Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IF YOU KNOW, YOU KNOW
Setiap hentakan langkah kaki Rendra menggema di lorong rumah sakit, meredam semua kebisingan yang terjadi di ruang Unit Gawat Darurat yang riuh ramai oleh pasien. Setiap nafasnya serasa begitu berat setiap kali matanya mengamati di setiap sudut ruangan. Jantungnya berdentum-dentum seperti hendak meledak saat tidak menemukan yang tengah ia cari.
Ruangan itu semakin menyesakkan, semakin membuat Rendra kelimpungan, dunia seperti berputar cepat di sekitarnya, ada yang bergelung di dalam perutnya, sekuat tenaga ia berusaha menahannya. Setidaknya sampai ia menemukan sosok yang dikabarkan baru saja mengalami kecelakaan.
"Pak ... Pak ...."
Akhirnya ada orang yang memperhatikan Rendra. Tampak dari pakaiannya sepertinya ia adalah perawat UGD. Melihat kedatangan Rendra yang terburu-buru dengan nafas tersengal-sengal, jelas ia tahu bahwa pria itu sedang kalut.
"Pak!" sang perawat menepuk bahu Rendra, menyadarkannya dari cemas yang berlebihan.
"Saya mencari istri saya. Dia kecelakaan." Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya meski ia belum ditanya. Memang yang ada di dalam hati dan pikirannya hanya ada istrinya, istrinya, dan istrinya.
"Ners, saya sedang mencari istri saya," racaunya dengan raut gelisah, pandangannya masih mengedar ke seluruh ruangan. Mencari-cari sosok istrinya.
"Baik, Pak ... mari ikut saya, tadi memang ada pasien kecelakaan. Di bagian administrasi ada pihak polisi, bapak harus konfirmasi dulu identitas pasien di bagian administrasi." Perawat meraih lengan Rendra, percuma untuk menenangkan pria yang sedang dalam kondisi seperti ini. Namun, dengan profesional ia menuntun Rendra ke bagian administrasi. Seperti yang dikatakan oleh perawat itu, ada dua orang polisi yang sedang berdiri di sana.
"Saya cari istri saya, di mana dia sekarang?!" Kesabaran Rendra benar-benar hampir habis.
"Bapak tenang dulu, saya Hengky, kepala satuan—" belum sempat polisi tersebut mengenal dirinya, Rendra sudah menyela omongannya.
"Saya butuh istri saya, saya tidak peduli siapa anda!"
Hengky melihat kekhawatiran luar biasa terpapar jelas dari mata Rendra. Percuma menjelaskan untuk saat ini. Pria ini keras kepala dan tidak mudah dihadapi.
"Apakah benar nama istri bapak adalah Vanya Anantari?"
Mendengar nama Vanya disebutkan jantung Rendra berdegup dengan kencang, saking kencangnya ia merasa nyeri tapi bisa menahannya. Rendra berusaha menguatkan dirinya, ia mengepalkan tangan sekuat tenaga di samping tubuhnya.
"Ya! Dimana istri saya, bagaimana kondisinya?"
"Istri bapak saat ini sedang menjalani operasi, kami harus segera melakukan tindakan agar nyawanya dapat diselamatkan."
Darah berdesir di sekujur tubuh Rendra, lututnya terasa lemas seketika, tapi ia adalah Rendra Adiatmaharaja. Menunjukkan kelemahan bukan trope kehidupannya.
"Dimana ruang operasi?"
Rendra berhasil menguasai kendali dirinya, ia menghela nafas perlahan untuk mengatur pernafasannya meski pikiran kalutnya enggan meninggalkan dirinya.
Perawat dengan sabar menjelaskan terkait kondisi Vanya saat ini, perempuan itu mengalami fraktur tulang rusuk yang membuat patahan rusuknya menusuk ke area paru-paru sehingga harus segera dioperasi karena pendarahan yang dialami dan Vanya mengalami gegar otak berat akibat benturan kepala.
Setelah mendapat penjelasan dari perawat rumah sakit, Rendra segera berlari menuju ke ruang tunggu operasi. Napasnya terengkah, seolah setiap tarikan udara pun terasa tidak cukup untuk meredam ketakutan yang merayap naik dari dadanya. Setiap langkahnya disertai dengan doa yang ia panjatkan diam-diam dalam hatinya.
