NovelToon NovelToon
Naura, Seharusnya Kamu

Naura, Seharusnya Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Menikah Karena Anak
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Fega Meilyana

"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"

***

"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."

***

Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kesedihan Bani

Rumah itu masih sama.

Lampu teras masih menyala redup. Sepatu Rania masih terletak rapi di rak. Bahkan aroma sabun mandi yang biasa dipakai istrinya masih menggantung di udara.

Tapi malam itu, rumah terasa asing.

Bani membuka pintu perlahan. Tidak ada suara langkah kaki kecil Rania yang biasanya menyambut. Tidak ada suara lembutnya bertanya, “Mas capek?”

Sunyi.

Bani menutup pintu, menyandarkan punggungnya di sana. Dadanya terasa sesak, seolah udara di rumah itu tak lagi cukup.

Ia melangkah masuk.

Ruang tamu gelap. Ia tidak menyalakan lampu. Tangannya gemetar saat menggantungkan kunci. Matanya menangkap sofa tempat Rania biasa duduk sambil memijat punggungnya sepulang kerja.

“Kamu di mana, Ran…” gumamnya pelan.

Tak ada jawaban.

Langkahnya berat menuju kamar.

Pintu kamar terbuka—ranjang itu masih rapi. Bantal Rania masih berada di sisi kiri, sisi yang selalu ia isi. Bani berdiri lama di ambang pintu, tak sanggup melangkah masuk.

Ia duduk di tepi ranjang.

Tangannya meraih bantal itu tanpa sadar. Dipeluknya erat. Wangi Rania masih ada.

Dan saat itulah—pertahanannya runtuh.

Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah. Bahunya bergetar hebat. Nafasnya tersengal, seperti orang yang baru saja tenggelam lalu dipaksa bernapas.

“Aku belum siap…” suaranya pecah. “Aku belum siap kehilangan kamu…”

Ia teringat wajah Rania di ruang operasi. Suaranya yang lemah tapi tegas. “Selamatkan anak kita, Mas.”

Bani menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Kamu egois, Ran…” katanya lirih, di sela tangis. “Kamu pergi dan ninggalin aku sendirian.”

Jam dinding berdetak pelan. Setiap detiknya terdengar kejam.

Bani rebah di sisi ranjang, sisi kanan—tempat ia biasa tidur. Tangannya terulur ke sisi kiri, menyentuh kasur yang dingin.

Kosong.

“Naura…” gumamnya. “Papa harus kuat buat kamu… tapi malam ini… Papa capek.”

Pikirannya melayang ke rumah sakit. Bayinya masih terbaring di NICU. Kecil. Rapuh. Berjuang sendirian.

Seperti dirinya malam itu.

Bani bangkit, berjalan ke kamar bayi yang belum sempat terisi tawa. Tempat tidur bayi masih bersih. Mainan belum pernah disentuh. Ia menempelkan kening ke pagar ranjang kecil itu. “Maafin Papa kalau Papa lemah malam ini,” bisiknya. “Besok Papa akan kuat. Demi kamu.”

Ia kembali ke kamar, mematikan lampu, dan berbaring dalam gelap.

Malam itu, Bani tidur tanpa pelukan Rania untuk pertama kalinya—dan untuk pertama kalinya pula, ia menyadari, rumah bukan lagi tempat pulang. Melainkan tempat kenangan yang terlalu menyakitkan untuk dihuni.

***

Keesokan harinya, Bani kembali ke rumah sakit. Langkahnya berat menuju NICU.

Di balik kaca, Naura terbaring kecil, dikelilingi selang dan alat medis. Tubuhnya mungil, rapuh—namun bernapas.

“Ini anak kita, Ran,” bisik Bani. “Aku harus kuat… tapi aku gak tahu caranya.”

Saat itu, langkah pelan terdengar di belakangnya.

Bani menoleh.

Laras.

Ia berdiri dengan Ameera di sampingnya. Wajah Laras pucat, matanya sembab—jelas ia juga belum pulih dari duka. “Aku cuma mau lihat Naura,” ucap Laras pelan. “Kalau Mas Bani keberatan—”

“Tidak,” potong Bani cepat.

“Silakan.”

Beberapa saat kemudian, perawat keluar membawa Naura—untuk jadwal gendong singkat.

“Siapa yang mau menggendong?” tanya perawat.

Bani hendak melangkah… tapi kakinya terasa lemah. Tangannya gemetar.

Tanpa sadar, Laras maju satu langkah. “Boleh… saya?” tanyanya ragu.

Bani menatap Laras lama. Ada keraguan. Ada rasa asing. Tapi juga ada sesuatu—kepercayaan yang tak bisa dijelaskan.

“Iya,” jawab Bani akhirnya. “Tolong.”

Naura dipindahkan perlahan ke pelukan Laras.

