SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pedang Menyala dan Manifestasi Amal Buruk
🗡️ Pedang Api dan Tangan Menyeramkan
Siksa kubur terhadap Slamet telah memasuki babak baru yang lebih kejam. Jeritan bisu Slamet, "Haa! Haa!", semakin memilukan. Sinta, di sisinya, kini tak lebih dari massa teror yang menangis, terbungkus kain kafan.
Tiba-tiba, hukuman dari atas kembali muncul. Bukan godam, melainkan manifestasi yang memiliki bentuk yang lebih jelas dan mematikan.
Di atas kepala Slamet, muncul tangan panjang dengan kuku panjang yang sangat menyeramkan. Tangan itu bukan tangan manusia; kulitnya hitam, keriput, dan memancarkan aura dingin yang mengancam. Tangan itu membawa pedang sangat panjang dan tajam, yang menyala dengan api berwarna ungu gelap.
Malaikat Siksa, atau perwujudan hukuman itu, kini beraksi dengan lebih personal dan mematikan.
Dan tanpa aba-aba, dia langsung bacok kepala Slamet!
Pedang menyala itu turun dengan kecepatan kilat.
Kepalanya terbelah menjadi 2 secara vertikal. Darah hitam kental menyembur, mengenai kain kafan Sinta. Sinta mengeluarkan rintihan rendah, suara yang lebih menyeramkan daripada jeritan.
🦂 Manifestasi Serangga dari Dosa
Saat kepala Slamet terbelah, alih-alih hanya daging dan tulang, sesuatu yang hidup dan bergerak keluar dari dalamnya.
Muncul sebuah serangga berbisa banyak banget, seperti laba-laba, kalajengking, dan lain-lainnya.
Ratusan serangga berbisa itu, hitam, ganas, dan beracun, merayap keluar dari belahan kepala dan tubuh Slamet. Mereka adalah manifestasi dari kejahatan tersembunyi Slamet.
Serangga-serangga itu langsung mengkerubuti Slamet. Mereka merayap ke seluruh tubuhnya, menggigit, menyengat, dan mengoyak kulitnya.
Slamet berteriak-teriak tanpa suara, tubuhnya menggeliat kesakitan, berusaha mengusir serangga-serangga yang tak terhitung jumlahnya.
Dan seperti Balok Amal Buruk, serangga-serangga itu mulai berbicara, suara desisan mereka terdengar seperti jutaan bisikan yang menghukum.
"Ana 'amaluka al-khabith, li-annaka akalta mal al-yatim!"
Sinta, yang kini bisa memahami Bahasa Arab, membeku. Ia menerjemahkan vonis itu di benaknya: Aku adalah amal burukmu, karena kamu memakan uang hak anak yatim!
Serangga-serangga itu mengkonfirmasi dosa tersembunyi Slamet—ia telah memakan uang hak anak yatim saat menjadi pengurus pesantren, dosa yang lebih tersembunyi daripada pelecehan yang ia biarkan terjadi.
Dengan beringas, serangga-serangga itu mengkerubuti dan mencabik-cabik Slamet, menunjukkan bahwa dosa-dosa kecil yang tersembunyi pun menjadi alat penyiksaan yang hidup.
🐍 Lilitan Kobra dan Pencungkilan Mata
Siksaan tidak pernah datang sendirian.
Tepat saat serangga-serangga itu mencabik Slamet, datang ular berkepala banyak berbadan satu. Ular itu meluncur dengan cepat, melilit Slamet.
Ular melilit dengan kencang hingga badannya remuk!
Lilitan itu mengencang, menghancurkan Slamet menjadi bubur, namun ia kembali utuh hanya untuk menghadapi siksaan berikutnya.
Lalu, giliran Malaikat Siksa dengan kuku panjangnya.
Slamet, dengan wajah yang berdarah dan penuh bekas patukan, dipaksa menatap.
Mata Slamet dicongkel, ditusuk oleh kuku yang sangat tajam dari tangan raksasa itu. Bola matanya ditarik keluar, menyisakan rongga kosong.
Tangan itu kini berbicara, nadanya dingin dan menghukum.
"Hadhihi qimatul-ghadr, fatadhawwaq al-'adzab!"
Sinta menerjemahkan: Ini adalah nilai dari pengkhianatan, maka rasakanlah siksaan!
Siksaan itu terus berulang. Kepala Slamet pulih dari belahan pedang, matanya pulih dari congkelan, tubuhnya pulih dari lilitan, hanya untuk disambut oleh pukulan godam dari Malaikat lain.
Sinta menangis-nangis. Tubuhnya gemetar tak terkendali. Ia telah menyaksikan pembalasan yang sempurna dan tak berampun.
