NovelToon NovelToon
Kutukan Seraphyne

Kutukan Seraphyne

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Cintapertama / Reinkarnasi / Iblis / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:653
Nilai: 5
Nama Author: Iasna

Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.

Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.

Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7: Perasaan yang Terkunci

Seraphyne masih terbaring di dalam kolam, rambutnya menyebar seperti bayangan arus api yang tenang di antara air dingin. Matanya yang merah tembaga—warna yang tak biasa untuk seorang penyembuh biasa—menatap wajah Alvaren yang dipenuhi tanda tanya.

“Siapa kau sebenarnya?” ulang Alvaren, kali ini dengan suara yang lebih pelan, tapi menyayat hati.

Seraphyne terdiam. Air kolam seperti menahan napas, menunggu jawabannya.

Mareen dan Rae telah mundur ke kejauhan, memberi ruang yang seharusnya menjadi milik dua jiwa yang masih terikat oleh masa lalu—meski hanya satu dari mereka yang menyadarinya.

"Aku… hanya penyembuh keliling,” jawab Seraphyne akhirnya, lirih. “Yang kebetulan tinggal di desa yang sama denganmu, Panglima.”

Alvaren mengerutkan alis. “Kau tidak hanya seorang penyembuh. Kau terlalu tenang menghadapi kematian. Terlalu tahu soal luka yang tak bisa dilihat. Dan waktu kita bertemu di perkampungan militer... rasanya seperti aku pernah mengenalmu.”

Seraphyne menoleh, menghindari tatapannya. “Kalau perasaan itu datang… mungkin karena kau orang yang hangat terhadap siapa pun.”

“Tapi hanya saat melihatmu aku merasa… hampa,” Alvaren bergumam. “Seperti ada sesuatu yang pernah hilang.”

Air di kolam bergelombang kecil. Seraphyne memejamkan mata. Dadanya terasa perih—lebih perih daripada saat ia merenggut nyawa.

“Kau memimpikan sesuatu?” tanyanya pelan.

Alvaren menatapnya. “Ya. Mimpi tentang istana yang terbakar. Tentang wanita berpakaian merah gelap yang berdiri sendiri, menangis. Tentang diriku, duduk di singgasana yang retak.”

Jantung Seraphyne berdebar lebih cepat.

“Kau ada di sana,” lanjut Alvaren. “Aku memanggilmu, tapi kau tak menjawab. Dan setiap kali aku mendekat, api datang dan memisahkan kita.”

Alvaren mengulurkan tangan, menyentuh permukaan air di dekat Seraphyne. “Apakah kau… pernah mengenalku sebelumnya?”

Seraphyne ingin menjawab ya. Ingin meraih tangannya, menggenggamnya, dan membisikkan semua hal yang ia simpan selama dua abad, rasa kehilangan, pengkhianatan, cinta yang membusuk oleh waktu dan takdir.

Tapi yang keluar hanya, “Kau hanya terjebak dalam mimpi lama dari dunia yang telah hilang.”

Alvaren menunduk. “Mungkin begitu…”

Ia berdiri, lalu melangkah menjauh, menyisakan keheningan yang menggantung. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia berbalik dan berkata,

“Jika kau bukan orang yang pernah kukenal… mengapa kau menangis saat aku memanggilmu Seraphyne dalam mimpi itu?”

Seraphyne tak menjawab. Ia hanya memandangi langit yang kelam di atasnya, dan membiarkan air kolam menyembunyikan air matanya.

...****************...

Malam turun di Narathor, membawa hawa dingin yang menggigit dan kesunyian yang mencekam. Seraphyne meninggalkan desa lewat jalur tersembunyi, mengenakan jubah gelap yang menyamarkan identitasnya. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi suara panggilan dari Istana Api terlalu kuat untuk diabaikan.

Langkahnya menuntun ke reruntuhan yang hanya bisa diakses oleh para pemilik Batu. Saat dia memasuki gerbang besar yang telah ditelan waktu, api menyala secara otomatis, menciptakan koridor cahaya merah keemasan.

Ia tak sendiri. Di tengah aula, berdiri seseorang. Jubah ungu gelap menjuntai sampai lantai, dan dari balik bayangan, suara berat itu menyapa dengan nada sinis.

“Wajahmu masih anggun, bahkan setelah dua abad, Ratu.”

Seraphyne berhenti, tubuhnya menegang. Suara itu bukan sapaan penuh hormat. Itu adalah gema masa lalu yang membusuk oleh pengkhianatan.

“Thalean,” katanya, nyaris berbisik.

Pria itu tersenyum—senyum penuh licik dan dosa. Mata yang dulu tampak setia kini menyimpan kekelaman. “Kukira kita pantas untuk reuni. Setelah semua yang terjadi.”

