahit.
Di dapur, Dania mengelus perutnya yang terasa kosong. Ia menghela napas. Air dan kopi, bahkan tiga cangkir, tidak bisa menghilangkan rasa lapar. Ia ingin sekali mengatakannya pada Airon, tetapi rasa tidak enak hati mencekiknya. Airon sudah menampung dan membayar utang pamannya untuk membebaskannya. Rasa syukur itu adalah rantai yang lebih kuat daripada rasa lapar.
Dania mendengar suara langkah Airon menuruni tangga. Ia segera berlari ke ruang tengah, menemuinya sebelum Airon sempat memanggil.
“Tuan mau berangkat kerja?” tanya Dania saat Airon tiba di lantai bawah.
“Ya, saya akan ke kantor,” kata Airon, nadanya kembali dingin dan formal.
“Sini, tasnya saya bawakan, Tuan.” Dania mengambil tas kerja Airon, sebuah koper kulit mahal, dan berjalan mendahului Airon menuju pintu.
“Hati-hati bawa mobilnya, Tuan,” ucap Dania. Ia menyerahkan tas itu dengan kedua tangan.
Tanpa menjawab, Airon mengambil tasnya, masuk ke dalam mobil mewah Porsche Panamera miliknya. Mesin mobil menderu pelan sebelum melesat pergi, meninggalkan Dania yang masih berdiri menatap belakang mobil itu hingga hilang dari pandangan vila.
Setibanya mobil Airon di depan gedung kantornya yang megah, petugas valet berjas hitam langsung menghampiri dan membukakan pintu untuknya.
“Selamat pagi, Pak.”
Seperti biasa, Airon disambut dengan sapaan dan senyuman hormat dari para pegawainya. Namun, seperti biasa pula, Airon tak tertarik pada keramahan itu. Baginya, itu hanyalah sapaan para penjilat. Tanpa gelar 'Pemilik Perusahaan', sapaan itu tidak akan pernah ada.
“Selamat pagi, Tuan Airon,” sapa Ergan, asisten pribadinya yang sigap, datang dari arah berlawanan.
“Pagi,” sahut Airon. Ergan, mungkin, adalah satu-satunya pengecualian.
“Hari ini saya ada jadwal apa saja?” tanya Airon sambil terus berjalan, memimpin langkah di koridor marmer.
“Pagi ini pukul sembilan, Anda akan meeting dengan Pak Prayoga di Hotel Galdon, Tuan,” beritahu Ergan, memutar badan agar tetap sejajar.
“Saya tahu itu. Ada lagi?” tanya Airon lagi.
“Tidak, Tuan, karena saya sudah membatalkan janji Anda dengan yang lain seperti yang Anda suruh,” ucap Ergan.
Saat melewati meja sekretaris perusahaan, yang duduk di luar ruangan Airon, seorang wanita yang tugasnya terasa kabur karena efisiensi Ergan, wanita itu mengangkat wajah.
“Pagi, Pak Airon. Maaf, di dalam ada Nona Sintya,” kata Sekretaris wanita itu, menyampaikan berita yang akan memicu kekacauan.
Mendengar nama Sintya, ekspresi Airon yang dingin tak bergeming. Ia langsung masuk ke ruangannya, diikuti oleh Ergan.
“Sayang, aku tunggu kamu dari tadi, tahu,” ucap Sintya. Ia segera mendekat, tubuhnya beraroma parfum mahal, dan menciumi pipi Airon.
Ergan merasakan bulu kuduknya merinding. Ia tahu, drama akan segera dimulai.
“Maaf, Tuan, apa saya masih diperlukan di sini?” tanya Ergan, ingin segera menghilang.
“Kamu boleh keluar,” ucap Airon.
Ergan segera pergi. Saat melewati meja sekretaris, ia menggelengkan kepalanya pelan. Sang Sekretaris menatap Ergan heran, tidak mengerti kode diam itu.
“Ada apa kamu datang sepagi ini?” tanya Airon dingin pada Sintya.
“Sayang, aku mau ketemu sama kamu karena akhir-akhir ini kamu sibuk terus. Aku kan kangen jadinya,” ujar Sintya dengan suara yang dibuat-buat manja.
