Lin Zhiyuan, adalah pemuda lemah yang tertindas. Ia menyelam ke kedalaman Abyss, jurang raksasa yang tercipta dari tabrakan dunia manusia dan Dewa, hanya untuk mendapatkan kekuatan yang melampaui takdir. Setelah berjuang selama 100.000 tahun lamanya di dalam Abyss, ia akhirnya keluar. Namun, ternyata hanya 10 tahun terlalui di dunia manusia. Dan saat ia kembali, ia menemukan keluarganya telah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8 Sarapan pagi di tengah kekacauan
Beberapa orang hampir pingsan mendengar berita itu.
Sumur spiritual keluarga Wang adalah sumber energi yang dilindungi formasi puluhan ahli. Untuk kering dalam satu malam… itu berarti kekuatan yang mempengaruhinya bukanlah kekuatan biasa.
Patriark Wang mengepalkan tangannya—bahkan kuku menembus kulit telapaknya, namun ia tidak merasakan sakit.
“…Ini bukan bencana alam,” gumamnya rendah, namun semua orang bisa mendengarnya.
Bibirnya menegang, matanya menyipit berbahaya. “Ini ulah seseorang.”
Seperti arus listrik yang merambat melalui kerumunan, kata-kata itu membuat kaki para warga melemah.
“Si—siapa yang bisa melakukan ini?”
“Bahkan sekte besar saja tak akan sanggup—”
“A—apakah ini hukuman dewa?!”
Patriark Wang mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Suaranya menggelegar, memotong kepanikan yang mengudara.
“TENANG!! SEMUA TETAP TENANG!!”
Ia menatap rakyatnya—dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, matanya dipenuhi kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Kita tidak akan mati disini,” katanya keras. “Kota Wangzen tidak akan runtuh dengan mudah!”
Ia menoleh pada para penatua, suaranya berat namun tajam.
“Segera lakukan rapat darurat. Kumpulkan semua tetua. Panggil formasi ahli air. Sertakan penjaga inti. Ini bukan masalah biasa.”
Para penatua mengangguk cepat, meski wajah mereka pucat.
Sebagian warga tampak sedikit tenang—namun banyak yang masih menangis ketakutan, memeluk anak mereka, memanggil nama dewa, atau terdiam sambil memegang tanah kering dengan mata kosong.
Patriark Wang menatap langit, kemudian ladang mati di hadapannya. Hatinya menyelam jauh dalam ketakutan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
'Siapapun kau…' bisiknya dalam hati, dingin seperti bilah pedang malam. 'Siapapun yang berani menantang Keluarga Wang… aku akan menemukanmu.'
....
Sementara itu, di sebuah restoran bawah penginapan di tengah kota Wangzen. Para tamu disana bergumam gelisah, membicarakan bencana yang baru saja mengguncang kota.
Pintu terbuka keras. Jinzu masuk dengan langkah tergesa dan napas tersengal, wajahnya pucat seperti mendengar kabar kematian.
Namun langkahnya mendadak terhenti.
Di tengah suasana mencekam itu, Zhiyuan duduk dengan tenang di sudut ruangan, seolah tidak peduli dengan kondisi dunia luar.
Meja di depannya penuh dengan hidangan mewah: daging sapi panggang, sup tulang gurih yang mengepulkan aroma, anggur merah dalam gelas kristal, roti lembut berlapis mentega herbal.
Zhiyuan memegang garpu perak di tangan kanan, sementara tangan kirinya memotong daging sapi dengan pisau elegan—gerakannya halus, teratur, aristokratik. Tak ada bayangan murka abyss, hanya ketenangan seorang bangsawan menikmati sarapan pagi.
Ia menyuapkan daging itu perlahan. Teksturnya lembut. Jus dagingnya menetes, aromanya memenuhi lidahnya.
Sebuah senyum murni muncul di wajah yang biasanya dingin seperti batu nisan.
“Mm… setelah seratus ribu tahun memakan daging monster busuk di jurang abyss…” ia bergumam pelan, mata setengah terpejam menikmati rasa itu, “akhirnya ada makanan yang pantas menyentuh lidahku lagi.”
Ia memotong potongan berikutnya, menikmati setiap detik dengan kenikmatan hampir surgawi.
Baru kemudian ia menoleh, seolah baru menyadari keberadaan Jinzu yang berdiri kaku di ambang pintu.
“Oh?”
