Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.
Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah kebohongan lagi
Jari-jari Rexton masih mencengkeram lembut dagu Cantika, memaksanya menatap lurus ke matanya. Wajah pria itu semakin dekat, napas hangat bercampur aroma alkohol menerpa kulit Cantika.
Deg. Deg. Deg.
Jantung Cantika berdentum tak terkendali. Ia ingin menjauh, tapi tubuhnya seperti membeku di sofa empuk itu. Aku harus kuat. Aku gak boleh bikin dia kecewa, batinnya berulang kali berteriak.
Sekejap kemudian, bibir Rexton menempel paksa di bibir Cantika. Ciuman yang panas dan mendominasi, sama sekali bukan kelembutan yang pernah ia bayangkan. Tubuh Cantika menegang, tangannya refleks mengepal di pangkuan.
“Ayo, balas aku,” bisik Rexton di sela-sela desahan singkat, nadanya penuh perintah.
Air mata nyaris tumpah, tapi Cantika menggigit bibirnya sendiri agar tetap bertahan. Ia mencoba menutup mata, lalu dengan kaku membiarkan dirinya mengikuti arus ciuman itu, meski seluruh hatinya menolak.
“Bagus…” Rexton menyeringai puas ketika melepasnya. “Kamu memang masih kaku, tapi aku suka. Ada rasa menantang di situ.”
Cantika terdiam, napasnya tersengal. Pipinya terasa panas, bukan karena malu semata, tapi karena campuran rasa takut dan benci pada keadaan yang memaksanya.
Pria itu lalu menyandarkan tubuhnya lagi, meneguk minuman. “Kalau kamu terus belajar cepat seperti ini, kamu akan jadi gadis kesayanganku di sini. Dan percayalah, selama aku di pihakmu… gak akan ada yang berani macam-macam.”
Cantika hanya mengangguk pelan. Di dalam hatinya, ia berteriak, Semua ini demi ibu. Demi kuliah. Aku harus kuat.
Tak terasa waktu sudah merayap ke pukul satu dini hari. Obrolan panjang itu akhirnya berhenti ketika Tuan Rexton merasa puas ditemani. Wajahnya terlihat tenang, berbeda dengan Cantika yang diam-diam menahan perasaan campur aduk sejak awal masuk ruangan.
“Terima kasih, sayang, untuk waktunya malam ini,” ucap Rexton sembari mengelus pipi Cantika yang halus. “Sekarang kasih nomor rekeningmu. Tips akan langsung aku kirim.”
Dengan cepat Cantika menyebutkan deretan angka. Pria itu mencatatnya, lalu mengetik sesuatu di ponselnya.
Tinggg…
Suara notifikasi langsung terdengar. Cantika menoleh sekilas ke layar ponselnya, jumlah uang yang cukup besar baru saja masuk ke rekeningnya.
“Terima kasih, Tuan…” ucapnya, suara lirih menahan perasaan yang sulit ia ungkapkan.
“Sama-sama, sayang.” Rexton tersenyum, lalu mengecup singkat bibir Cantika sebelum bangkit berdiri dan melangkah keluar.
Begitu pintu tertutup, tubuh Cantika seketika limbung. Ia jatuh terduduk di sofa empuk, menekap wajah dengan kedua tangannya. Air mata mengalir deras tanpa bisa dicegah.
“Hiks… sehina inikah aku sekarang? Demi nominal uang, aku harus belajar menjual diriku…”
Jemarinya menyentuh bibirnya yang tadi sempat dikecup singkat. Rasa getir itu menusuk lebih dalam dibandingkan pahitnya minuman yang ia teguk tadi.
“Ibu… maafkan Tika…” bisiknya lirih.
Malam itu Cantika sadar, meski ia tidak melakukan apa pun selain menemani dan mengobrol, luka di hatinya sudah terlanjur tercetak. Ia sudah benar-benar melangkah ke dunia yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
**
Malam itu, Cantika pulang ke rumah sakit dengan langkah pelan. Di tangannya kini sudah ada hasil dari kerja pertamanya, uang sebesar lima juta rupiah, jumlah yang terasa begitu besar baginya. Selama ini, bekerja sebulan penuh pun ia hanya menerima empat juta, itu pun sering terpotong karena ia terlalu sering izin untuk menjaga ibu.
