NovelToon NovelToon
Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Cintapertama / Mengubah Takdir / Obsesi / Cinta pada Pandangan Pertama / Fantasi Wanita
Popularitas:57
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21: Dinginnya Malam di Kolong Jembatan

Fatimah gemetar hebat saat jarinya menyentuh salah satu foto di dalam amplop itu, sebuah bukti masa lalu yang bisa menghancurkan sisa-sisa harapannya di hadapan Arfan. Foto itu memperlihatkan sebuah gudang tua yang terbakar habis dengan sosok pria yang sangat ia kenal berdiri di depan kobaran api yang membubung tinggi ke langit.

Udara pagi yang tadinya segar kini terasa menyesakkan paru-paru Fatimah, seolah-olah asap dari masa lalu itu kembali mengepungnya di sini. Ia segera meremas amplop cokelat tersebut dan mendekapnya erat ke dada, tidak membiarkan Arfan melihat isinya sedikit pun walau pria itu sudah melangkah mendekat.

"Fatimah, berikan padaku. Biarkan aku membantumu memeriksa keabsahan dokumen yang dibawa oleh orang jahat itu," ujar Arfan dengan nada bicara yang penuh kekhawatiran.

"Tidak, Tuan Arfan. Ini adalah aib keluarga saya yang tidak boleh menyentuh tangan orang baik seperti Anda," jawab Fatimah dengan suara yang tercekat di tenggorokan.

Arfan tertegun melihat sorot mata Fatimah yang biasanya tenang kini dipenuhi oleh kilatan trauma yang begitu hebat dan mendalam.

Kegaduhan di halaman panti asuhan itu akhirnya mereda setelah mobil Haikal menghilang di balik tikungan jalan yang berdebu dan gersang. Namun, kedamaian yang biasanya menyelimuti tempat itu tidak kunjung kembali karena kecurigaan kini telah menanam akarnya di dalam hati Arfan.

Ibu Sarah mendekat perlahan dan menyentuh bahu Fatimah, mencoba memberikan kekuatan melalui sentuhan tangan seorang ibu yang sangat menyayanginya. Fatimah hanya bisa tertunduk lesu, air matanya jatuh membasahi kain cadar hitamnya hingga menciptakan bercak-bercak basah yang samar-samar terlihat.

"Masuklah ke dalam, Nak. Tenangkan dirimu dan mintalah petunjuk pada Yang Maha Kuasa atas segala ujian ini," bisik Ibu Sarah dengan sangat lembut.

"Saya harus pergi dari sini, Ibu. Kehadiran saya hanya akan membawa petaka bagi anak-anak yang tidak berdosa di panti ini," sahut Fatimah dengan keyakinan yang pahit.

Arfan yang mendengar percakapan itu segera memotong dengan suara yang tegas, menunjukkan sisi keras kepalanya sebagai seorang pembela hukum yang gigih.

"Kau tidak akan pergi ke mana-mana sendirian dalam keadaan seperti ini, Fatimah. Aku tidak akan membiarkanmu menjadi mangsa empuk bagi Haikal di luar sana," tegas Arfan sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Anda tidak mengerti, Tuan Arfan. Mereka bukan hanya mengejar saya, tapi mereka akan menghancurkan siapa saja yang berdiri di dekat saya," balas Fatimah dengan nada putus asa.

"Kalau begitu biarkan mereka mencoba, karena aku sudah terbiasa menghadapi ancaman yang jauh lebih besar daripada sekadar asisten pribadi sombong itu," tantang Arfan.

Meskipun Arfan berkata demikian, Fatimah tetap merasa bahwa malam ini akan menjadi malam terakhirnya berada di bawah atap panti asuhan yang hangat dan penuh kasih. Ia menunggu hingga seluruh penghuni panti terlelap dalam mimpi mereka sebelum ia mengemas sedikit pakaian dan satu-satunya harta yang tersisa ke dalam tas ransel.