Nama sang istri berputar di bibirnya, lirih dan patah, seakan hanya dengan menyebutnya ia bisa menjaga perempuan itu tetap berada di sini. Rendra berjalan semakin cepat, hampir berlari, dibakar cemas yang menjerat tenggorokannya.
Langkahnya terhenti saat ia mencapai tepat di depan pintu, Rendra tahu inilah batasnya, ia tidak bisa masuk lebih dalam meski sangat menginginkannya. Nafasnya masih terengah, sampai akhirnya air mata meleleh melalui wajahnya. Rendra roboh dalam ketidakberdayaannya, di depan pintu itu terduduk di atas dua kakinya. Tubuhnya bergetar hebat karena tangis yang luar biasa menyesakkan.
Ketakutan benar-benar merayap, menyelimuti tubuhnya, tidak membiarkannya lepas dari jerat rasa gentar yang menggerogoti hatinya. Berkali-kali ia kehilangan dalam hidupnya, tapi ia tidak pernah merasa terbiasa. Ia takut ... sungguh takut jika ia tidak lagi bisa memandang wajah ayu sang istri saat sedang tersenyum.
Bagaimana jika dirinya gagal?
Bagaimana jika ia juga kehilangan Vanya?
Apakah tidak cukup mengambil ibu dan orang yang sangat ia percayai? Sekarang pun harus Vanya?
Ia tidak siap. Tidak akan pernah siap. Ia tidak akan pernah sanggup jika harus mengalami kehilangan lagi.
Setiap detik begitu menyiksa Rendra. Jantungnya seperti ditusuk ribuan jarum tiap waktunya. Tunduk dirinya di hadapan takdir, tapi matanya tak menyiratkan kepasrahan, ia masih berusaha mendobrak pintu Tuhan.
Selama ini ... ia jauh dari Tuhan ... selama ini ia marah terhadap Tuhan, ia marah karena Tuhan selalu mengambil orang-orang disekitarnya dan membiarkannya hidup dalam dendam—dendam terhadap ayahnya dan dendam terhadap orang-orang yang menyingkirkan Abimanyu.
Rendra tidak pernah berpikir bahwa doa akan membuat kehidupannya lebih baik. Harapan selalu menjadi pilihan akhirnya dalam menjalani kehidupan yang tidak adil ini. selama beberapa saat ia benar-benar melupakan keberadaan Tuhan.
Hingga nama Vanya Anantari disebutkan di gerbang menuju kematian, hatinya pun tergerak kembali untuk merangkak kembali pada Tuhan. Menggunakan bibirnya yang selalu penuh dengan noda ia menggaungkan nama Vanya Anantari, memohon pada Tuhan agar menutup gerbang kematian untuk Vanya saat ini. Menggunakan tangan kotornya, ia berusaha mendobrak kuasa Tuhan, memaksa agar tiap untaian doanya didengarkan oleh Yang Maha Kuasa.
"Dia tidak bersalah ...," lirihnya di akhir untaian doanya. "Dia tidak bersalah, Ya Tuhan." Begitu Rendra sangat frustasi. "Jika ini hukumanku, bebaskan dia ...." Suaranya hanya terdengar selaras dengan hembusan nafas, hampir tak memiliki volume. "Biar nyawaku sebagai ganti hidupnya," Bibirnya kering oleh doa, tapi Rendra tidak pernah putus menyambung setiap katanya.
Air mata itu pun bak air bah, tak kering meski Rendra tidak lagi terisak. Sorot matanya kini hanya tertuju pada pintu yang tertutup rapat itu, pintu yang menjadi batas antara dirinya dan Vanya. Setiap detik begitu menyiksanya, seolah dirinya berada di pinggir jurang yang di bawahnya adalah bebatuan tajam.
"Selamatkan dia ...." Lagi ia berbisik dengan suara yang nyaris tenggelam oleh kesunyian.
"Kumohon selamatkan dia ...."
**
Tujuh jam berlalu.
