NovelToon NovelToon
TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Trauma masa lalu / Keluarga / Roh Supernatural / Romansa
Popularitas:37
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5: Terjebak di Kegelapan Misterius

Udara dingin itu seolah berubah menjadi es, membekukan setiap pori di kulit Risa. Aroma melati yang tadi samar, kini menyeruak, pekat, menusuk indra penciuman hingga terasa sesak di dada. Bisikan itu… bisikan itu bukan lagi gumaman tak jelas. Kali ini, suaranya seperti embusan angin dingin yang merambat langsung ke telinga, membisikkan kata-kata itu dengan kejelasan yang mengerikan: *“Pergi… atau kau akan jadi yang berikutnya…”*

Napas Risa tercekat. Jantungnya berpacu gila-gilaan, memukul-mukul rusuknya seolah ingin keluar. Di tengah kegelapan total, ia merasakan sebuah kehadiran. Lebih dari sekadar hawa dingin, lebih dari sekadar aroma. Ini adalah entitas. Sebuah kehadiran yang menekan, mengunci, membuat bulu kuduknya berdiri. Kevin meremas tangannya dengan kekuatan yang tak biasa, seolah ingin menyalurkan seluruh kekuatannya pada Risa, sekaligus menahan diri agar tidak ambruk.

"Kev…" Risa tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Suaranya hilang, tertelan ketakutan. Keringat dingin membasahi telapak tangan mereka yang saling bertautan, membentuk genangan kecil yang licin.

"Diam," Kevin berbisik, suaranya serak namun tegas. "Jangan bergerak. Jangan bersuara." Ia menarik Risa, mendekatkan tubuhnya, membiarkan punggung mereka bersentuhan. Dalam kegelapan itu, kehangatan tubuh Kevin menjadi satu-satunya jangkar yang Risa punya, satu-satunya hal nyata yang bisa ia rasakan.

Detik-detik berlalu, terasa seperti berjam-jam. Hanya ada suara napas mereka yang memburu, dan detak jantung Risa yang menggila. Aroma melati itu perlahan memudar, digantikan oleh bau apak khas ruangan tua yang lembap. Udara dingin itu tak lagi menusuk, tapi masih menyisakan jejak merinding di kulit. Kehadiran menekan itu juga… menghilang. Atau setidaknya, Risa tidak lagi merasakan penderitaan yang begitu intens.

Kevin perlahan melepaskan cengkeramannya pada tangan Risa. "Kau… kau baik-baik saja?" bisiknya, suaranya sedikit bergetar.

"Aku… aku tidak tahu," Risa akhirnya bisa bicara, meskipun suaranya masih parau. "Aku… aku takut, Kev." Ia tidak pernah merasa setakut ini, bahkan saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah tua ibunya. Ini berbeda. Ini lebih nyata, lebih… intim.

"Aku tahu," Kevin menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Aku juga. Sial. Apa-apaan barusan?" Ia merogoh saku celananya, mencari ponsel. Layar ponselnya menyala, cahayanya yang redup menjadi secercah harapan di tengah kegelapan. Kevin menyalakan senter, mengarahkannya ke sekeliling ruangan.

Ruangan arsip itu terlihat sama, namun entah mengapa terasa berbeda. Lemari-lemari arsip yang menjulang tinggi, kini tampak seperti barisan nisan yang mengerikan. Setiap bayangan yang bergerak karena cahaya senter Kevin, seolah menyimpan makhluk tak kasat mata di dalamnya. Kevin mengarahkan senternya ke arah pintu arsip yang tadi tertutup. Pintu itu memang tertutup rapat, seolah tak pernah terbuka.

"Pintu itu…" Risa menunjuk dengan jari gemetar. "Pintu itu tadi terbuka sedikit, kan?" Kevin mengangguk kaku. Ia juga ingat. Mereka sama-sama melihatnya. Sesuatu atau seseorang telah menutupnya, tepat setelah jam dinding berdentang.

