Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Kedelapan
#08
Malam semakin larut, udara semakin dingin, membelai permukaan tanah berumput, membawa titik – titik embun menuju siwaratri yang berada di langit sebelah Timur. Membungkam nyanyian binatang – binatang malam, menggelitik sekawanan burung yang masih terlelap di sarang dan memaksanya mendendangkan lagu menyambut datangnya sang fajar. ( Siwaratri adalah, proses pelebur kegelapan malam untuk menuju pagi ).
Langit di sebelah Timur merekah kemerahan, memayungi deretan perbukitan dan pegunungan serta lembah yang membentang dari Barat ke Timur, dari Utara ke Selatan, mengelilingi wilayah PAKUAN PAJAJARAN dan sekitarnya. ( Asal – usul Kerajaan Pajajaran ( 932 – 1579 M ) dapat Anda ikuti kembali pada SAUR SEPUH EPISODE KEMBANG GUNUNG LAWU ).
Hari masih gelap saat sesosok bayangan hitam berkelebat ringan. Berlompatan kesana – kemari dari dahan pohon satu ke pohon lain, melintasi padang ilalang bagai melayang hingga akhirnya tiba di tepi sebuah sungai berarus deras. Jarak antara tempatnya berdiri hingga ke seberang lebih kurang 3 – 4 tombak.
Sejauh mata memandang, yang tampak adalah bongkahan – bongkahan batu cadas berbagai ukuran, beragam bentuk. Sebagian menyembul ke permukaan sungai, membelah aliran air, sebagian pula menjorok ke dalam sungai. Sosok bercadar hitam itu mengangkat tangan kanan ke udara dan mengibaskannya ke depan. Beberapa helai daun melayang – layang turun dan jatuh diatas permukaan air, bersamaan dengan itu, ia melompat kaki - kakinya menotol dedaunan yang mulai terbawa arus sungai. Dengan menggunakan daun yang mengapung di permukaan air, Si Cadar Hitam menyeberangi sungai berarus deras itu. Ia bagaikan seekor burung raksasa bermain – main di permukaan air.
Bagi orang awam, untuk menyeberangi sungai berarus deras itu harus menggunakan perahu atau rakit. Akan tetapi, menyeberangi sungai dengan menggunakan daun, itu adalah hal yang sulit diterima oleh akal sehat. Namun, itulah kenyataannya, Si Cadar Hitam mampu melakukannya dengan mudah. Jelas sekali, ia bukanlah orang sembarangan.
Sesampai di seberang sungai, bayangan itu terus bergerak bagai tupai, sesekali meliukkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, sesekali melompat tinggi dan berjumpalitan di udara hingga tibalah di sebuah lembah yang diapit oleh 2 buah tebing curam dan terjal. Lembah itu diselimuti oleh kabut tebal.
“Hhhiiiaaa !”
Teriakannya menggema seakan memenuhi tempat itu. Ia melompat ke atas tebing. Kaki – kakinya bergerak lincah menjejak dinding tebing yang terdiri dari batu – batu cadas sebesar kerbau secara bergantian. Dinding – dinding tebing yang terjal dan curam itu seakan tidak menghalanginya untuk terus naik ke atas dan tubuhnya menghilang bagai ditelan kabut tebal yang menyelimuti bagian atas tebing.
Si Cadar Hitam tiba di sebuah mulut gua. Tingginya hanya beberapa depa saja, namun saat memasuki mulut gua, di hadapannya membentan g sebuah ruangan yang cukup luas dan menakjubkan. Udara begitu dingin, pada langit – langitnya, menggantung bebatuan beragam bentuk dan ukuran, demikian pula dasar gua. Selain pada ujungnya sebagian besar tampak tajam, juga permukaannya berlapis – lapis bagai dibelah – belah menjadi kepingan – kepingan kecil. Dalam keadaan seperti itu, kita bagaikan berada di alam lain. INDAH SEKALIGUS MENYERAMKAN.
Di tengah ruangan, seorang pemuda berpakaian abu – abu, terbaring lemah pada sebuah lempengan batu datar yang dikelilingi oleh sebuah kolam berair jernih dan senantiasa mengepulkan asap tipis. Hawa di sekitar kolam hangat dan sejuk, akan tetapi, pada bagian bagian bibir kolam membeku.
Si Cadar Hitam duduk bersila sambil melipat kedua tangan di dada, kepalanya tertunduk, sepasang matanya terpejam rapat. Aneh sekali, mendadak saja air di dalam kolam bergolak seperti diaduk – aduk oleh kekuatan tak kasat mata. Sebagian air memercik, membasahi tubuh pemuda itu.
Asap putih tipis yang keluar dari dalam kolam semakin lama – semakin tebal, melayang – layang rendah, mengelilingi dan membungkus tubuh pemuda itu. Kulitnya perlahan – lahan memerah bagai dipanggang, beberapa detik kemudian, tubuhnya mengejang, otot dan uratnya bertonjolan keluar.