Airon tidak menunjukkan ketertarikan. Ia memilih duduk di sofa kulit eksklusif di ruangannya.
“Sayang, kamu kok cuek, sih?” Sintya menghampiri Airon dan duduk di pangkuannya.
“Saya sibuk, banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan,” kata Airon, mengabaikan tangan Sintya yang mulai meraba-raba tubuhnya.
Sintya berusaha lebih keras. “Sayang, kok kamu gitu sih ke aku? Aku kan kangen.”
Karena tak mendapatkan respons, Sintya berdiri. Untuk menarik perhatian Airon, ia melucuti dress gold yang ia kenakan. Tubuh polos bagian atas Sintya kini terekspos, hanya tertutup celana dalam transparan di bagian bawah.
“Kamu tidak tergoda, Sayang?” kata Sintya, meremas dadanya, berusaha memancing Airon.
“Airon, adikku yang tampan…”
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Airish masuk, diikuti Ergan.
“Astaga…!!!” Kaget Airish, menutup mulutnya saat melihat Sintya dalam keadaan telanjang dada.
“Maaf…” ucap Ergan, cepat-cepat menutup matanya.
Sintya, yang aksinya dipergoki, segera menarik dress-nya kembali.
“Ergan, kenapa kamu tidak bilang kalau ada ulat bulu di sini?” tanya Airish, menoleh ke arah Ergan yang masih menutup mata.
“Saya sudah bilang bahwa Tuan Airon ada tamu, tapi Nona Airish terus masuk tanpa mendengarkan saya,” bela Ergan.
“Apa aku mengganggu? Apa sebaiknya aku dan Ergan keluar?” tanya Airish pada Airon, yang tak menunjukkan sedikit pun keterkejutan.
“Di sini saja,” ucap Airon, suaranya datar.
Airon berkata pada Airish, “Duduklah.” Sintya salah sangka. Ia segera duduk di samping Airon.
“Ergan, panggil satpam. Suruh seret perempuan ini keluar dari ruangan saya!” Perintah Airon.
“Airon, perempuan siapa yang kamu maksud?” tanya Sintya tak percaya.
“Perempuan itu pasti kamu,” sahut Airish, menunjuk Sintya.
“Apa maksud kamu? Airon tidak mungkin usir aku!” Sintya masih tidak terima.
“Nona Sintya, silakan keluar,” kata Ergan, memperjelas perintah Airon.
“Airon, apa-apaan ini?!” Sintya berdiri marah.
Airon bangkit. “Saya sudah tidak butuh kamu lagi,” tegasnya.
“Kurang ajar!!” Sintya melayangkan tangannya.
“Jangan pernah muncul di hadapan saya, atau saya akan buat hidup kamu seperti neraka!” Airon menahan tangan Sintya di udara.
“Sayang, jangan gitu dong. Aku minta maaf, Sayang, aku ngaku aku salah, maaf Sayang,” rengek Sintya, berlutut memohon di kaki Airon.
Airon menatap Ergan. Ergan mengerti. Ia menarik Sintya, yang berteriak-teriak histeris, keluar dari ruangan itu.
“Dasar wanita parasit!” umpat Airish.
“Tapi tunggu, Ron, kamu main sama dia pakai pelindung, kan?” tanya Airish, membuat Airon melayangkan tatapan mematikan.
“Well, aku cuma tidak mau punya ponakan dari perempuan seperti itu, ngeri, tahu,” ucap Airish setengah bercanda, lalu duduk di kursi kerja Airon.
Ergan kembali. “Nona Sintya sudah pergi, Tuan.”
“Sekarang saya mau kamu keluar dan pecat Sekretaris yang tidak berguna itu!” Perintah Airon.
Airish tersenyum kecut. Sekretaris itu adalah korban kesekian dari kemarahan Airon yang salah sasaran.
“Salah saya apa, Pak? Kok saya dipecat?” tanya Sekretaris wanita itu, menangis.
“Salah kamu adalah karena kamu mendapat bos seperti Tuan Airon,” sahut Ergan.
Jika saja aku tidak membiarkan Nona Sintya masuk, batin Ergan, mungkin dia masih punya pekerjaan.
masa tangan kanan ga punya rencana 🤦🤦