Langkah kaki Fatimah terasa sangat ringan dan sunyi saat ia melewati deretan kamar anak-anak yang sedang tidur dengan napas yang teratur dan tenang. Ia berhenti sejenak di depan kamar Ibu Sarah, membisikkan doa perlindungan dan kata maaf yang tidak akan pernah tersampaikan secara langsung melalui lisan.

Pintu pagar bambu berderit pelan saat Fatimah menyelinap keluar, menuju kegelapan malam yang kembali menyambutnya dengan tangan terbuka yang terasa sangat dingin. Ia berjalan menyusuri jalan setapak di pinggir hutan bakau, menghindari jalan raya utama yang mungkin saja sudah dijaga oleh anak buah Haikal yang licik.

Setelah berjalan selama berjam-jam, kelelahan mulai menyerang persendian tubuhnya hingga ia terpaksa mencari tempat berteduh di bawah sebuah konstruksi beton raksasa. Kolong jembatan yang kotor dan berbau sampah itu kini menjadi satu-satunya istana yang tersedia bagi seorang pelarian yang kehilangan arah tujuan hidupnya.

Suara deru mesin kereta api di atas kepala memekakkan telinga, menggetarkan pilar beton tua yang menjadi satu-satunya pelindung Fatimah dari langit malam. Debu beterbangan di antara sorot lampu kendaraan yang melintas di jalan raya sebelah bawah, menciptakan suasana mencekam yang menyesakkan dada.

Fatimah meringkuk di atas tumpukan kardus bekas yang lembap, memeluk kedua lututnya dengan erat demi mencari sisa kehangatan yang mulai menghilang dari tubuhnya. Kain hitam yang menutupi wajahnya sudah kotor oleh abu jalanan, namun ia tidak berani membukanya sedikit pun meski napasnya terasa sangat berat dan sesak.

"Aku tidak boleh kembali ke panti asuhan malam ini, mereka pasti sedang mengintai di sana dengan senjata yang sudah siap siaga," bisik Fatimah dengan suara yang gemetar menahan dingin.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang berat menggesek kerikil di dekat tiang penyangga jembatan, membuat jantung Fatimah seakan berhenti berdetak selama beberapa saat. Seorang pria bertubuh kurus dengan pakaian kumal berdiri tidak jauh dari tempatnya, memegang sebilah kayu berpaku yang terlihat sangat mengancam nyawanya.

"Heii, orang baru ya? Tempat ini sudah ada pemiliknya, jangan sembarang berteduh kalau tidak mau celaka di tanganku!" teriak pria itu dengan nada yang kasar.

Fatimah tersentak, matanya yang lelah kini dipenuhi oleh ketakutan yang nyata saat pria itu mulai melangkah mendekat ke arah tempat persembunyiannya yang sempit.

"Maafkan saya, Pak. Saya hanya butuh tempat istirahat sebentar, saya akan segera pergi setelah matahari terbit nanti," sahut Fatimah sambil mencoba berdiri tegak.

Pria itu tertawa sinis, memperlihatkan deretan gigi yang menghitam di balik cahaya lampu jalan yang remang-remang dan terus berkedip secara tidak beraturan.

"Besok pagi? Peraturan di kolong jembatan ini tidak seperti itu, cantik. Serahkan tas yang kau peluk itu sekarang atau aku yang akan mengambilnya secara paksa!" ancam pria itu.

Fatimah mundur perlahan hingga punggungnya menempel pada beton jembatan yang sedingin es, tangannya mendekap erat tas ransel kecil yang berisi seluruh rahasia berdarah masa lalunya. Pria kumal itu tidak peduli, dia justru merangsek maju dan mencoba menarik tali tas ransel tersebut dengan sekuat tenaga hingga tubuh Fatimah terpelanting.