“Aduh ! Aduh ! Sakit sekali... tolong ... tolong .... tolong ...” teriak pemuda itu sementara tubuhnya menggeliat – geliat bagai cacing kepanasan, “Panas .... panas .... tolong....” teriakannya seakan tertahan di tenggorokan.
“Saudara Widura, tenanglah. Jika kau berontak, maka, racun di tubuhmu itu akan merusak seluruh organ dalammu. Tenanglah,” kata orang bercadar hitam itu.
Benar. Pemuda berpakaian abu – abu itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah ARYA WIDURA. Pertarungannya dengan si cebol dari Rajabasa, Ki Tengkes membuatnya terluka cukup parah. Beruntung sekali nyawanya masih bisa selamat akibat percekcokan diantara lawan – lawannya dan tanpa sepengetahuan mereka, orang bercadar hitam itu membawa dan mengobati Widura ke tempat ini. Ia diobati dengan cara yang tidak biasa, namun, hanya dalam waktu beberapa hari saja, racun di dalam tubuhnya berhasil dikeluarkan meski belum hilang sepenuhnya. Tubuhnya dibaringkan pada lempengan batu datar di tengah kolam berair panas. Tak dapat dihitung, berapa kali air di kolam tersebut mengguyur tubuhnya, membuatnya seperti direbus. Tapi, setelah selesai, tubuhnya menjadi segar bugar dan tenaga dalamnya pun seakan meningkat drastis.
Setelah sekian lama merasakan tubuhnya seperti terpanggang, Widura membuka kelopak matanya. Pertama kali yang ia lihat adalah sebuah ruangan dengan batu – batuan berujung runcing menggantung di langit – langit, dan yang kedua adalah, sosok orang bercadar hitam memandangnya dengan tatapan tajam.
“Si... siapakah anda ? Di... dimanakah aku berada sekarang ?” tanyanya.
“Tenanglah. Kau saat ini berada di LEMBAH HALIMUN,” sahut orang itu, “Beristirahatlah dulu, Saudara Widura. Jangan khawatir, mereka tidak akan menemukan kita di tempat ini,”
“Lembah Halimun ? Lalu, siapakah Anda ini ?” sambil bertanya demikian tanpa sadar ia memegang bahu kirinya, ia tersentak manakala merasakan ada yang ganjil, “Ta ... ta... tangan kiriku.... Kemana tangan kiriku ? Mengapa tangan kiriku tidak ada ? Apa yang terjadi ?”
“Maaf, saudara Widura.... aku terpaksa memotong tangan kirimu, karena RACUN HITAM milik lawanmu itu sudah merusaknya dan tak bisa disembuhkan lagi,” jelas orang itu.
Widura seakan tidak percaya dengan penjelasan orang bercadar itu, maka ia mengalihkan pandangan ke kiri. Tangan kirinya buntung sebatas bahu, hatinya serasa hancur berkeping – keping, wajahnya tertunduk dan tangisnya tidak bisa lagi dibendung.
“Lebih baik, kau biarkan saja aku mati daripada cacat seperti ini ! Mengapa ini terjadi padaku ?! Mengapa ?!” teriakan Widura terdengar memilukan.
“Saudara Widura ... tenangkanlah dirimu. Aku melakukan ini demi keselamatan nyawamu,”
“Aku... aku tidak bisa menerimanya ! Aku tidak bisa menerimanya !!” teriak Widura berulang – ulang, ia melompat tinggi ke udara hendak membenturkan batok kepalanya ke salah satu ujung batu yang menggantung di langit – langit. Gerakannya cepat sekali, walaupun masih terluka, orang bercadar itu sama sekali tidak menduganya. Jarak antara batok kepala Widura dengan ujung batu itu tinggal beberapa inchi lagi, tapi, mendadak...
Ia tersentak manakala salah satu pergelangan kakinya seakan dicengkeram kuat – kuat, detik berikut tubuhnya ditarik ke bawah oleh kekuatan tak kasat mata. Ia pun kembali duduk pada lempengan batu di tengah kolam itu dan sesosok tubuh tinggi, tegap dan kekar sudah berdiri di hadapannya.
“Jangan bodoh, Widura !”
Suara berat penuh wibawa dan kharisma itu membuat Widura tidak berani berbuat apa –apa lagi selain menundukkan wajah sementara bahunya bergerak naik – turun, tangisnya kembali pecah.