Ia telah melihat kebenaran yang paling ia tolak. Ia telah salah. Siksa kubur itu nyata.
Tangisan Sinta adalah pengakuan imannya yang baru, lahir dari trauma yang paling dalam. Ia kini hanyalah tawanan yang ketakutan, menunggu sampai ia diselamatkan, membawa serta keyakinan yang menghancurkan jiwa.Histeris
🐔 Manifestasi Ayam Hitam
Di tengah siklus penghancuran dan pemulihan tubuh Slamet, di saat ular-ular melilit dan tangan raksasa memukulnya, sebuah manifestasi kengerian baru muncul.
Tiba-tiba, dari sudut gelap liang lahat, datang sebuah ayam hitam. Awalnya hanya ada satu ayam. Ayam itu adalah entitas yang aneh, matanya merah menyala dan bulunya hitam pekat, tidak mengeluarkan suara, hanya berjalan dengan langkah menyeramkan.
Ayam itu mendekat, dan ketika ia sampai di depan wajah Slamet yang babak belur, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Ayam itu jadi banyak! Sekejap, ayam hitam itu berlipat ganda, puluhan ekor memenuhi ruang sempit itu, mengabaikan kehadiran Sinta.
Ayam-ayam itu berdiri, leher mereka memanjang, dan mereka menganga mulutnya sangat seram. Gigi-gigi tajam, tidak seperti ayam biasa, terlihat di paruh mereka.
Dan seperti Balok dan Serangga, ayam-ayam itu mulai berbicara dengan suara serentak yang memekakkan.
"Hadha jazau fasadika!"
Dan berkata, "Ini balasan dari hasil korupsimu!" dalam Bahasa Arab.
Slamet, sang mantan pengurus pesantren, dihukum atas dosa tersembunyi lainnya: korupsi dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan.
🐓 Patukan dan Jeritan yang Menghancurkan
Ayam-ayam hitam itu menyerang secara kolektif, dengan keganasan yang tak terbayangkan.
Ayam itu mematuk-matuk hingga hancur tubuh Slamet. Setiap patukan bukan hanya merobek daging, tetapi juga menghancurkan tulang. Tubuh Slamet dicabik-cabik oleh paruh-paruh tajam itu.
Sangat menyeramkan, suara teriakannya si Slamet sangat menyeramkan. Meskipun suaranya tidak bisa keluar selain "Haa! Haa!", jeritan batin Slamet terdengar jelas dan menyiksa, memenuhi udara pengap di liang lahat.
Dan tanpa ampun, ayam itu mencabik-cabik dengan cekernya yang tajam. Cakar-cakar ayam itu mengoyak tubuh Slamet, memastikan setiap bagiannya merasakan sakit.
Dan mematuk makan matanya. Mata Slamet, yang baru saja pulih dari congkelan kuku, kini menjadi sasaran ayam-ayam itu. Mereka memakan matanya, namun bola mata itu tumbuh kembali, hanya untuk dimakan lagi dalam siklus yang tak berakhir.
🙏 Tobat Histeris Sinta
Sinta sudah tidak sanggup lagi. Ia telah menyaksikan segala bentuk penyiksaan yang dijanjikan di neraka, termanifestasi di sampingnya. Siksaan fisik, spiritual, dan manifestasi amal buruk yang berbicara dalam Bahasa Arab—semua menegaskan kebenahan keyakinan yang ia sangkal.
Sinta selalu ketakutan. Tubuhnya gemetar tak terkendali di dalam balutan kain kafan. Pikiran logisnya telah hancur total.
Ia tidak lagi memikirkan sains, atau hipokrasi manusia di pesantren Nini. Ia hanya melihat kebenaran yang kejam dan tak terhindarkan ini.
Ia menjerit histeris, suaranya tercekat dan teredam di antara kain kafan, tetapi ia mengeluarkannya dengan sekuat tenaga, sebuah pernyataan iman yang lahir dari teror.
"Ya Allah! Saya mau tobat!"
Dengan suara trauma histeris karna gak kuat melihatnya.
Sinta menjerit. Ia memohon pengampunan, ia memohon untuk dikeluarkan dari tempat itu. Semua kesombongan intelektualnya hilang. Ia tidak ingin lagi menjadi saksi, ia tidak ingin lagi membuktikan apa pun. Ia hanya ingin diselamatkan dari kebenaran yang telah menghancurkannya.
Ia kini percaya, bukan karena ceramah Ustaz Fikri, melainkan karena ia melihat neraka yang nyata di sisi mayat hidup.
Siksaan Pak Slamet terus berlanjut, tetapi kini, perhatian Sinta terfokus pada satu-satunya harapan: memohon kepada Allah yang Mahakuasa untuk melepaskannya dari teror ini.