Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: Seperti tidak asing
Hari-hari Areum berjalan seperti biasa. Hambatan-hambatan kecil datang silih berganti, layaknya alur kehidupan yang tak pernah bisa ia hindari. Namun, sejauh ini, ia selalu berhasil melewatinya.
Seminggu yang lalu, Areum baru saja menyelesaikan pendidikannya dan lulus dengan nilai terbaik. Begitu pula dengan Revan dan Hassa—mereka lulus di hari yang sama, meski dari jurusan yang berbeda. Para orang tua pun tampak bangga menyaksikan pencapaian anak-anak mereka.
Beberapa hari setelah wisuda, Areum mengikuti tes untuk menjadi karyawan di kafe tempatnya dulu bekerja paruh waktu. Siapa sangka, gadis yang awalnya hanya menjadi waitress kini dipercaya menempati posisi kasir. Meski tak pernah menyangka akan naik posisi secepat itu, Areum tetap merasa senang dan bersyukur bisa bekerja di tempat yang sesuai dengan passion-nya.
Bagi Areum, bekerja di kafe terasa lebih menyenangkan dibandingkan bekerja di kantor atau tempat lain. Ia tak pernah tertarik pada pekerjaan yang terlalu menuntut. Di kafe, suasananya lebih hangat; aroma kopi yang menenangkan, suara mesin espresso yang lembut, dan senyum pelanggan yang datang silih berganti—semuanya membuat hari-harinya terasa ringan.
“Pagi, Eomma… pagi, Appa,” sapa Areum ceria sambil keluar dari kamarnya. Rambutnya sudah diikat rapi, dan seragam kerja barunya tampak pas di tubuh mungilnya. Ia mengecup pipi kedua orang tuanya, kebiasaan kecil yang selalu ia lakukan setiap pagi sebelum berangkat.
“Aigoo, anak Eomma sudah siap sekali.” Hyerin tersenyum tipis sambil menyodorkan sepiring nasi dan lauk hangat. “Sarapan dulu sebelum berangkat.”
“Aku hampir terlambat, Eomma.” Areum duduk tergesa, mengambil sendok dan mulai menyuap nasi ke mulutnya.
“Kenapa tidak ambil cuti dulu? Setelah lulus langsung sibuk bekerja saja,” ujar Hyerin dengan nada lembut tapi sedikit khawatir. Sejak awal, ia sebenarnya kurang setuju Areum langsung bekerja. Ia ingin putrinya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bukan terburu-buru mencari pekerjaan.
“Eomma, ini kan kafe baru. Aku juga karyawan baru, tidak mungkin di hari pertama aku langsung mengambil cuti. Lagi pula, hari ini katanya bos besar akan datang untuk peresmian. Aku harus datang tepat waktu,” jelas Areum dengan suara lembut namun tegas.
Hyerin hanya menghela napas pelan. Ia menatap putrinya yang kini tampak semakin dewasa, lalu mengangguk pasrah. Taesik, sang ayah, hanya tersenyum kecil di balik koran paginya. Ia memang selalu menuruti keinginan Areum—baginya, selama putrinya bahagia dan sudah menuntaskan pendidikannya, itu sudah cukup.
“Baiklah, terserah kamu saja. Tapi ingat, jangan sampai kelelahan, apalagi sampai sakit. Eomma tidak suka melihatmu menyiksa diri sendiri,” ujar Hyerin pelan, suaranya terdengar lembut namun penuh kasih.
“Tentu, Eomma. Areum janji,” balas Areum dengan senyum cerah yang membuat suasana dapur pagi itu terasa hangat. Aroma doenjang jjigae yang masih mengepul dari panci di meja makan seolah menjadi saksi kecil rutinitas keluarga mereka—tenang, sederhana, tapi penuh cinta.
Setelah sarapan selesai, Areum segera bergegas meninggalkan rumah. Ia mengenakan coat tipis berwarna krem dan menenteng tas kecil di bahunya. Udara pagi Seoul masih terasa sejuk, embusan angin membawa aroma roti panggang dari toko di seberang jalan. Sambil menunggu bus di halte, ia melirik arlojinya—jarum panjang hampir menyentuh angka delapan.
“Aigoo… semoga aku tidak terlambat,” gumamnya pelan sambil menghembuskan napas gugup.