“Kau adalah putera Blambangan yang terkenal dengan kepiawaian dan keberaniannya dalam menghadapi ribuan anak panah dan tombak menancap di tubuhmu. Jika kau tidak terima dengan keadaanmu saat ini, carilah orang – orang yang membuatmu seperti ini, mintalah pertanggungan jawab kepadanya atau tidak sama sekali ! Apa kau sudah lupa tujuanmu ke Madangkara ?! Banyak nyawa yang harus dipertaruhkan kelak, termasuk GARNIS. Nah, jika kau terus meratapi keadaanmu sekarang itu artinya kau sudah melupakan tanggung jawabmu sebagai manusia. Kau egois. Maka dari itu Widura, bangkitlah ! Keterpurukanmu saat ini, adalah sebuah jalan, dimana menjadikan dirimu makin berarti. Menjadi pecundang ataukah menjadikan dirimu berguna bagi orang – orang di sekitarmu. Dari situlah kau belajar mengenai kebesaran jiwa. Buntung satu tangan, cacat, biarlah. Yang penting hatimu tidak cacat !”
Perkataan itu bagi Widura bagaikan guyuran air dingin nan sejuk di atas tanah kering. Seketika itu tergeraklah hati Widura, api semangat yang nyaris padam di hati pemuda Blambangan itu kembali membara.
“Tuan, perkataanmu itu....” kata Widura, “Baiklah, tugasku tidak boleh berhenti sampai disini. Kedok Permadi dan Shakila belum terbongkar,”
“Nah, itu baru benar, Saudara Widura. Untuk sementara, tinggallah di Lembah Halimun ini. Tempat ini, selain berhawa sejuk, jauh dari jangkauan tangan – tangan orang yang tidak bertanggung jawab, sangat cocok untuk berlatih. Aku janji, setelah kesehatanmu plih, aku akan menurunkan beberapa ilmu kepandaianku padamu. Bila saatnya tiba, kau baru bisa kembali melanjutkan tugasmu itu,” jelas orang bercadar hitam itu sambil mengeluarkan sebuah kitab dan menyodorkannya kepada Widura sambil berkata, “Dalam kitab ini, tertulis berbagai macam ilmu ... mulai dari Serat Jiwa, Waringin Sungsang, Lampah Lumpuh sampai Cipta Dewa dan beberapa ilmu lain dari Tibet. Jika kau bisa menguasai salah satu saja, maka, para pembunuh bayaran seperti yang kau temui beberapa waktu lalu ... bukanlah tandinganmu. Kau pasti bisa mengalahkannya. Sekarang, aku masih ada urusan yang harus diselesaikan. Kuharap, kau bisa mempelajarinya baik – baik,”
“Terima kasih, tuan. Maaf, kalau boleh tahu siapakah nama Anda ? Dan tampaknya, Anda sangat peduli dengan Madangkara. Apakah Anda ada hubungan dekat dengan pihak keluarga kerajaan ?” tanya Widura.
“Maaf, saudara Widura... aku tidak bisa menjawabnya. Tapi, jika engkau bertanya apakah aku punya hubungan dekat dengan Madangkara ... Yah, dulu sewaktu Sang Prabu Brama Kumbara masih hidup, hubungan kami melebihi saudara kandung, dekat sekali. Aku tidak ingin memperkenalkan diriku pada siapapun, belum saatnya. Tapi, kau bisa memanggilku SI TOPENG EMAS. Yah, untuk sementara aku mengenakan cadar hitam. Topeng emas itu masih kupesan secara khusus dan rahasia. Nah, saudara Widura... aku pergi dulu,” kata orang itu sambil hendak melangkah keluar. Akan tetapi ...
“Tunggu dulu, Tuan...” Widura mencegah sementara tangan kanannya mengeluarkan sesuatu dari lipatan pakaiannya, “Tuan, saya minta tolong ... jika Anda bertemu dengan Dewi Garnis.... tolong berikan GELANG NAGA KEMALA HIJAU ini kepadanya,”
“Hanya itu saja ?” tanya orang bercadar hitam itu. Widura menundukkan wajahnya yang murung, rahangnya serasa kaku dan tampaknya, orang bercadar itu tahu apa yang ada di benak pemuda Blambangan itu.
“Saudara Widura... ingatlah pesanku tadi. Jangan terus – menerus menyiksa diri seperti itu. Baiklah, gelang ini akan kuberikan kepada Garnis dan aku akan merahasiakan keberadaanmu di Lembah Halimun ini. Tenanglah,” kata orang itu sambil menepuk – nepuk bahu kanan Widura.
“Te... terima kasih, tuan,” kata Widura seraya mengangkat wajahnya. Tapi, ia terkejut manakala melihat orang bercadar hitam itu sudah tidak ada lagi di hadapannya. Lenyap bagai ditelan bumi.
“Hei, kemana orang itu ?” tanya Widura seorang diri, “Dia menghilang begitu saja, padahal baru saja aku berbincang – bincang dengannya. Hebat sekali ilmunya. Mungkinkah .... mungkinkah ... beliau adalah BRAMA KUMBARA ? Tapi, bukankah Tuanku Brama Kumbara sudah lama meninggal ? Tidak mungkin... Ah, sudahlah, yang penting aku harus mengikuti perkataannya. Dia benar,”
..._____ bersambung _____...