Dengan nada ringan, ia mengangkat dagu sedikit.
“Jinzu. Kau telat. Kalau tidak cepat, makanan ini akan dingin. Mau duduk? Dagingnya… luar biasa.”
Jinzu menggertakkan gigi, suara nafasnya tercekat antara marah, takut, dan putus asa.
“Tuan muda… ini bukan waktunya untuk makan!” Ia hampir berteriak, tapi menahan diri. “Seluruh kota kacau! Sumur kering! Ladang mati! Sungai Han lenyap! Ini—ini tragedi besar!”
Zhiyuan meniup permukaan supnya sedikit, tetap santai.
“Ah? Baguslah kalau begitu.”
Nada acuh tak acuhnya seperti seseorang baru saja mendengar hujan turun.
“Sepertinya para dewa menjatuhkan hukuman pada orang-orang munafik itu. Dunia kadang adil juga rupanya.”
Jinzu terbelalak. Tangannya mengepal.
“Tuan muda… jangan bercanda seperti itu!” Matanya bergetar, suara menurun menjadi bisikan penuh ketakutan. “Jangan bilang… ini semua adalah perbuatanmu?”
Ruangan seketika membeku. Beberapa pelayan yang mendengar langsung berhenti bernapas, tak berani bergerak.
Zhiyuan memotong satu potong daging lagi, lalu mengangkatnya perlahan ke bibir.
Tepat sebelum menggigit, matanya terangkat, bertemu dengan tatapan Jinzu. Tenang. Dalam. Gelap seperti jurang tanpa dasar.
“Jinzu.”
Suara Zhiyuan lembut, namun membawa beban dunia, seperti suara seseorang yang telah melihat ribuan era hancur.
“Apa kau melihatku keluar penginapan semalam?”
Jinzu tertegun.
“…Tidak.”
Zhiyuan tersenyum kecil, mengunyah potongan daging dengan penuh kenikmatan.
“Kalau begitu... Bagaimana bisa kau menyimpulkan kalau itu perbuatanku?”
Suasana jatuh ke dalam keheningan mematikan. Jinzu membuka mulut—namun tak ada jawaban keluar.
Zhiyuan tidak marah. Tidak mengancam.
Ia hanya kembali makan, menyesap anggur seperti raja yang sedang bersantai, bukan monster yang baru saja mengeringkan satu kota.
Tapi justru itulah yang paling membuat Jinzu merinding.
Di mata Jinzu, ia seolah melihat bayangan sesuatu yang jauh lebih tua dari dunia ini—sesuatu yang telah kehilangan definisi benar atau salah.
Dan dalam keheningan itu, Zhiyuan tiba-tiba berhenti mengunyah. Ia menaruh serbet perlahan di samping piring. Setiap gerakannya tenang… namun membawa tekanan yang mengguncang jiwa.
“Ayo pergi, Jinzu.”
Ia bangkit dari kursinya seperti seorang raja yang bosan dengan pesta.
Jinzu hanya bisa terdiam beberapa detik. Lalu ia mengangguk patuh, meski jantungnya masih berdebar keras, ia memaksa kakinya mengikuti dari belakang.
Ketika mereka melangkah menuju pintu—
“E–hei!”
Pemilik restoran, pria paruh baya dengan celemek lusuh, memberanikan diri berseru. Suaranya keras di permukaan, namun bergetar di dalam.
“Bagaimana dengan pembayarannya?! Kau belum—”
Zhiyuan berhenti. Tidak menoleh sepenuhnya, hanya memalingkan kepala sedikit. Tatapannya sepersekian detik saja cukup untuk membuat pria itu pucat.
“Oh? Karena kau telah menyajikan makanan yang enak untukku, maka sebagai balasannya… aku akan memberimu satu nasihat.”
Senyumnya melebar, namun matanya tetap sedingin kematian. “Pergilah dari kota ini sebelum fajar besok. Dengan begitu, mungkin kau tidak akan menderita."
Kata-katanya tidak mengancam, tapi cukup untuk membuat pemilik restoran terpaku.
Dan ketika Zhiyuan melangkah pergi, pintu restoran tertutup pelan, meninggalkan para pelayan yang saling menatap, kebingungan… dan ketakutan.
Namun saran dari pemuda itu benar-benar membekas dalam hati mereka.
mlh kalo baru awal2..kek semua tokoh tu mukanya smaaaaaaa..🤣🤣