Begitu bus datang, ia naik dengan langkah cepat. Perjalanan menuju tempat kerja barunya memakan waktu sekitar lima belas menit, namun setiap detik terasa lama karena hatinya berdebar tak karuan. Ini adalah hari pertamanya bekerja secara resmi setelah lulus, dan ia tak ingin membuat kesan buruk.
Begitu turun dari bus, Areum menatap bangunan di hadapannya. Sebuah kafe dua lantai dengan dinding kaca besar dan papan nama elegan bertuliskan “Park brew & Soul.” Dari luar saja sudah tampak betapa modern dan bergayanya tempat itu.
“Pemiliknya pasti anak muda yang tahu tren zaman,” pikirnya sambil menarik napas panjang.
Perlahan ia mendorong pintu kaca dan masuk. Aroma kopi yang hangat segera menyambutnya. Di dalam, beberapa orang tampak sudah datang lebih dulu. Mereka berdiri di dekat meja bar, terlihat sama-sama baru dan sedikit gugup. Areum pun menghampiri mereka lalu menundukkan kepala sebagai bentuk sopan santun.
“Annyeong... apa aku terlambat?” tanya Areum hati-hati, suaranya terdengar sedikit ragu karena khawatir tak akan disambut ramah. Namun begitu mereka menoleh, senyum bersahabat langsung menyambutnya.
“Nado annyeong! Sepertinya belum, yang lain juga belum datang,” jawab salah satu gadis dengan ramah. Areum menghela napas lega.
“Syukurlah,” ujarnya pelan sambil tersenyum malu. Tak lama kemudian, seorang pria tinggi berwajah lembut menghampiri.
“Siapa namamu?” tanyanya sopan, suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu.
“Aku Areum,” jawabnya, menatap dengan mata sedikit berkilat karena gugup dan senang sekaligus.
“Aku San-ha, sepertinya kamu paling muda di sini, ya?” ucap pria itu sambil mengulurkan tangan. Areum tertawa kecil, lalu menjabat tangannya dengan hati-hati.
“Akh iya kah? Aku kelahiran 2003,” ujar Areum sambil tersenyum malu, berusaha terlihat santai. Seketika suasana yang semula canggung mencair, digantikan oleh kehangatan dan tawa ringan.
“Omo, muda sekali! Aku lahir tahun 1997. Memang tidak terlalu jauh, tapi tetap saja aku lebih tua, ya,” ucap San-ha sambil tertawa kecil.
“Aha, iya... kalau begitu aku panggil Oppa saja, tidak masalah, kan?” ujar Areum sambil menatapnya ragu.
“Iya, boleh saja. Asal jangan Ajusshi, ya,” jawab San-ha sambil tergelak, membuat yang lain ikut tertawa.
“Aku Lisa,” ucap seorang perempuan berambut panjang bergelombang, “kita hanya beda tiga tahun.” Ia menyodorkan tangannya dengan senyum ramah.
“Oh, halo Eonni! Senang sekali bisa berkenalan,” ujar Areum, sedikit canggung tapi tulus.
“Aku Irene, kita cuma beda setahun,” sambung perempuan lain, suaranya lembut namun percaya diri.
“Ah, iya... halo juga, Eonni. Aku harap kita semua bisa akrab,” balas Areum dengan senyum gugup. Ujung jarinya tanpa sadar meremas ujung roknya—kebiasaan kecil saat ia merasa kikuk.
Tawa ringan kembali terdengar. Mereka mulai berbincang santai, membicarakan hal-hal sepele seperti tempat tinggal, makanan favorit, hingga kenangan lucu semasa kuliah. Suasana kafe perlahan terasa hangat, seolah dinding kaca yang memantulkan sinar matahari pagi ikut tersenyum menyambut mereka.
Beberapa menit berlalu, satu per satu orang baru berdatangan. Hingga akhirnya, bunyi bel di atas pintu berdenting pelan—cling!
Langkah dua pria terdengar memasuki ruangan. Sepatu kulit mereka beradu lembut dengan lantai kayu, menimbulkan kesan berwibawa. Salah satu pria berpakaian elegan dengan setelan abu-abu muda, dasinya rapi, dan jam tangan perak berkilat di pergelangan tangan kirinya. Sedangkan pria di sampingnya mengenakan kemeja putih dengan jas hitam sederhana, tapi sorot matanya tajam dan tenang.