Kreettt…
Pintu kamar rawat itu berderit saat Cantika membukanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada ibunya yang sedang tertidur pulas di ranjang, wajah renta itu tampak begitu tenang di bawah cahaya redup lampu malam.
Cantika menarik napas panjang, menahan rasa sesak yang tiba-tiba menyergap. “Ibu… Tika bawa pulang uang, Bu. Tapi caranya… Tika bahkan malu kalau harus cerita.” Suaranya nyaris tak terdengar, seakan hanya bisikan untuk dirinya sendiri.
Ia segera menutup pintu kembali, lalu masuk ke kamar mandi kecil di dalam ruang rawat itu. Air dingin membasahi wajahnya, menghapus riasan dan sisa keringat yang terasa lengket di kulit. Ia menggosok-gosok tangannya, seolah ingin menghilangkan bekas sentuhan orang lain yang masih terasa.
Setelah merasa lebih segar, Cantika kembali ke sisi ranjang. Ia duduk sebentar, menatap wajah ibunya dengan senyum tipis, meski air matanya masih membekas di sudut mata.
Matanya mulai terasa berat. Tanpa sadar, tubuh Cantika rebah di kursi, kepalanya bersandar di sisi ranjang ibunya. Dalam hitungan menit, ia pun tertidur, tenggelam dalam kelelahan dan beban pikiran yang menyesakkan.
Pagi itu, Cantika terbangun karena merasakan sentuhan hangat di tangannya. Ia mengerjap pelan, lalu mendapati wajah Bu Hasna yang tersenyum lembut ke arahnya.
“Nak, semalam kamu pulang jam berapa?” tanya Bu Hasna dengan suara serak khas orang baru bangun.
Cantika mengusap matanya, berusaha mengumpulkan kesadarannya yang masih berat. “Emm… aku pulang jam satu malam, Bu. Tapi sekarang jam kerja Cantika cuma enam jam doang.”
“Syukurlah. Ibu senang mendengarnya,” jawab Bu Hasna lega. Senyumnya semakin mengembang. “Oh iya, Nak… dokter Arkana bilang kalau hari ini ibu sudah boleh pulang.”
Deghhh…
Seakan ada palu besar menghantam dada Cantika. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai muncul. Pulang berarti… mereka harus segera mencari tempat tinggal baru. Ia tidak ingin ibunya tahu bahwa mereka sudah diusir dari kontrakan lama.
“Jam berapa, Bu, kira-kira pulangnya?” tanya Cantika, memaksa wajahnya tetap tenang.
“Mungkin sore,” jawab Bu Hasna santai.
Cantika mengangguk-angguk kecil. Lalu dengan cepat ia mencari alasan. “Eumm… jadi gini, Bu. Semalam aku ditawarin nyicil rumah sama bos. Katanya biar kita gak usah repot nyewa lagi. Hari ini Tika mau lihat-lihat rumahnya dulu.”
Bu Hasna terdiam sejenak, lalu menatap putrinya dengan rasa ingin tahu. “Benarkah, Nak? Tapi… dari mana nanti kita bayar cicilannya?”
Cantika menghela napas pelan, lalu tersenyum menenangkan. “Ibu gak usah khawatir. Sekarang Tika sudah punya kerjaan dengan gajian yang lumayan. Sekali kerja aja, Tika bisa dapat uang satu juta.”
Mata Bu Hasna langsung berbinar, hatinya dipenuhi harapan. “Alhamdulillah… ibu senang dengarnya, Nak. Semoga kerjaanmu lancar, ya.”
Cantika ikut tersenyum, meski hatinya terasa perih. Setiap kata yang ia ucapkan tadi adalah kebohongan besar. Ia tahu cepat atau lambat semua ini bisa terbongkar, tapi demi membuat ibunya tenang, ia rela memikul semuanya sendiri.