“Termasuk pengkhianatanmu?” jawab Seraphyne tajam. “Kau... orang yang membuka gerbang istana pada malam penyerbuan. Raja mati karena kepercayaan padamu.”

Thalean tidak menyangkal. Ia justru melangkah lebih dekat, matanya menyala merah seperti bara. “Dan kau... memilih jadi makhluk abadi demi pria yang tak bisa kau selamatkan.”

“Diam!” seru Seraphyne. Api di sekeliling mereka menyala lebih tinggi, bereaksi pada emosinya. “Kau harusnya mati di tangan rakyat!”

“Aku mati,” sahut Thalean tenang. “Tapi seperti kau, aku kembali. Reinkarnasi bukan berkah, Seraphyne. Ini siklus yang belum selesai. Aku membawa sesuatu yang tak kau miliki. Sesuatu yang sebenarnya kau inginkan dibanding memiliki batu api.”

Dari balik jubahnya, ia mengangkat sebongkah batu hitam berurat tembaga. Ia tidak sekadar memegangnya—batu itu berdetak selaras dengan nadinya.

“Batu itu…” desis Seraphyne.

“Batu Kehendak,” kata Thalean. “Ia tak memilih siapa pun. Tapi ia mendengar suara yang cukup kuat. Dan sekarang, aku mendengarnya.”

Seraphyne melangkah mundur, napasnya memburu. Dunia mulai terungkap. Kehidupan yang ia pikir telah dikutuk ternyata bagian dari permainan jauh lebih besar.

“Alvaren... jika dia tahu siapa kau sebenarnya...”

“Dia tidak tahu,” potong Thalean. “Dan jika aku berhasil, dia tak akan pernah tahu. Karena Batu Kehendak bisa memberikan semua hal yang Batu Api tolak darimu.”

Kedua tangan Seraphyne terkepal, matanya mengeluarkan semburat merah api—menyala selaras dengan emosinya saat ini. "Sungguh tidak adil. Kenapa orang-orang sepertimu bisa mendapatkan sesuatu dengan mudah? Setelah dosa besar yang kau lakukan di masa lalu!"

Thalean tertawa terbahak-bahak. Tawa penuh kemenangan. "Bukankah kau sendiri tahu, Seraphyne? Kau sendiri menyaksikan selama 200 tahun ini bukan?"

"Jika pemilik batu lain tahu, kau akan dihabisi, Thalean!"

"Aku tidak takut. Batu ini bahkan bisa menghancurkan batu lain, Seraphyne. Katakan pada pemilik batu lainnya, jika tidak ingin hancur, maka jangan pernah mengusikku! Termasuk kau, Seraphyne!"

Seraphyne meneguk salivanya. "Di kehidupan ini, apa yang kau inginkan?"

"Apa kau akan mengabulkan permintaanku dengan batu api?" tanya Thalean dengan meremehkan.

Thalean berjalan mendekati Seraphyne, cahaya gelap mengelilinginya.

"Aku akan membantu Alvaren mengingat semuanya."

"Tidak!"

Thalean kembali tertawa. "Bukankah tidak seru jika aku mengacungkan pedang tapi Alvaren tidak tahu apa-apa? Sama seperti ketika aku meminta Alvaren kembali ke istana dan Desa Narathor dihancurkan."

Seraphyne mengerutkan dahinya. "Kau.."

"Aku bukan raja. Aku adalah penasihat raja. Ada yang lebih menarik, Seraphyne. Raja saat ini adalah reinkarnasi adik Alvaren di masa lalu, dulu dia adalah panglima perang. Mereka bertukar posisi di masa sekarang. Kau sendiri tahu bagaimana hubungan keduanya, bukan? Jika aku membangunkan ingatan mereka, menurutmu apa yang akan terjadi?"

Seraphyne memejamkan kedua matanya, kepalanya mulai berdenyut sakit. Takdir benar-benar mempermainkan kehidupannya.

"Aku bisa memberikan apapun yang kau minta, tolong biarkan mereka tidak mengingat segalanya!"

Thalean tersenyum sinis. "Terlambat, Seraphyne. Alvaren mulai penasaran dengan dirimu. Cepat atau lambat ingatannya akan kembali sepenuhnya dan saat itu tiba, kau tahu sendiri tempat mana yang akan dia datangi."

"Aku sangat menantikan kedatangannya."

Setelah mengatakan hal itu, Thalean langsung menghilang—meninggalkan Seraphyne sendirian yang masih mencerna semuanya. Hanya satu tempat yang ada di pikirannya saat ini, batu api purba.

Dia melangkah menuju batu api purba untuk mencari jawaban disana.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!