Begitu keduanya berdiri di hadapan mereka, suasana di ruangan langsung berubah—semua orang tanpa sadar merapikan postur tubuh. Pria berjas hitam itu tersenyum tipis, suaranya dalam dan berwibawa.
"Selamat pagi semuanya," ujar seorang pria yang membuat semua orang di sana menatap ke arahnya. Mereka terdiam saat menyadari bahwa yang datang adalah atasan mereka.
"Hari ini adalah hari pertama café ini dibuka untuk umum. Kita semua tahu betapa panjang proses yang sudah kita lalui untuk sampai ke titik ini." Pria itu melanjutkan, suaranya tenang tapi mantap. "Perkenalkan, aku Ji-Sung, dan ini partner-ku, Taeyoon. Kami berdua akan menjadi penanggung jawab utama operasional café ini." Ujar Ji-Sung sembari menatap satu persatu orang di hadapannya. Taeyoon mengangguk singkat, lalu berbicara.
"Kami tahu kalian mungkin masih saling belum terlalu kenal, tapi mulai hari ini, kita semua adalah satu tim. Kami percaya pada kalian, dan kami harap kalian juga bisa saling percaya satu sama lain." Ujar Taeyeon yang membuat Ji-Sung kembali angkat bicara.
"Areum, kamu akan di posisi kasir. Sudah kami lihat dari interview sebelumnya, kamu cukup cepat tanggap dan ramah. Itu akan sangat berguna di posisimu." Ujar Ji-Sung yang sedari tadi mengamati karyawan baru nya itu . Areum sedikit terkejut disebut namanya langsung, tapi cepat mengangguk.
"N-ne, terima kasih. Saya akan berusaha sebaik mungkin." Jawab Areum yang sedikit gugup saat menerima jabatan ini.
"San-Ha," lanjut Ji-Sung sambil melihat ke arah seorang pria muda yang tampak sedikit gugup. "Kamu akan bantu di bar dan kadang di dapur. Kita akan lihat kamu lebih cocok ke mana setelah seminggu." Jelas Ji-Sung lagi. San-Ha menunduk sedikit,
"Baik, saya siap dicoba di mana saja." Jawab san-ha yang terdengar lebih santai daripada Areum.
"Irene dan Lisa akan jadi server utama di area depan. Tapi kalian juga akan bantu bersih-bersih, atur meja, dan pastikan pelanggan nyaman. Bisa?" Ujar Ji-Sung kini menatap dua wanita yang berada di samping san-ha. Keduanya mengangguk bersamaan.
"Bisa!" Jawab nya serempak.
Ji-Sung kembali melirik ke sekeliling ruangan, seperti mesin yang sedang memindai keadaan. Hingga akhirnya tatapan matanya kembali pokus pada karyawan nya dan kembali berucap.
"Selain tim inti yang sudah kami sebut tadi, tentu saja ada beberapa staf lainnya—tim dapur, barista, dan staf kebersihan. Kami tidak akan sebut satu-satu sekarang, tapi kami pastikan kalian semua akan kenal satu sama lain dalam beberapa hari ke depan." Ujar Ji-Sung yang lasung membuat Taeyoon menyambung.
"Yang penting, ingat: di café ini, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Barista, server, kasir, bahkan kami berdua, semuanya bekerja untuk satu tujuan—membuat pelanggan merasa nyaman dan ingin kembali lagi." Jelas taeyoon kali ini andil bicara.
Beberapa staf mengangguk pelan. Suasana mulai terasa lebih cair.
"Kalau kalian lihat meja pelanggan kotor, tapi kalian bukan bagian cleaning service—tetap bersihkan. Kalau kalian lihat barista kesulitan ambil bahan, bantu. Jangan menunggu disuruh. Di sini kita kerja bersama, bukan kerja sendiri-sendiri." Ujar Ji-Sung sembari tersenyum tipis.
"Kalau begitu, nanti saya bantu di kasir juga, ya?" Ujar Salah satu staf dapur tertawa kecil. Hal itu membuat semua orang tertawa kecil, termasuk Ji-Sung.
"Boleh sekali, asal kamu bisa hitung kembalian lebih cepat dari Areum." Ujar nya yang membuat Areum terkekeh pelan.
"Wah, tekanan nih." Ujar Areum ikut tertawa malu-malu.
"Belum mulai saja seperti nya dia sudah menyerah," ujar Lisa yang membuat yang lain tertawa dan Ji-Sung hanya tersenyum, Taeyeon kembali menimpali. Dia melirik ke Areum sebentar dan berkata.