Pintu ruang operasi terbuka. Seseorang dengan pakaian khusus untuk ruang operasi itu terkejut melihat sosok pria sedang terduduk di atas dua kakinya dengan kepala menengadah menatap ruang pintu operasi dengan mata yang lelah. Dokter itu bertanya-tanya sejak kapan pria itu ada di sana, operasi yang ia lakukan berjalan cukup lama, apakah selama itu? Ini pertama kalinya ia menemui penunggu pasien terlihat sangat frustrasi seperti ini.
"Bagaimana kondisi istri saya, dokter?" Rendra perlahan bangkit, dibantu oleh dokter penanggung jawab operasi. Di lututnya terasa nyeri luar biasa karena tertekut berjam-jam. Bibirnya pun mengering karena tidak setetes air pun ia minum sejak terduduk di depan ruang operasi.
"Operasinya berlangsung dengan baik, Pak. Perdarahan di area paru sudah berhasil kami kendalikan, begitu juga fraktur pada tulang kakinya sudah kami operasi. Saat ini pasien berada dalam masa kritis yang sangat menentukan. Jika kondisi vitalnya stabil sepanjang malam dan tidak muncul komplikasi tambahan, peluangnya untuk memasuki fase pemulihan akan meningkat secara signifikan."
Hembusan nafas lega itu pun lolos dari pernafasan Rendra, meski tidak sepenuhnya membuat hatinya tenang, setidaknya, ya, setidaknya doa yang sedari tadi ia panjatkan tidaklah sia-sia. Masih ada kesempatan untuk hidup adalah yang terpenting untuk saat ini.
"Apakah saya bisa menemuinya, dok?"
"Untuk saat ini pasien akan kami pindahkan ke ruang ICU agar dapat dipantau secara ketat. Setelah semua prosedur awal di ICU selesai, Anda akan diizinkan untuk menjenguknya."
"Baiklah, baiklah, yang terpenting dia selamat ...," lirihnya. "Terima kasih dokter."
"Baik, Pak. Sepertinya anda juga harus beristirahat. Bukan untuk anda, tapi untuk istri anda." Dokter itu menasehati setelah melihat betapa kacaunya kondisi Rendra.
Tapi siapa yang akan baik-baik saja apabila orang yang paling kita pedulikan mengalami kejadian naas? Siapa yang akan tenang? Siapa yang akan merasa dunia begitu cerah? Mungkin hanya orang gila.
Namun, Rendra tidak mendebat, ia hanya mengangguk samar, mengiyakan nasehat dari sang dokter yang sudah membantu Vanya melewati masa-masa paling kelam dalam kehidupannya.
Setelah perginya dokter itu rasa lelah menyerang tubuh Rendra, tubuhnya langsung limbung seperti papan terkena angin. Hampir saja dirinya kembali roboh jika tidak ada sepasang tangan yang menopang tubuhnya.
Rendra menoleh dan mendapati sosok polisi yang tadi ada di bagian administrasi sedang menopang tubuhnya dan membantunya duduk dengan benar di kursi ruang tunggu.
"Jika anda ke sini untuk menyelidiki kasus, lebih baik anda pergi." Rendra tidak ingin basa-basi.
"Saya tidak perlu repot-repot, Pak Rendra. Anak buah saya bekerja dengan sangat baik."
"Lalu apa yang anda inginkan?" Rendra benar-benar terganggu atas kehadiran orang tersebut.
Hengky menghembuskan nafasnya sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Matanya menatap lurus ke depan, ia menyilangkan kakinya dengan kedua tangan yang saling bertaut ia letakkan di atas salah satu kakinya.
"Mengawasi anda, cinta anda untuk istri benar-benar luar biasa." Entah itu pujian atau sindiran, Rendra mendengar adanya ketulusan dalam suaranya. Pria bernama Hengky ini sepertinya berbahaya tapi dia tidak tahu dimana posisi Hengky saat ini.
Sebagaimana Rendra tahu bahwa keluarga Ankara menguasai berbagai lini dan memiliki banyak koneksi. Sangat mudah bagi mereka jika ingin menutupi sebuah kasus, apalagi kasus kecelekaan seperti ini sangat sepele bagi mereka.
"Sebaiknya anda menyalakan rekaman di ponsel anda," saran Hengky pada Rendra. Ini membuat Rendra semakin bingung.
"Siapa anda sebenarnya?"
