NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:665
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21

Nathan tertawa kecil, tapi suara tawanya terlalu cepat, terlalu ringan untuk jadi tulus.

"Ah, kamu masih setengah sadar kali. Aku cuma ngomong sendiri. Nggak ada yang nyebut pergi, Sayang."

Kayla masih memandanginya. Alisnya berkerut samar, seolah otaknya masih memutar ulang potongan kata yang ia dengar barusan.

"Kayak ada kata 'pergi', deh."

Nathan menegakkan bahu, lalu membuka kulkas seolah sedang mencari sesuatu. "Mungkin kamu mimpi kali. Tadi filmnya tentang orang pindah kota, mungkin nyangkut di mimpi kamu."

Kayla diam. Tatapannya belum lepas dari punggung Nathan yang kini pura-pura sibuk. Kayla tetap diam, tapi dalam pikirannya, kalimat itu terus berputar. Ia memang masih setengah sadar saat mendengarnya, tapi suaranya jelas milik Nathan, dan nadanya... bukan sekedar gumaman santai.

Nathan menutup pintu kulkas dan berpaling padanya. "Mau aku bikinin teh juga?"

Kayla mengangguk pelan. "Boleh."

Nathan menyiapkan teh untuk wanitanya, punggungnya membelakangi Kayla hampir sepanjang waktu. Biasanya, ia akan sambil bercanda atau menyelipkan komentar konyol soal gula yang kebanyakan, atau teh yang terlalu pahit. Tapi kali ini... hening.

Kayla menarik selimut ke pangkuannya. "Nat."

"Hm?"

"Kamu yakin nggak ada yang kamu sembunyiin?"

Pertanyaan itu menggantung. Udara di ruangan seperti ikut menahan napas.

"Maksud kamu?"

"Entah. Aku cuma ngerasa... kamu beda aja akhir-akhir ini."

Nathan berjalan mendekat, menyerahkan cangkir hangat itu ke tangan Kayla. "Kamu terlalu peka."

"Tapi biasanya kamu suka bilang aku nggak peka."

Nathan terkekeh. "Kamu peka kalau nyium hal-hal yang bikin kamu curiga. Tapi kadang suka mikir terlalu jauh."

Kayla mengangguk pelan, tak ingin memperpanjang. Tapi rasa itu belum benar-benar hilang.

Dan Nathan tahu, semakin lama ia diam... semakin besar risiko semuanya runtuh dalam sekali jatuh.

***

Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk dari jendela besar di sisi timur ruang kerja. Tak ada jejak hujan seperti kemarin. Langit bersih, terlalu terang untuk mewakili isi kepala Nathan hari ini.

Di ruangan itu, dua meja kerja berdiri terpisah, tapi posisi duduk mereka membentuk formasi seperti huruf L. Nathan duduk menghadap ke arah jendela, sementara Alea di sisi sampingnya, menghadap ke arah rak dokumen. Tidak saling berhadapan, tapi cukup dekat untuk menangkap ekspresi satu sama lain dari sudut mata.

Suara ketikan keyboard terdengar dari meja Alea, ritmis dan cepat. Sementara Nathan, meski sudah duduk sejak satu jam lalu, belum juga mengetik apa pun. Pandangannya kosong, tangan kirinya menopang dagu, dan layar laptopnya masih berada di halaman yang sama sejak pagi.

Alea melirik dari samping, masih dengan jari yang tetap menari di atas keyboard.

"Ada yang mengganggu, Pak?" tanyanya pelan, tanpa menoleh.

Nathan diam sebentar sebelum menjawab. Tatapannya tak berubah, tetap tertuju ke depan, tapi nadanya terdengar berat.

"Kamu tahu soal bisnis baru Ayah di Kanada?"

Alea menghentikan ketikannya sejenak, lalu kembali menekan beberapa tombol. "Saya pernah dengar sekilas kalau Pak Bima memang punya rencana ekspansi, tapi soal tempat dan detailnya saya tidak tahu pasti. Jadi... benar di Kanada, Pak?"

Nathan mengangguk kecil. "Iya. Waktu itu masih tahap awal, belum jelas. Tapi sekarang... semua udah siap. Legalitasnya selesai. Infrastruktur udah jadi. Mereka cuma tinggal nunggu aku."

