Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Langkah ke Dunia yang Lebih Luas"
Keputusan itu tidak datang dalam ledakan emosi atau perdebatan panjang. Ia datang pelan, seperti hujan yang turun tanpa suara keras—namun cukup untuk mengubah udara.
Pagi itu, Alya duduk di meja makan dengan map cokelat di hadapannya. Isinya sederhana: formulir pendaftaran, fotokopi dokumen, dan brosur kampus yang warnanya mulai pudar karena terlalu sering ia buka-tutup. Tangannya berhenti di sudut kertas, seolah takut melangkah lebih jauh.
Zavian berdiri di dekat jendela, memeriksa ponselnya sebentar sebelum meletakkannya kembali. Ia memperhatikan Alya dari pantulan kaca. Bukan dengan curiga, bukan dengan rasa ingin menguasai—melainkan dengan kewaspadaan yang lembut.
“Aku sudah putuskan,” kata Alya akhirnya.
Zavian menoleh. “Tentang kuliah?”
Alya mengangguk. “Aku ingin mulai semester depan.”
Tidak ada reaksi berlebihan. Tidak ada tarikan napas berat atau ekspresi keberatan. Zavian hanya mendekat dan duduk berhadapan dengannya.
“Kamu sudah yakin?” tanyanya.
“Yakin,” jawab Alya. “Takut juga. Tapi yakin.”
Zavian tersenyum tipis. “Takut itu wajar. Kalau kamu tidak takut sama sekali, justru aku yang khawatir.”
Alya tertawa kecil—tawa yang masih terdengar asing di telinganya sendiri, tapi nyata. “Aku ingin melakukannya sebagai diriku sendiri. Bukan sebagai bayangan siapa pun.”
Zavian mengangguk pelan. “Itu hakmu.”
Jawaban itu sederhana, tapi maknanya besar. Alya merasakannya—seperti sebuah pintu yang akhirnya dibuka tanpa syarat tersembunyi.
---
Proses persiapan berjalan lebih cepat dari yang Alya bayangkan. Bukan karena tergesa-gesa, tapi karena Zavian tahu bagaimana mengatur hal-hal praktis tanpa membuatnya merasa dikendalikan.
Ia tidak memilihkan jurusan. Tidak mengatur jadwal. Tidak memaksanya masuk kampus tertentu.
“Tugasku hanya memastikan kamu aman,” kata Zavian suatu malam. “Bukan menentukan hidupmu.”
Keamanan, tentu saja, menjadi pembahasan yang tidak bisa dihindari. Alya tidak naif. Ia tahu dunia Zavian bukan dunia yang sederhana.
“Aku tidak mau dikawal seperti pejabat,” kata Alya tegas.
“Kamu tidak akan,” jawab Zavian. “Tapi kamu juga tidak akan sendirian.”
Akhirnya mereka sepakat: Alya akan terlihat seperti mahasiswa biasa. Tidak ada pengawal yang menempel. Hanya satu mobil yang selalu berada di radius aman, satu nomor yang bisa ia hubungi kapan saja, dan satu aturan yang tidak bisa ditawar—Alya harus selalu memberi kabar jika jadwalnya berubah.
Itu bukan penjara. Itu kompromi.
---
Hari pertama kuliah datang lebih cepat dari yang Alya harapkan.
Ia berdiri di depan cermin, mengenakan pakaian sederhana: kemeja longgar, celana panjang, tas punggung. Tidak ada yang menandakan bahwa ia adalah istri dari pria yang namanya membuat banyak orang menahan napas.
Zavian berdiri di ambang pintu kamar, memperhatikannya tanpa komentar berlebihan.
“Kamu kelihatan seperti mahasiswa,” katanya.
“Aku memang mahasiswa,” jawab Alya, kali ini tanpa ragu.
Di perjalanan, Alya lebih banyak diam. Ia menatap jalanan, gedung-gedung, orang-orang yang berjalan dengan tujuan masing-masing. Dunia ini terasa luas—dan untuk pertama kalinya, ia merasa menjadi bagian kecil yang sah di dalamnya.
