Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. Semua orang punya tujuan masing masing
Sore itu, langit Surabaya mulai berubah jingga keemasan. Bayangan panjang pepohonan jatuh di halaman belakang rumah keluarga Argantara, tempat taman mawar putih tumbuh subur di antara batu bata dan jalur setapak yang berliku.
Taman itu dulunya dirancang khusus oleh Reghan sendiri, tempat yang dulu ia rawat bersama Alena, sebelum semuanya hancur. Setelah kecelakaan itu, tak ada seorang pun yang diizinkan menyentuhnya lagi. Namun sore ini, taman yang biasanya sunyi menjadi saksi amarah yang mendidih.
Alena baru saja melangkah keluar dari ruang tamu ketika sebuah tangan kuat menariknya kasar dari belakang. Tubuhnya terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan sebelum diseret ke arah taman yang sepi itu.
“Elion!” serunya tertahan, suaranya bergetar di antara terkejut dan takut. “Lepas! Apa yang kau...”
“Diam!” bentak Elion, suaranya berat dan tajam. Tatapannya menyala seperti bara yang tak bisa padam. Dia terus menyeret Alena hingga ke tengah taman, di mana mawar-mawar putih hampir layu diterpa angin sore. Jemarinya mencengkeram lengan Alena begitu kuat hingga kulit wanita itu memucat.
“Apa kau pikir aku tidak melihat bagaimana kau menatapnya?” desis Elion, napasnya berat. “Kau pikir aku buta, Alena?”
Wajah Alena menegang. “Kau salah paham, aku hanya...”
“Cukup!” potong Elion, suaranya menggelegar di antara desiran angin. “Aku tahu cara kau memandang, Reghan!” katanya penuh amarah, matanya membara. “Dia lumpuh, Alena! Dia bahkan tak bisa menyentuhmu lagi ... tapi kau masih berani menatapnya seperti itu? Kau berharap dia akan bergairah? Itu tidak akan pernah terjadi lagi, Alena!”
Cengkramannya semakin keras, membuat Alena meringis.
“Elion, sakit ... lepaskan!” suaranya pecah, tapi Elion tidak peduli. Ia menatapnya lama, seolah ingin membakar wajah wanita itu dengan pandangan matanya sendiri.
“Kau main-main denganku, ya?” gumamnya, rendah tapi tajam seperti pisau yang menempel di kulit. “Kau pikir aku ini sekadar pengganti? Kau lupa siapa yang memberimu tempat di rumah ini? Aku bisa membuatmu menyesal jika terus mempermainkan aku, Alena.”
Alena menggigit bibirnya, menahan sakit dan harga diri yang tercabik. Dengan sisa tenaga, ia menghempas tangan Elion dari lengannya, membuat pria itu mundur satu langkah.
“Jangan sentuh aku seperti itu lagi,” katanya dingin, napasnya memburu. “Aku tidak main-main, Elion. Tapi jika kau terus memperlakukanku seperti sampah, mungkin aku akan benar-benar kembali pada Reghan.”
Tatapan Elion menajam. Ada kebencian dan ketakutan di sana, takut kehilangan, tapi juga takut kalah dari bayangan abadi bernama Reghan Argantara. Dia menatap mawar putih di belakang Alena, mawar yang tampak seolah menyaksikan pertengkaran itu dengan diam yang mengancam.
“Kau berani mengulang masa lalu itu, Alena?”
“Tidak,” jawab Alena lirih, matanya menatap lurus ke mata Elion. “Tapi mungkin masa lalu itu belum benar-benar selesai.”
Udara di antara mereka membeku. Elion mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras, namun sebelum kata berikutnya terucap, langkah pelayan terdengar mendekat dari arah rumah.
“Tuan Elion, Tuan Argantara memanggil Anda ke ruang kerja,” ucap pelayan itu hati-hati, menunduk dalam. Elion menatap Alena sekali lagi, tatapan tajam, menyimpan ancaman tanpa kata.