Kevin berjalan mendekati saklar lampu, Risa mengikutinya, bersembunyi di belakang punggungnya. Kevin mengernyit. "Ini aneh. Lampunya seharusnya tidak mati." Ia mencoba menekan saklar itu beberapa kali, tapi lampu neon tetap gelap. "Sepertinya… korslet. Atau mati lampu total." Kevin mencoba lagi menyalakan senternya. Kali ini, senternya berkedip-kedip, lalu mati sepenuhnya. Layar ponselnya juga ikut padam.

"Tidak mungkin," gumam Kevin. "Bateraiku masih penuh." Ia mencoba menyalakan ponselnya berkali-kali, tapi nihil. "Sialan." Suasana di ruangan itu kembali gelap gulita, hanya cahaya remang dari jendela yang menyinari sedikit bagian lantai.

"Apa yang terjadi, Kev?" Risa mencengkeram lengan Kevin. "Ini bukan kebetulan, kan? Bisikan itu… aku mendengarnya. Jelas sekali." Ia menatap Kevin, matanya memancarkan ketakutan yang mendalam.

Kevin menghela napas. Ekspresi skeptisnya perlahan memudar, digantikan oleh kebingungan dan kekhawatiran. "Aku… aku tidak tahu, Ris. Tapi ini… ini benar-benar tidak masuk akal. Lampu mati, ponselku mati, bisikan itu…" Ia menggelengkan kepala, mencoba memproses semua kejadian aneh yang baru saja mereka alami. "Kita harus keluar dari sini." Kevin menarik tangan Risa, berjalan pelan, meraba-raba dinding untuk mencari pintu keluar.

Langkah mereka terasa lambat dan hati-hati. Setiap suara kecil, setiap bayangan yang melintas di pandangan Risa, membuat jantungnya melonjak. Ia merasa seperti ada ribuan mata yang mengawasi mereka dari balik rak-rak arsip. Aroma melati itu kembali datang, samar tapi cukup untuk membuat Risa merinding.

"Tunggu," Risa tiba-tiba berhenti. Kevin menoleh, bingung. "Ada apa?" tanyanya.

"Aku… aku merasa ada sesuatu di sini," Risa berbisik, menunjuk ke arah salah satu rak arsip yang lebih rendah. "Di sana. Seperti… ada sesuatu yang terjatuh." Kevin mendekat, mengarahkan sisa cahaya remang dari jendela ke arah yang Risa tunjuk. Di antara tumpukan arsip yang berserakan di lantai, ada sebuah kotak kecil yang tersembunyi, seolah sengaja diletakkan di sana, atau mungkin baru saja jatuh dari rak.

"Apa itu?" Kevin jongkok, berusaha meraih kotak itu. Kotak itu terbuat dari kayu tua, ukurannya tidak terlalu besar, sekitar sejengkal tangan. Terukir di permukaannya adalah inisial 'A.W.'. Kevin membersihkan debu yang menempel, lalu berusaha membukanya. Kotak itu terkunci.

"Ada kuncinya?" Risa bertanya.

Kevin mencoba mencari di sekitar kotak, tapi tidak menemukan apa-apa. "Tidak ada. Tapi…" Ia membalik kotak itu. Di bagian bawah kotak, terukir sebuah tanggal: 24 Mei 200X. Tahun itu… tahun kematian ibu Risa.

Jantung Risa berdesir. "Itu… itu tahun Ibuku meninggal," bisiknya. Tangannya tanpa sadar memegang liontin kunci kecil di lehernya. Kevin melihatnya, lalu matanya membelalak.

"Liontinmu…" Kevin menunjuk kalung Risa. "Coba pakai itu." Risa terkesiap. Ia tidak pernah berpikir bahwa kunci kecil di liontinnya mungkin memiliki fungsi lain selain perhiasan.

Dengan tangan gemetar, Risa mengambil liontin kuncinya. Ia mencoba memasukkannya ke lubang kunci pada kotak kayu itu. Awalnya terasa longgar, tidak pas. Tapi kemudian, dengan sedikit dorongan, kunci itu masuk. Risa memutar kuncinya. *Klik!* Sebuah suara pelan terdengar, menandakan kotak itu telah terbuka.

