NovelToon NovelToon
Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Cinta Beda Dunia / Cinta Terlarang / Mata Batin / Romansa / Reinkarnasi
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23: Wulan Mulai Menjauh

Wulan jalan cepat menyusuri gang-gang kampung—napasnya terengah-engah, hati berdebar keras.

Dia nanya ke beberapa orang—"Maaf, Ponpes Al-Hasani di mana ya?"—sampai akhirnya ada bapak-bapak tua yang nunjukin jalan.

"Lurus aja terus, sampe ujung. Nanti belok kiri, ada gapura hijau. Itu Ponpes Al-Hasani."

"Terima kasih, Pak."

Wulan jalan lagi—lebih cepat—kakinya mulai pegal tapi dia nggak peduli. Yang ada di pikirannya cuma satu: Arsyan. Aku harus selamatkan dia.

Lima belas menit kemudian, dia sampai.

Gapura hijau besar dengan tulisan "Pondok Pesantren Al-Hasani" di atasnya. Halaman luas, bersih, ada beberapa santri lagi ngaji di teras. Suara lantunan Qur'an terdengar merdu dari dalam gedung.

Wulan masuk dengan langkah ragu—nggak yakin apa dia boleh masuk atau nggak.

Seorang santri muda menghampirinya. "Assalamu'alaikum. Ada yang bisa dibantu, Mbak?"

"Wa'alaikumsalam. Saya... saya mau ketemu Kyai Hasan. Ini... ini penting banget."

Santri itu menatap Wulan sebentar—lalu mengangguk. "Tunggu sebentar ya, Mbak. Saya panggilin Kyai."

Beberapa menit kemudian, Kyai Hasan keluar—pake sarung putih, baju koko, peci putih, wajah tenang tapi mata tajam penuh kebijaksanaan.

Begitu dia lihat Wulan—matanya sedikit menyipit—kayak dia udah tau kenapa Wulan datang.

"Wulan," sapa Kyai Hasan pelan. "Ayo, masuk. Kita bicara di ruangan saya."

Wulan mengangguk—mengikuti Kyai Hasan masuk ke ruangan kecil yang sederhana—ada meja kayu, dua kursi, rak buku penuh kitab kuning.

Mereka duduk berhadapan.

Wulan napasnya berat—tangannya gemetar di pangkuan—matanya udah berkaca-kaca.

"Kyai... saya—"

"Saya sudah tahu," potong Kyai Hasan pelan—tapi tegas.

Wulan terdiam—mata membelalak sedikit.

Kyai Hasan menghela napas panjang. "Arsyan... dia dikutuk. Kutukan dari kerajaan jin. Karena menikah denganmu."

Wulan nggak bisa nahan lagi—air matanya jatuh. "Kyai... bagaimana Kyai bisa tau?"

"Saya lihat auranya kemarin. Aura kematian yang perlahan merayap. Dan saya... saya sudah duga ini akan terjadi." Kyai Hasan menatap Wulan dengan tatapan... sedih. "Inilah konsekuensinya, Nak. Konsekuensi dari cinta yang melawan takdir."

"Tapi Kyai—ada cara nggak buat ngilangin kutukan ini? Kumohon—saya rela apapun—asal Arsyan selamat—"

"Ada satu cara."

Wulan langsung mendongak—mata penuh harap. "Apa, Kyai? Apapun saya mau lakukan!"

"Kamu harus jauhi dia."

Hening.

Wulan menatap Kyai Hasan—nggak percaya apa yang dia denger.

"Jauhi... maksud Kyai gimana?"

"Jauhi secara fisik. Jangan berinteraksi terlalu dekat. Jangan bersentuhan kulit. Karena kutukan ini... bekerja lewat ikatan emosional dan fisik. Semakin dekat kamu dengan Arsyan... semakin cepat nyawanya terkuras."

Wulan menggeleng keras—air matanya makin deras. "Tapi... tapi saya nggak bisa jauh dari dia, Kyai! Dia... dia suami saya! Gimana saya bisa—"

"Bukan pergi, Nak. Bukan ninggalin dia. Tapi jauhi. Kurangi interaksi. Kurangi sentuhan. Buat jarak." Kyai Hasan condong ke depan—suaranya lembut tapi tegas. "Ini satu-satunya cara buat memperlambat kutukan. Kalau kamu tetep deket sama dia seperti biasa... dia akan mati lebih cepat."

Wulan menutup muka dengan kedua tangan—nangis keras—tubuhnya bergetar.

"Kenapa... kenapa harus kayak gini... kenapa harus susah banget..."

Kyai Hasan diam—membiarkan Wulan menangis—memberi waktu buat dia mengeluarkan semua beban.

Setelah beberapa menit, Wulan mengangkat wajahnya—mata merah, pipi basah.

"Kyai... apa... apa nggak ada cara lain? Cara buat ngilangin kutukan selamanya?"