Alea mengalihkan pandang ke Nathan. Tatapannya penuh perhatian, tapi tidak menghakimi.

"Itu kenapa Bapak kelihatan murung akhir-akhir ini?"

Nathan mendesah, lalu bersandar di kursi. "Aku nggak pernah tahu soal ini sampai beberapa hari lalu. Pak Jatmiko datang bawa semua berkas. Katanya, Ayah emang nyiapin ini buat aku. Buat aku kelola ketika aku sudah bisa diberi amanah. Tidak ada yang menyangka aku diberi amanah secepat ini, Alea. Aku merasa aku masih baru bisa berjalan, tapi kedaan seakan memaksaku untuk berlari."

Alea memutar tubuhnya sedikit, menghadap ke arah Nathan. Tatapannya lembut, tak ada nada menyela, hanya mendengarkan.

"Kadang hidup memang tidak menunggu kita siap, Pak," katanya pelan. "Tapi kalau Pak Bima mempercayakan ini semua untuk Bapak, berarti beliau tahu... Bapak punya sesuatu yang bahkan Bapak sendiri belum sadar."

Nathan tersenyum tipis, tapi tak ada bahagia dalam senyumnya. "Aku bahkan baru bisa nahan diri buat nggak panik kalau ada rapat dadakan. Baru bisa ngerti neraca keuangan tanpa butuh catatan kaki. Dan sekarang, aku disuruh pegang sesuatu yang lebih besar, lebih jauh, lebih rumit... di negeri yang bahkan belum pernah aku kunjungi."

Ia tertawa pelan, hambar. "Gila aja, kan?"

Alea ikut tersenyum, tapi tak menimpali tawa itu.

"Bapak pernah bilang ke saya, waktu awal-awal kita kerja sekantor, kalau belajar itu bukan tentang tahu semua jawabannya... tapi soal cukup berani buat terus nyari tahu. Mungkin ini saatnya Bapak buktiin sendiri kata-kata itu."

Nathan menunduk, menatap jemarinya yang bertaut di pangkuan. "Iya... cuma satu hal yang bikin aku terus muter di sini."

"Kayla?" tebak Alea.

Nathan mengangguk.

"Aku baru bisa bikin dia percaya lagi, Alea. Butuh waktu. Nggak cuma sehari-dua hari. Enam bulan ini... semuanya aku bangun dari nol lagi. Aku pelan-pelan buktiin ke dia kalau aku berubah. Kalau aku bisa jadi seseorang yang layak. Dan sekarang... saat semuanya mulai stabil, aku harus pergi? Gimana aku bisa jelasin itu ke dia tanpa bikin semuanya jatuh lagi?"

Alea terdiam sejenak, lalu menjawab, "Kadang... bukan perginya yang bikin segalanya runtuh, tapi ketidakjujurannya. Dia pasti ngerti, kalau yang dia cintai bukan cuma tubuh Bapak yang ada di sampingnya... tapi juga jujur dan hati Bapak yang mau diajak jalan bareng."

Nathan menatap Alea. Sorot matanya melembut, perlahan mengangguk, meski ragu masih tersisa di sana.

"Terima kasih, Alea."

Alea tersenyum tipis. "Sama-sama, Pak. Tapi jangan nunggu terlalu lama. Perempuan bisa sabar, tapi bukan berarti dia tidak bisa pergi kalau terlalu lama ditinggalkan tanpa kejelasan. Memang rencana berapa lama di Kanada?"

"Paling lama dua tahun."

"Tidak terlalu lama. Bapak dan Kayla sama-sama sibuk nantinya, dua tahun tidak akan terasa.

Nathan tersenyum tipis, tapi tak ada keyakinan dalam senyumnya. Ia tahu Alea sedang berusaha menenangkannya seperti biasa. Tapi dua tahun bukan waktu yang sebentar ketika yang dipertaruhkan adalah hati seseorang, terutama hati yang pernah retak dan baru saja diperbaiki.

"Alea," katanya pelan, suaranya terdengar berat, "aku takut, saat aku pulang nanti, yang aku tuju udah nggak nungguin aku lagi."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!