"Saya ... saya seorang Irjenpol. Tapi di atas itu, saya adalah seorang suami. Melihat cinta anda yang begitu besar untuk istri anda ... saya jadi berpikir, bagaimana jika itu terjadi pada istri saya." Rupanya setelah Rendra berlari menuju ke ruang tunggu operasi, Hengky mengikutinya. Selama Rendra tertunduk di hadapan pintu ruang operasi, selama itu juga Hengky berdiri mengamatinya.
"Jangan berbelit-belit," balas Rendra jengah.
"Nyalakan rekamannya!" pinta Hengky. "Saya serius."
Rendra pun mengikuti arahan Hengky untuk mengambil rekaman, ia segera mengambil ponselnya dengan menyalakan audio recording untuk merekam percakapan mereka.
"Saya hanya memastikan bahwa ini tidak akan terjadi lagi, memastikan anda tidak akan mengusik keluarga Ankara. Ini masih permulaan, keluarga Ankara tidak akan diam saja saat ada ancaman ditujukan keluarga mereka. Tuan besar Bagaskara tidak hanya akan menyabotase rem mobil istrimu, lain kali ia bisa mengambil nyawa ibumu ... siapa namanya, Dewisuri? Pastikan anda memahami ini, Pak Rendra."
Mata Rendra membulat mendengarkan semua ucapan Hengky, sungguh ia sama sekali tidak mengerti apa yang diinginkan oleh Hengky sebenarnya. Mengapa malah mengungkap identitasnya. Rendra sungguh termenung, bukankah ini artinya Hengky telah menceburkan dirinya sendiri ke lubang buaya?
"Apa maksudnya ini?"
"Saya muak dikendalikan oleh kekuasaan. Anda bisa gunakan ini untuk melawan keluarga itu. Saya ingin hidup damai dengan istri saya dan tidak merasa terancam."
"Tapi jika saya mengungkapkan ini bukankah anda tidak akan lagi bisa menjabat, keluarga Ankara juga akan mengincar anda."
"Asal istri saya hidup dengan damai ... karena itu, saya harap anda menggunakan waktu dengan baik. Saat ini bukan waktunya, saat ini anda harus fokus terhadap pemulihan istri anda. Sisanya akan saya bantu sebisa mungkin."
"Saya masih tidak mengerti ...."
"Tidak perlu ada yang dimengerti, saya melakukannya untuk diri saya sendiri." Lalu Hengky menegakkan tubuhnya dan berdiri. "Jaga istri anda baik-baik." Setelah itu ia pun bergegas untuk pergi dari tempat itu.
Tak berselang lama, seorang perawat menghampiri Rendra yang masih termenung oleh sikap Hengky. Tak diduga, tak dinyana, ternyata ada yang ingin membantunya. Dan itu dari antek-antek keluarga Ankara.
"Pak ... Ibu Vanya Anantari sudah kami pindahkan ke ruang ICU, anda bisa mengunjunginya di sana."
"Terimakasih."
Rendra tidak membuang waktunya, ia segera bergegas pergi ke ruang ICU untuk melihat kondisi istrinya yang masih dalam keadaan kritis. Ia diperbolehkan masuk ke ruang ICU dengan menggunakan pakaian steril.
Hancur hati Rendra melihat kondisi Vanya yang sedang terbaring di atas ranjang dengan selang-selang yang tersambung ke lengan dan mulutnya. Melihat perban di bagian kepala pun membuat hati Rendra remuk berkeping-keping.
Rendra melangkah mendekat, tangannya terulur untuk menyentuh telapak tangan yang sedang terkulai di sisi tubuh Vanya. Saat ujung jarinya menyentuh kulit Vanya yang begitu dingin, jantungnya seperti diremas. Air mata kembali jatuh menjejak di pipinya.
Sungguh ia tidak bisa membayangkan, tubuh ringkih Vanya yang rapuh ini terpelanting, terbentur, karena kecelekaan itu. Rasanya pasti sangat menyakitkan sekali. Kengerian yang penuh kecemasan itu tergambar jelas di mata Rendra.
"Asal kamu selamat, Anantari," gumamnya lirih. "Bangunlah...."
...*Bersambung*...
...OBJECT OF DESIRES | 2025...
sukses terus yaaa karyamu bagus ☺️
semangat nulisnyaa yaaaa