"Tapi tenang saja. Nanti kita semua juga belajar bersama. Jangan takut salah, yang penting jujur dan mau belajar." Ujar Taeyeon menenangkan keadaan.
Ji-Sung lalu mengambil satu clipboard dan menunjuk papan tulis kecil yang sudah disiapkan di dekat counter.
"Oke. Di situ ada rundown jadwal shift hari ini. Pastikan kalian tahu jam kerja kalian, dan pastikan kalian tahu partner kerja kalian. Sistemnya rolling, jadi kalian tidak akan selalu kerja sama orang yang sama tiap hari." Ujar Ji-Sung serius membuat suasana kembali serius.
"Briefing seperti ini akan kita lakukan setiap pagi sebelum café buka entah itu ada saya atau tidak. Jadi datang tepat waktu, dan jika bisa, lima belas menit sebelum jam masuk." Ujar Taeyoon menambahkan. Setelah itu Ji-Sung menutup dengan kalimat singkat namun penuh makna.
"Hari ini kita mulai langkah pertama. Mari kita buat café ini bukan cuma tempat menjual kopi, tapi tempat yang orang datang karena mereka merasa disambut." Ujar Ji-Sung tersenyum untuk mengakhiri. Hal itu membuat seluruh staf pun serempak menjawab.
"Siap!" Ujar mereka bersamaan.
"Oke. Kita buka jam sepuluh. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit. Manfaatkan untuk mengenal area kerja kalian, cek peralatan, dan kalau ada yang bingung, tanya. Jangan sungkan. Lebih baik tanya daripada salah." Ujar Taeyoon melirik jam tangannya lalu berkata.
"Hari pertama selalu membuat deg-degan. Tapi jangan takut membuat kesalahan. Kita semua belajar bersama. Hari ini bukan tentang sempurna, tapi tentang mulai." Ji-Sung tersenyum kecil.
"Mari lakukan yang terbaik semuanya", sahut Taeyon yang membuat semuanya menjawab serempak.
"Fighting" Semua orang mulai saling menatap satu sama lain, tersenyum gugup tapi penuh semangat.
Setelah Ji-Sung dan Taeyoon meninggalkan ruangan, suasana langsung berubah jadi lebih santai. Beberapa karyawan mulai mengobrol sambil melihat area kerja masing-masing. Areum berdiri di belakang meja kasir, menatap layar mesin POS dengan ekspresi 80% bingung, 20% pasrah. Tangannya menyentuh tombol-tombol, tapi tak satu pun berani ditekan.
Di sebelahnya, San-Ha lewat sambil membawa celemek lipat yang baru dibagikan tadi.
"Kamu sudah mulai cek mesinnya?" tanya San-Ha sambil sedikit menunduk untuk mengintip.
"Eeh... iya Oppa. Maksudnya... baru kenalan. Dengan tombol-tombolnya. Aku masih belum terbiasa," Ujar Areum tersenyum canggung.
"Kenalan? Memang kamu mengajak mesin bicara?" Ujar San-Ha tertawa pelan.
"H-haha, tidak juga sih. Tapi sepertinya dia juga belum siap bekerja. Soalnya aku sentuh sedikit, dia langsung mengeluarkan suara 'bip' panjang, seperti marah." Ujar Areum langsung tertawa gugup.
"Mungkin kamu harus minta izin dulu. Permisi, mesin POS-nim~ saya mau mulai kerja... " balas San-Ha berpura-pura serius
"Iya ya, di Korea kan sopan santun penting. Aku bahkan tidak ingat meskipun aku lahir dan besar di sini," jawab Areum ikut tertawa.
"Tapi kamu merasa tidak? Ji-Sung sajangnim memperhatikan mu sedari tadi," ujar San-ha setengah berbisik tubuh nya sedikit condong pada Areum.
"Mungkin hanya perasaan Oppa, aku rasa sedari tadi dia memang memperhatikan kita semua," ujar Areum sembari tertawa pelan. Tapi hal itu tetap membuat San-ha terkekeh karena merasa jika ucapan Areum juga benar.
Sementara itu, Irene dan Lisa sedang melipat celemek di meja seberang, sesekali mencuri dengar sambil senyum-senyum.