Kevin dan Risa saling pandang, napas mereka tertahan. Ini adalah momen yang mendebarkan, seolah mereka akan membuka portal ke masa lalu yang gelap. Kevin mengangkat tutup kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada tumpukan surat-surat yang menguning, sebuah brosur rumah sakit lama, dan sebuah foto polaroid yang sudah pudar.

Kevin mengambil foto itu lebih dulu. Itu adalah foto seorang wanita muda yang tersenyum cerah, menggendong seorang bayi. Risa mengenalinya. Wanita itu adalah ibunya, tapi jauh lebih muda, dan bayi itu… adalah dirinya sendiri.

Di balik foto itu, ada tulisan tangan yang indah, dengan tinta yang sudah memudar: *“Untuk putriku, Risa. Ibunda akan selalu menyayangimu. Jangan pernah percaya apa yang mereka katakan. Rahasia ada di balik cermin.”*

Rahasia ada di balik cermin. Kata-kata itu berputar-putar di benak Risa. Cermin. Cermin besar di ruang tamu rumahnya. Cermin yang selalu ia rasakan memancarkan aura aneh. Cermin yang seolah menatapnya balik, menyimpan sesuatu.

"Apa ini?" Kevin membuka brosur rumah sakit. Itu adalah brosur sebuah rumah sakit jiwa lama di pinggir kota. "Rumah Sakit Jiwa Cahaya Harapan…" gumamnya. "Kenapa ada brosur ini di sini?" Kevin membalik brosur itu. Di bagian belakang, ada tulisan tangan yang sama dengan di foto: *“Dia tidak gila. Dia dijebak.”*

“Dia?” Risa mencengkeram bahu Kevin. “Siapa yang tidak gila? Siapa yang dijebak?” Sebuah firasat buruk merayapi hatinya. Firasat yang terasa sangat nyata. Ini bukan hanya arsip lama. Ini adalah petunjuk. Petunjuk dari ibunya.

Kevin mengeluarkan tumpukan surat dari kotak. Ada beberapa amplop yang sudah tidak bersegel. Kevin menarik salah satu surat yang paling atas. Tulisan tangan di dalamnya berbeda, terlihat lebih rapi dan formal. Kevin mulai membaca dalam hati, matanya bergerak cepat di setiap baris. Semakin ia membaca, ekspresinya semakin tegang. Dahinya berkerut, tatapan matanya semakin gelap.

"Kev… ada apa?" Risa bertanya, merasakan ketegangan yang sama. "Surat apa itu?" Kevin tidak menjawab. Ia terus membaca, seolah tak ada hal lain yang penting di dunia ini. Ketika ia selesai, ia mendongak, menatap Risa dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ris…" Suara Kevin terdengar berat, dipenuhi kejutan dan kemarahan. "Ini… ini adalah surat dari pengacara. Tentang wasiat dan… dan hak asuh." Ia melihat ke arah Risa, lalu kembali menatap surat itu, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. "Ini tentang ibumu. Dan… dan Bibi Lastri."

Risa merasakan darahnya berdesir dingin. Nama Bibi Lastri, walinya, muncul di tengah misteri ini. Selama ini, Bibi Lastri selalu terlihat baik, perhatian, tapi ada sesuatu di matanya yang selalu membuat Risa tak nyaman. Sebuah kebekuan yang tersembunyi di balik senyum ramahnya.

"Apa… apa isinya?" Risa berbisik, takut mendengar jawaban Kevin. Kevin menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Surat ini…" Ia menunjuk sebuah paragraf. "Surat ini menyatakan bahwa ibumu, sebelum kematiannya, telah membuat surat wasiat baru. Dan wasiat itu…" Kevin menelan ludah. "Wasiat itu mencabut hak Bibi Lastri sebagai ahli waris, dan menunjukmu sebagai satu-satunya penerima warisan. Termasuk rumah ini dan semua aset lainnya."