Zavian menurunkannya agak jauh dari gerbang kampus.
“Kamu yakin tidak mau aku antar sampai depan?” tanyanya.
Alya menggeleng. “Sampai sini cukup.”
Zavian mengangguk. “Telepon kalau kamu butuh apa pun.”
Alya membuka pintu, lalu berhenti sejenak. “Terima kasih,” katanya. “Bukan cuma karena mengizinkan. Tapi karena mempercayai.”
Zavian menatapnya lama. “Kepercayaan itu bukan hadiah. Itu keputusan. Dan aku memilihnya.”
Alya turun dari mobil dengan langkah yang masih ragu, tapi tidak lagi berat.
---
Kampus tidak ramah, tapi juga tidak kejam. Ia hanya netral—dan bagi Alya, itu sudah lebih dari cukup.
Ia duduk di kelas, mencatat, mendengarkan dosen, berkenalan dengan beberapa mahasiswa lain. Tidak ada yang tahu siapa suaminya. Tidak ada yang peduli. Ia hanya Alya—mahasiswi baru yang masih canggung dan terlalu sering berpikir.
Di sela-sela kelas, Alya duduk di taman kampus, membuka bekal sederhana yang ia bawa. Ia memperhatikan orang-orang tertawa, berdiskusi, berdebat tentang hal-hal kecil dan besar.
Untuk pertama kalinya, hidup tidak terasa ditentukan oleh orang lain.
Namun kebebasan itu tidak sepenuhnya tanpa bayangan. Ada momen ketika Alya merasa diawasi—bukan secara nyata, tapi sebagai refleks dari kehidupan sebelumnya. Ia belajar membedakan mana ketakutan yang masuk akal, dan mana yang hanya sisa dari masa lalu.
Setiap sore, Zavian menjemputnya di titik yang sama.
“Bagaimana hari ini?” tanyanya, selalu dengan nada yang sama.
“Capek,” jawab Alya jujur. “Tapi menyenangkan.”
Zavian tersenyum. “Itu kombinasi yang bagus.”
---
Malam-malam mereka kini diisi cerita kampus—tentang dosen yang membingungkan, tugas yang menumpuk, teman baru yang terlalu cerewet. Zavian mendengarkan, tidak menyela kecuali diminta.
Ia menyadari sesuatu: Alya berubah.
Bukan menjadi orang lain, tapi menjadi dirinya sendiri—lebih berani, lebih berpendapat, lebih hidup.
Suatu malam, Alya berkata, “Aku takut kamu akan berubah pikiran.”
Zavian menoleh. “Tentang apa?”
“Tentang membiarkanku terus di dunia ini.”
Zavian menghela napas. “Alya, dunia ini bukan ancaman bagiku. Justru aku ingin kamu punya sesuatu yang bukan tentang aku.”
Alya menatapnya lama. “Kamu tidak takut kehilanganku?”
Zavian menjawab tanpa ragu, “Aku lebih takut melihatmu layu karena tidak pernah diberi ruang.”
Jawaban itu membuat Alya terdiam. Bukan karena sedih, tapi karena lega.
---
Hari-hari berlalu. Alya semakin terbiasa. Ia mulai berjalan lebih cepat, berbicara lebih mantap, tertawa lebih lepas. Ia masih istri Zavian—tapi itu bukan lagi satu-satunya identitasnya.
Dan Zavian? Ia belajar bahwa mencintai tidak selalu berarti berdiri paling dekat. Kadang, cinta berarti berdiri cukup jauh untuk tidak menghalangi langkah orang yang kita jaga.
Suatu sore, saat matahari turun perlahan di balik gedung kampus, Alya berkata pelan di dalam mobil, “Aku senang kamu mengizinkanku tumbuh.”
Zavian menjawab tenang, “Aku tidak mengizinkan. Aku menemani.”
Dan di situlah mereka—bukan sebagai penguasa dan yang dikuasai, bukan sebagai pelindung dan yang dilindungi sepenuhnya, melainkan dua orang dewasa yang memilih berjalan berdampingan.
Pelan. Sadar. Dan dengan arah yang semakin jelas.