Sebelum lanjut membaca, boleh mampir di season 1 nya "Membawa Lari Benih Sang Mafia"
***
Malika, gadis polos berusia 19 tahun, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya dalam satu malam. Dijual oleh pamannya demi sejumlah uang, ia terpaksa memasuki kamar hotel milik mafia paling menakutkan di kota itu.
“Temukan gadis gila yang sudah berani menendang asetku!” perintah Alexander pada tangan kanannya.
Sejak malam itu, Alexander yang sudah memiliki tunangan justru terobsesi. Ia bersumpah akan mendapatkan Malika, meski harus menentang keluarganya dan bahkan seluruh dunia.
Akankah Alexander berhasil menemukan gadis itu ataukah justru gadis itu adalah kelemahan yang akan menghancurkan dirinya sendiri?
Dan sanggupkah Malika bertahan ketika ia menjadi incaran pria paling berbahaya di Milan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2
“Kamar 203?” Alex bergumam lirih, kepalanya terasa dihantam palu godam. Angka kamar itu berbayang, sedikit ganda, namun ia yakin itu adalah kode akses menuju pertapaan pribadinya.
Dia mengedip pelan, mencoba memastikan dirinya tidak salah lihat. Tapi angka itu tetap sama. 203.
“Kenapa kepalaku berat sekali,” keluhnya sambil memijit pelipis.
Padahal hanya satu gelas alkohol yang ia minum saat mengobrol dengan Jimmy tadi. Namun entah jenis apa yang diberikan padanya, efeknya terasa seperti meminum tiga botol whisky sekaligus.
Alexander bahkan tidak menyadari kapan langkahnya mulai sempoyongan. Yang ia ingat hanyalah suara Jimmy.
“Santai saja, Tuan Muda. Ini racikan khusus untuk melepas lelah.” lalu gelas itu tiba-tiba ada di tangannya.
“Sialan! Paman Jimmy, awas kau!” makinya pelan seraya melepas dua kancing teratas kemejanya. Panas yang menyengat tubuhnya benar-benar tidak masuk akal.
Alex akhirnya berhasil membuka pintu kamar. Tidak dikunci. Bagus. Ia terlalu lelah untuk memikirkan keamanan atau protokol.
Begitu melihat siluet kasur besar yang empuk, Alexander langsung menjatuhkan tubuhnya ke sana, tanpa peduli ia masih berpakaian lengkap.
“Hari yang panjang dan melelahkan,” gumamnya, sebelum kesadaran mulai ditarik paksa. Matanya terpejam perlahan. Ia hanyut dalam tidur yang dipaksakan.
Sementara itu…
“203 apa 230, ya? Lika lupa.” Malika bertanya pada dirinya sendiri, suaranya teredam oleh dentuman musik dari lantai bawah.
Gadis itu sudah berdiri di depan pintu kamar yang sama, 203. Kamar yang seharusnya menjadi tempat ia menemui ‘Om-om’ yang memesannya dari Tuan Angelo.
Ia terlihat seperti boneka pameran yang dipoles berlebihan. Makeup tebal, dengan lapisan glitter perak di kelopak mata, menutupi wajah aslinya. Lipstik merah menyala di bibir membuatnya terlihat asing.
“Lika benar-benar mirip badut,” gumamnya lirih, mengingat pantulan dirinya di cermin tadi. Ia merasa seperti lukisan cat minyak yang gagal.
Wanita berwajah galak yang tadi menyeretnya kemari sempat berpesan, suaranya tajam seperti pisau.
“Temani om-om itu sebentar dan jangan berpikir yang aneh-aneh. Hanya duduk, senyum, sudah. Paham? Dia hanya ingin menghabiskan malam bersamamu. Jangan berbicara, kecuali diajak. Dan yang paling penting, jangan kabur.”
Malika sebenarnya ingin kabur, menjerit, dan menangis. Tapi di belakangnya tadi, ada dua lelaki bertubuh besar berjaga seperti tembok. Ia tidak punya pilihan.
Saat gadis itu ragu di depan pintu, dua pengawal Alexander yang berjaga di koridor melihatnya.