"Jangan, Pak! Tolong jangan ambil tas ini, saya tidak punya apa-apa lagi yang berharga di dunia ini!" pinta Fatimah dengan isak tangis yang tertahan.

Perlawanan Fatimah justru membuat pria itu semakin beringas, ia mengayunkan kayu berpakunya ke udara sebagai ancaman terakhir yang membuat nyali Fatimah hampir menciut sepenuhnya. Namun, sebelum kayu itu mendarat di tubuh Fatimah, sebuah bayangan besar tiba-tiba muncul dari balik pilar beton dan menangkap pergelangan tangan pria tersebut dengan sangat kuat.

"Sentuh dia lagi, maka kau akan menghabiskan sisa malam ini di balik jeruji besi dengan tulang yang patah!" ancam sebuah suara yang sangat Fatimah kenali.

Fatimah mendongak dan melihat Arfan berdiri di sana dengan wajah yang memerah karena amarah, sementara napasnya memburu seolah habis berlari mengejar sesuatu yang sangat jauh. Pria kumal itu gemetar melihat tatapan mata Arfan yang begitu mengerikan, ia segera melepaskan tas Fatimah dan lari terbirit-birit menghilang ke dalam kegelapan lorong.

Arfan tidak mengejar pria itu, ia justru berlutut di depan Fatimah dan memeriksa keadaan wanita itu dengan tangan yang tampak gemetar karena rasa takut yang hebat.

"Mengapa kau melakukan ini, Fatimah? Apakah kau benar-benar ingin mati konyol di tempat seperti ini?" tanya Arfan dengan suara yang pecah oleh emosi.

"Bagaimana Anda bisa menemukan saya di tempat terpencil seperti ini, Tuan Arfan?" tanya Fatimah tanpa menjawab pertanyaan pria itu sebelumnya.

"Aku tidak pernah benar-benar tidur, Fatimah. Aku memasang alat pelacak kecil di tas ranselmu saat kau sedang sibuk berpamitan pada anak-anak panti tadi sore," aku Arfan.

Fatimah terdiam, ia merasa marah karena privasinya dilanggar, namun di saat yang sama ia merasa lega karena tidak harus menghadapi kegelapan malam ini sendirian lagi.

Arfan membantu Fatimah untuk berdiri, meskipun wanita itu tetap berusaha menjaga jarak fisik agar tidak terjadi sentuhan yang tidak seharusnya di antara mereka berdua. Dinginnya malam di kolong jembatan itu seolah mulai mencair saat Arfan melepaskan jaketnya dan menyampirkannya ke bahu Fatimah yang masih menggigil kedinginan.

"Ayo kita pergi dari sini, panti asuhan bukan lagi tempat yang aman bagi kita berdua, dan aku sudah menyiapkan tempat lain untukmu," ujar Arfan.

"Tempat apa? Saya tidak ingin melibatkan Anda lebih jauh lagi ke dalam pusaran masalah keluarga saya yang sangat rumit ini," tolak Fatimah secara halus.

"Ini bukan lagi soal masalah keluargamu saja, tapi ini soal nyawa yang sedang terancam dan kebenaran yang harus segera kita ungkap bersama-sama," balas Arfan.

Arfan menuntun Fatimah menuju mobilnya yang diparkir agak jauh dari jembatan, namun langkah mereka kembali terhenti saat mendengar suara langkah kaki yang seirama. Dari balik bayangan pilar beton yang lain, muncul sekelompok pria berpakaian hitam dengan senjata api yang sudah terkokang sempurna mengarah tepat ke jantung mereka.

"Permainan petak umpet ini sudah selesai, Tuan Pengacara. Serahkan wanita itu dan dokumennya sekarang juga jika Anda masih ingin bernapas," teruar salah satu dari mereka.

Fatimah merasakan dingin yang lebih dahsyat daripada angin malam merambat naik ke punggungnya saat ia melihat moncong senjata yang mengkilap tertimpa cahaya lampu jalan raya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!