Dibesarkan oleh keluarga petani sederhana, Su Yue hidup tenang tanpa mengetahui bahwa darah bangsawan kultivator mengalir di tubuhnya. Setelah mengetahui kebenaran tentang kehancuran klannya, jiwanya runtuh oleh kesedihan yang tak tertahankan. Namun kematian bukanlah akhir. Ketika desa yang menjadi rumah keduanya dimusnahkan oleh musuh lama, kekuatan tersegel dalam Batu Hati Es Qingyun terbangkitkan. Dari seorang gadis pendiam, Su Yue berubah menjadi manifestasi kesedihan yang membeku, menghancurkan para pembantai tanpa amarah berlebihan, hanya kehampaan yang dingin. Setelah semuanya berakhir, ia melangkah pergi, mencari makna hidup di dunia yang telah dua kali merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puvi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Berdarah di Lembah Serigala
Ketenangan malam di lembah itu pecah oleh suara pertama: lolongan panjang dan menyayat, diikuti oleh geraman rendah yang semakin mendekat dari balik kegelapan di luar lingkaran cahaya api unggun. Kuda-kuda yang tadinya tenang langsung gelisah, mendengus keras, mata mereka membelalak penuh ketakutan.
Pedagang Chen langsung melompat, wajahnya pucat. "Serigala! Banyak!"
Su Yue sudah berdiri sebelum kata-kata itu selesai diucapkan. Indranya yang telah diasah oleh kewaspadaan konstan langsung menangkap ancaman. Dia tidak menunggu. Matanya, yang memantulkan nyala api, menjadi tajam dan dingin seperti es di tengah musim dingin.
"Jaga api tetap menyala. Jangan biarkan mereka memisahkan kita," instruksinya pendek dan jelas. Tangannya sudah menggenggam gagang pedang Ratapan Dingin, pedang biru itu belum sepenuhnya terhunus.
Dari balik semak belukar di tepi lembah, mata-mata hijau yang bersinar bermunculan. Satu, dua, lima, sepuluh... puluhan pasang mata. Mereka adalah serigala abu-abu biasa, bukan binatang spiritual, tapi kawanan yang lapar dan besar.
Xuqin dan Lanxi baru saja berdiri, tangan mereka masih gemetar sedikit, mencoba mengingat pelajaran formasi segitiga siang tadi. Tapi sebelum mereka bisa mengambil posisi, Su Yue sudah bergerak.
Dia bukan melesat. Dia meluncur. Seperti bayangan yang dipotong dari kegelapan itu sendiri, tubuhnya menghilang dari samping api unggun dan muncul di depan gerombolan serigala terdepan. Pedang Ratapan Dingin baru saja sepenuhnya terhunus, memancarkan cahaya biru pucat yang menusuk di malam hari.
Tidak ada jurus yang indah. Tidak ada teriakan. Hanya efisiensi yang brutal dan sunyi.
Swish!
Pedang itu menyambar horizontal, memotong leher dua serigala yang sedang bersiap menerjang. Darah bahkan belum sempat muncrat sebelum pedangnya berbalik arah, menikam ke depan, menembus mata serigala ketiga. Su Yue berputar, kakinya menendang perut serigala keempat sementara tangannya yang bebas membentuk segel cepat. Dia tidak mengumpulkan energi untuk serangan besar; dia melakukan persis seperti yang diajarkan Pedagang Chen: augmentasi. Lapisan es tipis membungkus tinjunya, dan saat menghantam tulang rusuk serigala kelima, terdengar suara retakan yang keras, disusul lolongan kesakitan yang tercekik.
Semua terjadi dalam hitungan napas. Dalam waktu kurang dari sepuluh detik, lima serigala sudah terbaring tak bernyawa di tanah, tubuh mereka mulai membeku di sekitar luka yang menganga.
Xuqin, Lanxi, dan Pedagang Chen hanya bisa terpana. Kecepatan dan kekejaman Su Yue membuat darah mereka membeku. Ini bukan latihan. Ini pembantaian. Dan Su Yue melakukannya dengan kendali yang mengerikan, tanpa emosi, seperti petani memanen gandum.
"Bersiap!" teriak Su Yue, suaranya datar namun memotong keheranan mereka. Dia mundur beberapa langkah, kembali ke dekat api unggun, pedangnya masih menetes darah yang cepat membeku.