“Nona, apa yang kau lakukan di sini? Kau dilarang masuk ke area ini!” tegur salah satu pengawal dengan nada waspada.
“Tapi, Lika disuruh datang kemari karena Om yang di kamar itu sudah memesan Lika,” ucap Malika sambil menunjuk pintu kamar 203.
Kedua pengawal Alexander saling berpandangan.
Sejak kapan Tuan Muda mereka doyan dengan perempuan dari klub murahan? Alexander Frederick terkenal memiliki selera yang sangat tinggi dan tidak suka keramaian seperti ini.
Namun, mereka melihat betapa mabuknya Alexander saat masuk tadi. Mereka berdua menduga, mungkin Tuan Muda mereka butuh pelampiasan yang cepat dan tidak merepotkan untuk melepaskan lelahnya, dan gadis ini adalah ‘kiriman’ dari manajemen klub.
Karena tak mau kena omel karena menghalangi Tuan Muda mereka bersenang-senang, akhirnya pengawal itu mengijinkan Malika masuk.
Malika mendorong pintu yang sedikit terbuka itu, lalu melangkah masuk dengan perlahan.
“Lho, Om-nya di mana?” bisiknya sambil celingak-celinguk.
Tidak ada siapa-siapa di sofa. Tidak ada tanda-tanda pesta atau kegiatan yang ia bayangkan. Kamar itu hening, gelap, dan sangat mewah.
Lantas Malika memutuskan untuk mengintip ke dalam kamar tidur utama. Dia melihat seorang pria terbaring di ranjang dengan posisi terlentang.
Malika mendekat dengan hati-hati. Hingga jarak mereka kini hanya setengah meter. Dari dekat, pria itu terlihat jauh lebih muda dari yang ia bayangkan.
Pria yang sedang terlelap terlihat berbeda. Dagu tegas, hidung mancung, bibirnya terlihat seksi, dan ia memiliki bekas luka samar namun karismatik di pelipis kiri dan pipinya.
Wajahnya tidak beringas seperti yang Malika bayangkan dari seorang ‘Om-om’ pelanggan klub.
“Apa dia yang memesan Lika?” Malika menggigit bibirnya. “Ah sudahlah. Yang penting Lika sudah datang. Pasti dia sudah membayar paman dengan uang cukup banyak,” gumamnya, mengangguk-angguk kecil seolah meyakinkan diri sendiri bahwa misi selesai.
Malika berbalik dan berniat pergi secepatnya sebelum pria itu bangun dan masalah muncul. Namun, baru setengah langkah ia berjalan, sebuah tangan besar tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat.
Kekuatan cengkeraman itu terasa menyakitkan dan instan.
“E-eh?!” Malika menjerit kecil.
“Mau ke mana?” Dari belakang, suara serak terdengar berat, dalam, dan menggetarkan.
Malika menoleh. Pria yang awalnya dia pikir sudah tidur kini membuka mata, dan menatapnya dengan tatapan tajam yang mematikan.
Matanya yang birunya tampak berkonflik, seolah-olah ingin menelannya hidup-hidup.
“Em.. mau pergi…” jawabnya tergagap. Ketegangan seketika memenuhi udara.
Alexander menarik tangannya sedikit, membuat tubuh Malika terseret mendekat ke tepi ranjang.
“Apa kau makhluk halusinasi dari alkohol murahan yang diberikan Paman Jimmy?” Pria itu mengusap wajahnya kasar, mencoba mengusir kabut dari kepalanya.
Malika membeku. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan pria itu.
“M–makhluk halu apa? Aku manusia beneran!”
Alexander mendengus, lalu mencoba menatap gadis itu dengan lebih jelas, matanya menyipit karena silau lampu chandelier di langit-langit.
“Dandanmu terlalu mencolok. Terlalu banyak glitter,” ucapnya spontan. “Hanya makhluk halu jadi-jadian yang muncul dengan makeup setebal itu.”
Mulut Malika menganga lebar. Berani sekali pria ini berani menyebutnya makhluk halu? Jadi-jadian pula?!
malika dan Leon cm korban😄🤣