"Kasirnya lucu juga ya. Seperti aktris Drama yang nyasar ke dunia kerja." Ujar Lisa berbisik ke Irene.
"Tapi Areum memang manis sih. Tipe yang membuat pelanggan balik hanya karena ingin lihat dia salah memberi kembalian." Ujar Irene mengangguk pelan di balas kekehan kecil dari Lisa.
"Bahaya, nanti kita rugi! Tapi memang benar Areum itu cantik dan manis, aku rasa Ji-Sung sajangnim memperhatikan itu juga sejak tadi," balas Lisa sesekali melirik pada Areum yang tengah sibuk dengan layar mesin POS nya.
"Dia lebih cocok jadi idol grup wanita daripada jadi kasir, aku sebagai wanita iri melihat wajahnya," ujar Irene lagi. Dan Lisa mengangguk setuju karena memang Areum terlihat secantik itu.
•••
Jam menunjukkan pukul sepuluh tepat. Musik latar yang lembut mulai terdengar dari speaker café, tirai di depan jendela ditarik sebagian, dan pintu utama dibuka perlahan. Areum berdiri di balik meja kasir, menarik napas dalam-dalam. Bagaimanapun ini pertama kali nya dia berinteraksi dengan banyak orang, karena sebelumnya saat menjadi pekerja part time dia hanya menjadi seorang waiterss bukan kasir.
"Fighting Areum…” bisiknya pelan ada rasa gugup dan juga takut salah.
Lisa dan Irene berdiri di posisi masing-masing, senyum profesional mereka mulai muncul. San-Ha berdiri di dekat bar, berpura-pura sibuk membersihkan gelas padahal dari tadi bolak-balik mengintip pelanggan pertama.
Tak lama, bel pintu berbunyi. Seorang wanita muda masuk, diikuti pasangan muda dan satu keluarga kecil. Dalam lima menit, café mulai terisi dengan suara langkah kaki, tawa kecil, dan suara orang membaca menu.
Mereka mulai bekerja sesuai orang nya masing masing tidak ada yang melakukan kesalahan meskipun mereka masih terkesan ragu dan gugup karena masih minim komunikasi dan kerja sama team tapi untuk hari pertama ini cukup baik.
•••
Sementara itu, di ruangan belakang—Ruang Monitoring, tempat pribadi bagi Ji-Sung dan Taeyeon untuk beristirahat—terlihat dua pria itu menatap layar laptop yang menampilkan suasana kafe mereka secara langsung.
“Untuk hari pertama ini cukup baik,” ujar Ji-Sung, matanya fokus memperhatikan setiap gerak karyawan di layar. Ia mencondongkan tubuh, jemarinya mengetuk meja pelan.
“Ya… cukup bagus, walaupun aku rasa kerja sama tim mereka masih kurang,” sahut Taeyeon sambil menyandarkan kepala di sofa. Napasnya terhela santai, namun nada bicaranya terdengar kritis seperti biasa.
“Itu karena mereka masih baru, jadi wajar saja. Tapi ternyata orang-orang yang Jungwoo sarankan tidak buruk juga. Mereka tahu posisi mereka masing-masing dan bekerja dengan baik,” lanjut Ji-Sung, suaranya tenang namun penuh penilaian.
“Benar juga. Dia sedikit berubah, Hyung. Mungkin sejak Hoseon Hyung menegur dia, sekarang dia lebih berhati-hati. Kalau cuma kita yang bicara, dia pasti tidak akan mendengarkan,” ucap Taeyeon dengan senyum tipis.
“Itu benar, semoga cabang ini lebih maju daripada cabang sebelumnya." sahut Ji-Sung singkat, lalu menatap layar lagi. Namun, tatapan Taeyeon kemudian menyipit, memperhatikan ekspresi kakaknya.
“Tapi, Hyung… kenapa aku merasa kamu terus menatap Areum? Kamu kenal dia?” ujar nya yang membuat Ji-Sung mendadak tersentak kecil, sedikit gelagapan.
“Apa? Bukankah kamu yang mengenalnya? Kan kamu yang menyarankan dia padaku untuk menempatkannya di bagian kasir?” ujar Ji-sung tanpa menatap adiknya.
“Itulah yang aku maksud, aku yang kenal dia, tapi kenapa aku merasa kalau Hyung yang paling senang melihat kehadirannya?” balas Taeyon cepat.