Tapi itu baru permulaan. Lolongan balasan berkumandang, marah dan lapar. Dari kegelapan, bukan puluhan, tapi ratusan pasang mata hijau sekarang bersinar. Seluruh kawanan, mungkin terdiri dari beberapa kelompok yang bergabung, telah mengepung lembah kecil mereka. Mereka terdesak oleh kelaparan atau sesuatu yang lain.
Pedagang Chen gemetar, wajahnya lembab oleh keringat dingin. "Ini... ini terlalu banyak. Kita tidak akan bisa..."
"Kita bisa," potong Su Yue, memotong kepanikannya. Dia menoleh, matanya yang biru bertemu dengan Pedagang Chen.
"Tuan Chen, tetap di dekat api. Jaga kuda jika bisa. Kami akan melindungimu. Percayalah."
Kata-katanya tidak hangat, tapi mengandung keteguhan baja yang tak tergoyahkan. Pedagang Chen, meski masih ketakutan, mengangguk pelan, mencengkeram sebuah tongkat besi panjang dari gerobaknya.
Xuqin menarik napas dalam-dalam, memaksakan dirinya tenang. "Formasi segitiga! Su Yue di depan, aku dan Lanxi di belakang, jaga sisi!"
Lanxi, wajahnya pucat tapi matanya mulai menyala dengan semangat bertahan hidup, mengangguk kuat. "Ayo! Kita habisi binatang-binatang ini!"
Gelombang pertama serangan datang. Serigala-serigala itu menerjang dari tiga arah sekaligus, mengabaikan korban mereka yang sudah mati.
Su Yue, sebagai ujung tombak, menjadi pusat badai. Pedang Ratapan Dingin menari, setiap sambaran membawa kematian yang dingin. Dia tidak hanya mengandalkan pedang; kakinya yang diperkuat Qi menghantam, tangannya yang terbungkus es meninju, bahkan bahunya digunakan untuk membanting serigala yang mencoba melompati. Dia bergerak seperti pusaran es, menarik perhatian dan amarah utama kawanan itu.
Tapi dia tidak sendirian. Xuqin dan Lanxi, berdiri membentuk sudut di belakangnya, bekerja sama dengan baik. Xuqin menggunakan tongkat kayu yang diambil dari gerobak, memperkuatnya dengan Qi kayunya. Dia tidak mencoba menumbuhkan apa pun; fokusnya pada kecepatan dan ketepatan, menangkis serangan dari samping, mencungkil mata serigala, atau mematahkan kaki mereka. Lanxi, dengan energi tanah dan apinya, lebih frontal. Pukulannya berat, setiap pukulan yang mendarat di tubuh serigala disertai gemuruh kecil yang mengguncang tulang dalam. Dia juga menggunakan tanah di sekitarnya, menciptakan gundukan kecil untuk mengacaukan langkah serigala atau lubang dangkal untuk menjebak mereka.
Pertempuran itu sengit dan kejam. Lolongan, geraman, teriakan, dan suara benturan memenuhi lembah. Bau darah dan besi memenuhi udara. Api unggun berkobar, menari-nari di atas wajah-wajah yang tegang dan berlumuran darah.
Setiap kali mereka berpikir gelombang mereda, lebih banyak serigala muncul dari kegelapan, seolah tak ada habisnya. Kelelahan mulai terasa. Napas mereka tersengal, lengan mereka berat.
"Xuqin, kiri!" teriak Lanxi saat dua serigala mencoba menerobos dari sisi Xuqin yang sedang menghadapi yang lain.
Su Yue, tanpa menoleh, melemparkan semburan es pendek dari tangan kirinya, membekukan kaki serigala yang paling depan, membuatnya terjatuh dan menjadi sasaran empuk bagi tongkat Xuqin.
Mereka bertahan seperti itu berjam-jam. Bulan bergerak melintasi langit, menjadi saksi bisu pertempuran hidup dan mati di lembah terpencil itu. Tubuh mereka ditutupi goresan dan gigitan kecil. Pakaian mereka robek-robek. Tapi mereka tidak mundur. Formasi mereka bertahan.