Kyai Hasan menggeleng pelan. "Kutukan ini... kutukan kuno dari kerajaan jin. Hanya ibumu yang bisa mencabut. Atau..." dia berhenti sebentar. "...atau kamu pulang ke kerajaan. Kalau kamu pulang... kutukan akan hilang."

"Tapi kalau saya pulang... saya nggak akan bisa ketemu Arsyan lagi selamanya..."

"Iya. Itulah pilihanmu, Nak. Pilih dia hidup tanpa kamu... atau dia mati bersamamu."

Wulan nangis lagi—nangis yang putus asa—nangis yang nggak ada jawaban.

Kyai Hasan berdiri—berjalan ke rak buku—ambil sebuah tasbih kayu tua—lalu kasih ke Wulan.

"Ini. Pakai ini. Baca istighfar setiap hari. Buat kamu dan Arsyan. Doa... adalah senjata paling kuat yang kita punya."

Wulan terima tasbih itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Kyai..."

"Dan ingat, Nak. Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hambanya. Percaya pada-Nya."

Wulan mengangguk lemah—lalu pamit pulang.

Sepanjang jalan pulang—dia nangis diam-diam.

Dalam hatinya cuma satu pertanyaan: Gimana aku bisa jauhi Arsyan... kalau aku cinta dia?

Tapi dia tau... dia harus.

Kalau dia nggak mau Arsyan mati lebih cepat.

Sampai di rumah, Wulan langsung masuk kamar—liat Arsyan masih tidur pulas, napas pelan tapi teratur.

Dia duduk di pinggir kasur—menatap wajah suaminya yang pucat—tangan terangkat pengen ngelus pipinya—tapi dia tahan.

Jangan sentuh. Kalau kamu sentuh... kamu akan membunuhnya lebih cepat.

Air matanya jatuh lagi—tapi diam-diam—nggak bersuara.

Lalu dia bisik pelan—sangat pelan—hampir nggak kedengeran.

"Maafin aku, Mas. Mulai sekarang... aku harus jauh dari Mas. Bukan karena aku nggak cinta. Tapi... karena aku terlalu cinta."

Sejak hari itu, Wulan berubah.

Dia jadi dingin.

Dingin secara emosional—nggak kayak Wulan yang dulu.

Dia nggak banyak bicara lagi. Kalau Arsyan ajak ngobrol, dia cuma jawab seadanya—pendek-pendek—nggak antusias.

Dia nggak banyak senyum. Wajahnya datar—kosong—kayak boneka tanpa jiwa.

Dan yang paling menyakitkan—dia nggak pernah sentuh Arsyan lagi.

Nggak pegang tangan. Nggak peluk. Bahkan duduk pun jaga jarak.

Arsyan... bingung total.

Sore itu, Arsyan duduk di teras—menatap Wulan yang lagi nyapu halaman dengan wajah kosong.

"Wulan..."

Wulan berhenti nyapu—tapi nggak noleh.

"Iya, Mas?"

"Kamu... kamu kenapa akhir-akhir ini?"

"Nggak kenapa-kenapa."

"Bohong." Arsyan berdiri—meskipun masih agak pusing—jalan mendekat. "Kamu jadi dingin. Kamu nggak pernah senyum lagi. Kamu... kamu kayak nggak cinta aku lagi."

Wulan menggenggam sapu erat—rahangnya mengeras—menahan air mata.

"Aku masih cinta Mas."

"Terus kenapa kamu jadi kayak gini? Aku... aku salah apa?"

Wulan diam—bibir gemetar—pengen jelasin—tapi gimana cara jelasinnya?

Arsyan jalan lebih deket—pengen pegang tangan Wulan—tapi Wulan mundur cepat.

"Jangan... jangan sentuh aku, Mas."

Arsyan terdiam—menatap Wulan dengan tatapan... terluka.

"Kenapa? Kenapa aku nggak boleh sentuh kamu? Kamu... kamu istriku!"

Wulan menunduk—air matanya akhirnya jatuh—tapi dia nggak ngangkat muka—nggak mau Arsyan liat.

Dalam hatinya dia berteriak: Karena setiap sentuhan... membunuhmu perlahan, Mas. Setiap pelukan... mempercepat kematianmu. Aku... aku nggak mau jadi pembunuhmu.

Tapi yang keluar dari mulutnya cuma, "Maafin aku, Mas. Aku... aku lagi nggak enak badan."

Lalu dia jalan cepat masuk rumah—ninggalin Arsyan sendirian di halaman—dengan hati yang hancur.

Arsyan berdiri di sana—menatap punggung Wulan yang menghilang—dadanya sesak.

Kenapa... kenapa rasanya... aku udah kehilangan dia... meskipun dia masih di sini?

Dan malam itu, Wulan nangis sendirian di kamar mandi—tangan nutup mulut biar nggak kedengeran—sambil bisik berulang-ulang:

"Maafin aku, Mas... maafin aku..."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!