Begitu tubuh kecil itu menyentuh dadanya, Laras terisak. “Ya Allah…” suaranya pecah.

“Hai, Nak… aku Laras.”

Ameera berdiri di sampingnya, menatap kagum. “Adik kecil,” bisiknya. "Ini kakak Ameera."

Ajaibnya, Naura yang tadi gelisah mendadak tenang. Tangis kecilnya berhenti. Nafasnya teratur.

Bani membeku.

Ia menatap pemandangan itu—Laras memeluk Naura dengan penuh kasih, tanpa canggung, tanpa jarak. Seolah naluri keibuannya menyala begitu saja.

Air mata Bani jatuh.

Bukan karena cemburu.

Bukan karena marah.

Melainkan karena satu kalimat Rania terngiang di kepalanya, “Kalau suatu hari aku gak ada, Mas… jaga anak kita dengan orang yang bisa mencintainya sepenuh hati.”

Bani memejamkan mata. "apa ini yang kamu maksud Ran?"

Untuk pertama kalinya sejak kepergian Rania, ia merasakan sesuatu yang lain selain hancur—sebuah rasa hangat yang menakutkan.

Bukan karena ia siap. Melainkan karena takdir mulai berjalan… tanpa menunggu hatinya pulih.

***

Malam itu ruang NICU terasa lebih dingin dari biasanya.

Bani duduk sendiri di bangku panjang, kedua tangannya saling menggenggam, pandangannya kosong menatap pintu kaca tempat Naura terbaring di balik inkubator.

Anaknya.

Darah dagingnya dan Rania.

Tangis kecil Naura terdengar sayup—lemah, tapi konsisten. Seperti memanggil. Seperti menuntut sesuatu yang tidak bisa ia beri.

Bani memejamkan mata. "Maaf… Papa belum bisa apa-apa."

Bayangan Rania hadir begitu saja. Senyumnya. Caranya menatap Bani dengan penuh keyakinan—seolah ia tahu hidup akan memisahkan mereka lebih cepat dari yang seharusnya.

“Mas… kalau suatu hari aku gak ada…”

Dadanya terasa diremas.

“Aku masih di sini, Ran,” bisiknya. “Aku masih suamimu.”

Tapi suara tangis itu kembali terdengar.

Lebih kencang.

Lebih lama.

Bani berdiri, mendekat ke kaca. Tangannya menempel di permukaan dingin. “Papa ada di sini, Nak…” suaranya gemetar. “Tapi Papa gak tahu caranya.”

Ia teringat Laras.

Cara Naura tenang saat digendongnya. Cara tangan Laras mengelus punggung kecil itu—lembut, sabar, penuh naluri seorang ibu.

Dan di situlah rasa bersalah menghantamnya.

"Apa aku mengkhianati Rania hanya dengan memikirkan itu?'

Bani menggeleng kuat. “Tidak,” katanya lirih. “Aku hanya… seorang ayah yang takut.”

Takut gagal.

Takut Naura tumbuh tanpa kehangatan seorang ibu.

Takut suatu hari nanti Naura bertanya, ‘Papa, kenapa Mama nggak ada?’

Dan ia tidak punya jawaban selain air mata.

Bani duduk kembali. Kepalanya tertunduk.

“Aku janji setia sama kenanganmu, Ran,” ucapnya pelan. “Aku jaga namamu. Aku simpan cintamu.”

Ia menelan ludah. “Tapi aku juga janji akan menjaga anak kita.”

Tangis Naura mereda perlahan. Entah karena lelah.

Atau karena ia sudah tahu—di luar sana, ayahnya sedang berperang dengan dirinya sendiri.

Malam itu, Bani sadar, Setia pada kenangan Rania adalah kehormatan. Tapi memenuhi kebutuhan Naura adalah tanggung jawab.

Dan ia harus memilih jalan yang akan membuatnya hidup dengan rasa bersalah—atau hidup dengan penyesalan.

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Untuk pertama kalinya sejak Rania pergi, Bani menangis tanpa suara. Bukan karena kehilangan istri.

Tapi karena ia tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan yang akan mengubah segalanya.

***

Lorong NICU itu selalu terasa dingin. Bukan karena suhu ruangan, tapi karena sunyi yang tak bisa diisi siapa pun. Bani duduk di bangku besi di depan kaca NICU. Tatapannya kosong, lurus ke arah inkubator kecil tempat Naura terbaring. Tubuh mungil itu dibalut selang dan kabel, napasnya naik turun dengan bantuan mesin.

Anaknya hidup. Istrinya tidak.

Langkah kaki pelan terdengar. “Assalamu’alaikum,” suara Nafisah lirih.

Bani menoleh sekilas. Matanya merah, cekung, seolah belum tidur berhari-hari. “Wa’alaikumussalam.”