Pedagang Chen, yang awalnya ketakutan, mulai membantu dengan caranya sendiri. Dia melemparkan bara api ke arah serigala yang mencoba mendekat dari belakang, atau memukul dengan tongkat besinya jika ada yang terlalu dekat. Teriakannya memberi semangat, meski suaranya serak.
"Bagus, Nona Lanxi! Hantam lagi!"
"Hati-hati belakang,Nona Xuqin!"
"Nona Su Yue,ada yang mencoba mengitari dari kanan!"
Lambat laun, jumlah serigala yang menyerang mulai berkurang. Lembah dipenuhi oleh mayat serigala yang membeku, patah, atau tergores. Darah membasahi tanah, menciptakan lumpur merah yang lengket.
Saat fajar pertama menyentuh puncak gunung di timur, serangan terakhir datang. Seekor serigala jantan besar, mungkin pemimpin kawanan, dengan bulu kelabu yang kusut dan mata penuh kebencian, melompat langsung ke arah Su Yue, mengabaikan yang lain. Su Yue, yang tenaganya hampir habis, menggeram. Dia tidak menghindar. Dia menghunus pedangnya dengan dua tangan, mengerahkan sisa Qi es di dantiannya. Pedang Ratapan Dingin bersinar terang.
Klang!
Dia menangkis cakar serigala itu dengan pedang, lalu dengan gerakan memutar yang cepat, pedangnya menusuk ke atas, menembus tenggorokan serigala jantan itu. Binatang itu tersedak, darah merah tua muncrat, sebelum tubuhnya yang besar runtuh di kaki Su Yue.
Dengan kematian pemimpinnya, sisa serigala yang masih hidup akhirnya mundur. Mereka melarikan diri ke dalam kegelapan yang tersisa, meninggalkan lolongan kesedihan dan kekalahan.
Kesunyian yang tiba-tiba terasa menusuk telinga.
Su Yue berdiri tegak, pedangnya masih terhunus, napasnya berat seperti bellow. Tubuhnya penuh dengan darah beberapa miliknya, sebagian besar milik serigala. Xuqin bersandar pada tongkatnya yang patah, wajahnya kotor dan lelah. Lanxi duduk di tanah, tangannya gemetar, menatap mayat-mayat di sekelilingnya dengan ekspresi kosong.
Pedagang Chen melompat dari gerobak, wajahnya takjub dan lega. "Kalian... kalian berhasil. Kalian selamatkan nyawaku dan daganganku."
Su Yue akhirnya menyarungkan pedangnya. Suaranya serak karena kelelahan. "Kita semua berhasil." Dia melihat Xuqin dan Lanxi. "Kalian baik-baik saja?"
Xuqin mengangguk, mencoba tersenyum namun gagal. "Cuma lelah. Dan sedikit tergores."
"Tanganku... terasa seperti bukan milikku," keluh Lanxi, mencoba menggerakkan jari-jarinya yang kaku.
Pedagang Chen segera mengambil alih. "Istirahat. Kalian butuh istirahat. Kita tidak akan berjalan dalam kondisi ini."
Dia melihat matahari yang baru terbit. "Kita akan beristirahat di sini selama dua jam. Aku akan jaga. Kalian tidur, makan, pulihkan tenaga sebisa mungkin. Setelah itu, kita lanjutkan perjalanan ke Kota Mata Angin."
Tidak ada yang membantah. Mereka terlalu lelah. Mereka membersihkan luka-luka kecil mereka dengan air dari sungai, membalutnya dengan kain robek, lalu makan sedikit sisa makanan. Setelah itu, tanpa banyak bicara, mereka merebahkan diri di dekat api unggun yang sudah hampir padam, tertidur dengan cepat seperti orang mati, dikelilingi oleh bekas pertempuran malam yang mengerikan.
Pedagang Chen duduk menjaga, memandangi ketiga gadis muda itu dengan rasa hormat yang dalam. Dia tahu, enam puluh Api yang dia bayar tidak akan pernah cukup untuk membayar apa yang mereka lakukan malam ini. Dan dalam pikirannya, dia mulai yakin: tiga gadis desa ini suatu hari nanti akan menjadi sesuatu yang besar di dunia kultivasi. Malam berdarah di Lembah Serigala adalah batu ujian pertama mereka yang sebenarnya, dan mereka telah melewatinya dengan darah, es, dan tekad yang tak terpatahkan.