“Itu cuma perasaanmu saja,” elak Ji-Sung sambil menunduk, pura-pura fokus lagi pada layar laptopnya. Taeyeon mengangkat satu alis, lalu menyentuh tangan kakaknya.
“Tanganmu dingin kalau sedang berbohong, Hyung.” ujar nya.
“Aish… sudahlah,” sahut Ji-Sung cepat sambil menarik tangannya. Ia tetap menatap layar, pura-pura tenang, padahal jelas ia sedang menghindari tatapan adiknya.
•••
Di Area Café
Areum sedang melayani pelanggan pertamanya—seorang wanita muda dengan pesanan yang... agak rumit.
"Saya mau satu caramel macchiato, panas, less sugar, tapi susunya diganti oat milk ya. Oh iya, gelasnya take away tapi minumnya di sini aja.” ujar seorang pelanggan wanita, hal itu membuat Areum terdiam sejenak.
“I-itu... jadi minumnya di sini, tapi pakai gelas take away?” tanya Areum ragu ragu takut menyinggung perasaan pelanggan tersebut.
"Iya. Soalnya aku suka gelas kertasnya, lucu. Bisa kan?” ujar pelanggan tersebut.
“Oh! Baiklah. Terimakasih sudah suka gelasnya…” Areum langsung senyum kikuk atau mungkin terpaksa tersenyum untuk menjaga sikap profesional nya di depan pelanggan yang menurut nya aneh. Ia buru-buru mencatat pesanan, tapi lupa menekan tombol di mesin kasir.
Pelanggan mulai berdatangan semakin banyak, antrean terbentuk di depan kasir.
Areum kini bekerja lebih cepat. Meski sesekali salah tekan tombol dan minta pelanggan mengulang pesanan, senyumannya tetap konsisten. San-Ha mulai bantu ambilkan minuman dari bar dan kadang membantu jelaskan menu saat pelanggan bingung.
Irene dan Lisa sibuk tapi tetap tenang, mengambil pesanan, mengantar kopi, dan sesekali membantu Areum di kasir saat antrean makin panjang.
Sementara itu, di ruangan pribadi Ji-Sung dan Taeyeon, suasana tampak tenang. Aroma kopi panggang samar-samar memenuhi udara, bercampur dengan suara lembut mesin espresso dari luar. Keduanya duduk santai di depan meja kerja modern, memantau aktivitas karyawan melalui layar laptop besar yang menampilkan beberapa sudut kafe.
Sesekali tawa kecil terdengar dari keduanya, melihat para pegawai baru yang masih kikuk namun berusaha bekerja sama.
“Jika hari pertama saja sudah bisa diatur seperti ini,” ujar Taeyeon sambil menyesap kopi panasnya, “mungkin hanya butuh beberapa minggu lagi. Setelah itu, kafe ini bisa berjalan sendiri. Kita tinggal memantau saja, seperti cabang lainnya.” lanjut nya yang membuat Ji-Sung mengangguk pelan.
“Hyung benar. Dan mungkin suatu hari nanti, kita bisa ajarkan Jungwoo untuk merawat cabang ini juga.” ujar nya yang membuat Taeyeon menoleh, tersenyum tipis.
“Tapi bukankah Hoseon Hyung selalu memanjakan Jungwoo?” ledek nya dan Ji-Sung terkekeh pendek.
“Aku rasa kamu juga sama saja.” balas nya.
Keduanya tertawa kecil sebelum kembali menatap layar. Tampak di sana para pegawai yang sibuk menyajikan minuman, menyapa pelanggan dengan senyum ramah.
“Tapi benar katamu, kerja mereka bagus.” ujar Ji-Sung, nada suaranya lebih lembut kini. Taeyeon bersandar ke kursi, menyilangkan kaki.
“Dan yang paling penting…” ucapnya pelan, menatap layar dengan ekspresi puas, “…mereka tersenyum tulus, bukan senyum karena terpaksa bekerja.” lanjut nya.
“That’s rare,” jawab Ji-Sung sambil tersenyum, pandangannya tak lepas dari satu sosok wanita di layar—Areum, yang tengah melayani pelanggan dengan sikap sopan dan senyum lembut yang alami.
Senyum di bibirnya perlahan menghilang, berganti dengan ekspresi bingung.
Kenapa terasa tidak asing… tapi di mana aku pernah melihatnya? batin Ji-Sung, matanya menatap dalam pada wajah Areum di layar laptop itu.