Jantung Risa serasa berhenti berdetak. Ia terhuyung mundur. Jadi… Bibi Lastri selama ini mengincar warisan? Rumah ini? Tapi kenapa? Bukankah Bibi Lastri adalah adik tiri ibunya?

"Dan ini…" Kevin menunjuk paragraf lain, suaranya lebih rendah. "Surat ini juga mencatat bahwa ibumu mengajukan banding untuk hak asuhmu, karena ia merasa Bibi Lastri tidak layak. Ada juga laporan yang menyebutkan bahwa ia merasa terancam, dan ingin mengubah wali asuhmu sebelum… sebelum semuanya terjadi."

*Sebelum semuanya terjadi.* Kata-kata itu menusuk Risa, lebih tajam dari pisau. Ibunya merasa terancam. Oleh siapa? Oleh Bibi Lastri? Jadi kematian ibunya… bukan kecelakaan? Bukan bunuh diri?

Otak Risa berputar, mencoba menyatukan kepingan-kepingan informasi yang tiba-tiba berhamburan. Firasatnya selama ini… bahwa ada yang tidak beres dengan kematian ibunya… itu benar. Rasa curiga terhadap Bibi Lastri… itu juga benar. Bibi Lastri yang selalu tersenyum manis, dengan mata dingin dan bekas luka bakar samar di tangan kanannya yang selalu ia tutupi. Bekas luka itu… kenapa ia selalu menyembunyikannya?

Rasa mual kembali menyerang Risa, lebih kuat dari sebelumnya. Bukan karena kehadiran gaib, tapi karena kebenaran yang baru saja terkuak. Kebenaran yang terasa begitu nyata, begitu menusuk. Kevin meraih tangannya lagi, meremasnya lembut. "Ris… kau tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.

Risa hanya menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Ibuku… dia tidak gila, Kev. Dia dijebak. Dan… dan Bibi Lastri…" Suaranya tercekat. Bisikan itu kembali terngiang di telinganya: *“Pergi… atau kau akan jadi yang berikutnya…”*

Apakah bisikan itu peringatan dari ibunya? Peringatan agar ia pergi, sebelum Bibi Lastri melakukan hal yang sama padanya? Risa menatap foto ibunya yang tersenyum cerah, menggendong dirinya yang masih bayi. Ada kehangatan dan cinta yang begitu besar terpancar dari mata ibunya. Tidak mungkin ibunya gila. Tidak mungkin ibunya bunuh diri.

Sebuah tekad membara di dalam diri Risa, membakar habis ketakutannya. Ia harus mencari tahu. Ia harus mengungkap kebenaran di balik kematian ibunya. Dan ia yakin, cermin besar di ruang tamu itu… adalah kuncinya. Kunci untuk membuka semua rahasia yang tersembunyi, seolah-olah ibunya sendiri yang meninggalkan petunjuk ini untuknya.

"Kita harus pergi dari sini, Ris," Kevin berbisik, menyadari bahaya yang mengintai. "Kita tidak bisa membiarkan siapa pun tahu kita menemukan ini." Ia dengan cepat mengembalikan surat dan foto ke dalam kotak, lalu menutupnya rapat-rapat.

Tiba-tiba, sebuah suara *braaakk!* yang keras terdengar dari lantai bawah, seolah ada sesuatu yang jatuh atau dibanting. Suara itu membuat mereka berdua terkesiap. Kevin dan Risa saling pandang, mata mereka melebar ketakutan. Mereka tidak sendirian di perpustakaan ini. Seseorang sedang berada di lantai bawah.

Siapa itu? Dan apakah orang itu… datang untuk mencari mereka? Atau mencari apa yang baru saja mereka temukan? Kevin dengan cepat meraih kotak kayu itu, menyembunyikannya di balik jaketnya. "Cepat, Ris. Kita harus keluar dari sini. Sekarang!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!