Zaki berdiri di sampingnya, menepuk bahu sepupunya pelan. “Gimana Naura?”

“Stabil,” jawab Bani singkat. “Masih di NICU.”

Nafisah mendekat ke kaca, matanya berkaca-kaca melihat bayi sekecil itu. “Ya Allah… Ran,” bisiknya nyaris tak terdengar.

Beberapa detik berlalu tanpa kata. Akhirnya Nafisah duduk di samping Bani.

“Kamu belum pulang?” tanyanya hati-hati.

Bani menggeleng. “Aku takut rumah itu terlalu sunyi.”

Zaki menunduk. Ia tahu sunyi seperti apa yang dimaksud Bani—sunyi yang biasanya diisi suara istri, langkah kaki, dan tawa kecil yang kini hanya tinggal ingatan.

Nafisah menarik napas panjang. “Ban…” suaranya bergetar. “Aku perlu bilang sesuatu. Dan mungkin ini berat.”

Bani menoleh perlahan. “Waktu di pesantren,” lanjut Nafisah, “Rania cerita banyak. Tentang firasatnya.”

Bani mengerutkan kening. “Firasat apa?”

“Bahwa dia mungkin tidak akan lama,” ucap Nafisah dengan mata basah. “Dan kalau itu terjadi… dia ingin Naura tidak tumbuh tanpa kasih seorang ibu.”

Bani menegang.

Nafisah menunduk, lalu berkata pelan, seolah takut melukai luka yang sudah terbuka. “Rania menyebut satu nama… Laras.”

Nama itu menggema di dada Bani. “Aku tau,” Nafisah cepat-cepat menambahkan, “ini terdengar kejam. Tidak adil. Tapi ini bukan keinginan sembarangan, Ban. Cara Rania bicara… itu seperti seseorang yang sedang berpamitan.”

Bani menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku berjanji sama Rania,” suaranya parau, “aku akan setia pada kenangannya. Aku bahkan belum bisa menerima kenyataan dia pergi.”

Zaki ikut bicara, suaranya tenang tapi tegas. “Dan kamu tidak salah. Kesetiaan itu mulia.”

Ia menatap inkubator. “Tapi Naura juga tidak salah kalau nanti ia membutuhkan kehangatan yang tidak bisa diberikan oleh seorang ayah sendirian.”

Bani terdiam lama.

Air mata jatuh di sela jemarinya. “Aku merasa bersalah,” katanya lirih. “Bersalah kalau aku memikirkan perempuan lain. Bersalah kalau aku membiarkan anakku tumbuh tanpa ibu.”

Nafisah menggenggam tangan Bani. “Rania mencintaimu,” katanya lembut. “Dan justru karena itu, dia memikirkan masa depan anaknya… bahkan saat dirinya sendiri belum tentu selamat.”

Bani mengangkat wajahnya. Matanya dipenuhi luka dan kebingungan. “Aku belum siap,” katanya jujur. “Aku belum siap kehilangan Rania sepenuhnya.”

Zaki mengangguk. “Tidak ada yang memintamu siap sekarang.”

Ia berdiri, menepuk bahu Bani. “Tapi jangan menutup pintu hati terlalu rapat, Ban. Kadang, orang yang kita cintai meninggalkan amanah… bukan untuk dilupakan, tapi untuk diteruskan.”

Nafisah kembali menatap Naura di balik kaca. “Naura akan tumbuh,” katanya lirih. “Dan suatu hari dia akan bertanya… siapa yang memeluknya saat ia menangis. Siapa yang menghangatkannya saat ia ketakutan.”

Bani mengikuti pandangannya.

Di balik kaca, dada kecil Naura naik turun pelan.

Di sana, hidup baru menunggu keputusan yang tak pernah ia minta.

Dan di dalam dada Bani, janji pada Rania bertabrakan dengan kebutuhan anaknya—dua cinta yang sama-sama suci, namun menuntut arah yang berbeda.

1
Anak manis
😍
cutegirl
😭😭😭
anakkeren
authornya hebat/CoolGuy/
just a grandma
nangis bgt/Sob/
cutegirl
plislah nangis bgt ini/Sob/
anakkeren
siapa si authornya, brani memporakan hatiku dgj ceritanya😭
just a grandma
nangis banget😭
cutegirl
bagus laras💪
just a grandma
sedihnya sampe sini /Sob/
just a grandma
kasian laras, ginggalin aja si rendra
anakkeren
kasian laras
just a grandma
suka sm ceritanyaaa
anakkeren
kapan kisah nauranya kak?
Fegajon: nanti ya. kita bikin ortunya dulu biar nanti ceritanya enak setelah ada naura
total 1 replies
anakkeren
lanjut
just a grandma
raniA terlalu baik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!