“Jangan coba-coba ulangi itu lagi,” desisnya pelan, sebelum melangkah pergi meninggalkan taman. Alena berdiri mematung di antara hamparan mawar putih yang bergoyang diterpa angin. Sinar mataharinya yang terakhir menyoroti wajahnya yang memucat. Ia menatap bunga-bunga itu dalam diam, lalu tersenyum samar, getir, dan penuh rahasia.
Saat malam tiba, suasana di rumah besar keluarga Argantara terasa dingin dan sunyi. Lampu-lampu di koridor meredup, menyisakan bayangan panjang di sepanjang dinding marmer yang dingin. Hanya cahaya samar dari kamar Reghan yang masih menyala. Alena berdiri di depan pintu kamar itu, mengetuk perlahan.
“Reghan … aku masuk, ya.”
Tak ada jawaban, hanya bunyi lembut alat pernapasan otomatis dan deru napas berat dari dalam. Dia membuka pintu pelan, aroma obat dan balsem khas fisioterapi memenuhi ruangan itu. Di meja kerja, Reghan duduk di kursi rodanya, matanya menatap kosong ke arah jendela terbuka, tempat angin malam berembus membawa hawa lembap hujan sore tadi.
“Aku bawa sop ayam dari Tante Maya,” ucap Alena lirih sambil berjalan pelan mendekat. “Katanya, ini buatan khusus … untuk bantu pemulihanmu.”
Reghan hanya menoleh sekilas, tanpa ekspresi. “Aku tidak lapar.”
Nada suaranya datar, tapi tegas. Namun, Alena tetap melangkah, meletakkan mangkuk sop itu di atas meja kecil di sampingnya. “Reghan, tolong makan sedikit saja,” katanya, suaranya lembut, hampir seperti berbisik. “Kalau kamu tidak mau demi dirimu, makanlah … demi orang-orang yang masih peduli.”
Reghan menatapnya lama, pandangan itu tajam, tapi lelah.
“Orang-orang yang peduli?” gumamnya, dingin. “Lucu, mereka baru peduli setelah aku tidak bisa berjalan.”
Alena menelan ludah, matanya berkaca. “Aku … aku tidak tahu semua ini akan terjadi, Reghan.”
“Tidak tahu?” Reghan mendengus pelan, menunduk menatap sop yang masih mengepul. “Atau pura-pura tidak tahu?”
Sunyi beberapa detik. Lalu, tanpa berkata lagi, ia mengambil sendok itu dan mulai makan perlahan, sendok demi sendok, dengan wajah datar. Alena menatapnya, seolah ingin menebus dosa masa lalu yang bahkan tak bisa dihapus dengan permintaan maaf. Tepat saat itu, pintu kamar terbuka sedikit.
Arum berdiri di sana. Di tangannya, sebuah nampan dengan mangkuk sop yang sama. Uapnya masih hangat, namun langkahnya terhenti begitu melihat Alena berdiri di dekat Reghan, dan pria itu memakan sop dari tangan Alena tanpa keberatan sedikit pun.
Dada Arum terasa sesak. Ia menggenggam nampan itu kuat-kuat, ujung logamnya bergetar di jari-jarinya. Ia menatap sebentar ke arah Reghan, lalu menunduk, melangkah mundur perlahan tanpa suara.
Di koridor gelap itu, Maya berdiri tak jauh dari pintu kamar, menyaksikan semuanya dari balik dinding. Senyum miring perlahan merekah di bibirnya. Tatapan matanya menyala licik.
“Bagus…” gumamnya pelan. “Biarkan semuanya berjalan seperti ini.”
Dia tahu Arum adalah ancaman. Gadis itu punya sesuatu yang bisa membuat Reghan berubah. Dan Maya tidak akan membiarkan itu terjadi. Jika Arum harus tersingkir dari rumah ini maka malam ini adalah awal dari rencana panjangnya.
gara gara part ini aku sampai nangis bombai.......,😭😭😭 nyesek banget rasanya nya.....
udah jangan bersinggungan lagi dengan reghan,
walaupun Revan anak reghan kayanya terlalu sakit kalo Arum dan reghan harus bertemu lagi,,takut banget nanti keluarga reghan mengusik Arum lagi,,