Dunia Elea jungkir-balik di saat dirinya tahu, ia adalah anak yang diculik. Menemukan keluarga aslinya yang bukan orang sembarangan, tidak mudah untuk Elea beradaptasi. Meskipun ia adalah darah keturunan dari Baskara, Elea harus membuktikan diri jika ia pantas menjadi bagian dari Baskara. Lantas bagaimana jika Elea merasa tempat itu terlalu tinggi untuk ia raih, terlalu terjal untuk ia daki.
"Lo cuma punya darah Baskara doang tapi, gue yang layak jadi bagian dari Baskara," ujar Rania lantang.
Senyum sinis terbit di bibir Elea. "Ya, udah ambil aja. Tapi, jangan nangis jika gue bakalan rebut cowo yang lo suka."
🌼🌼🌼
"Gue jadi milik lo? Cewe bego kek lo? Lo dan Rania nggak bisa disamain," cibir Saka dengan tatapan merendahkan.
Elea tersenyum kecut. "Ah, gitu kah? Kita bisa liat apakah pandangan lo akan berubah terhadap gue dan Rania, Saka!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8| Kemarahan
PLAK!
Kerasnya suara tamparan membuat para maid di mansion terkesiap, mereka langsung memilih menepi dari ruangan keluarga. Sorot mata tajam melirik ke arah putri kandungnya, Zion membuang muka. Rania mengigit bibirnya, ekspresinya nampak dibuat-buat sedih.
Denyutan di pipi Elea tidak membuat sang gadis remaja menatap kecewa ke arah sang ibu, bibirnya malah ditarik tinggi ke atas. Pesta mewah yang digelar berakhir kacau hanya karena ulah Elea, kehadiran Isyana di sana dengan gaun super mewah. Yang harusnya digunakan oleh Rania malah dikenakan oleh gadis itu, membuat Rania ditertawakan dari belakang.
"Jadi ini maksudmu, hingga kamu bersikeras buat jadiin gaun itu punyamu. Buat mempermalukan saudaramu sendiri, Elea," berang Diana tak percaya dengan tindakan sang putri.
Diana pikir putrinya ini merasa iri dengan apa yang diberikan pada Rania, karena ulang tahun Rania lebih dahulu dirayakan. Jadi, sang putri ingin gaun mahal yang harusnya dikenakan oleh Rania untuk dirinya miliki. Diana terkejut melihat gaun itu malah digunakan oleh gadis lain, Elea benar-benar picik.
"Eh, kenapa Mami harus marah. Gaun itu udah jadi milik El, mau diapain. Emang urusannya apa sama Mami?" Elea menjawab dengan pongah, "oh, soal saudara. Sejak kapan Rania jadi saudaranya El, Mi? Apakah rahim Mami juga ngelahirin Rania."
"ELEA!" teriak Diana marah, kedua sisi bahunya naik-turun.
Rania tersenyum tipis sekali, ia suka sekali menonton pertunjukan satu ini. Ibunya selalu berada di sisinya, Rania tahu sekali kelemahan Diana. Elea terlalu bodoh, ia tidak tahu bagaimana caranya untuk mendapatkan hati orang-orang. Gadis satu ini hanya tahu cara membuat orang lain emosi, Rania melangkah mendekati sang ibu.
"Udah, Mi! Nggak apa-apa kok, Rania paham. Rania bukan putri yang Mami lahirin, jadi wajar Elea nggak ngangep Rania saudara. Mami jangan marah nanti darah tinggi Mami kumat, Rania nggak mau cuma karena itu. Mami jadi jatoh sakit." Rania mengusap lembut lengan sang ibu, dan memeluknya.
"Rania bener, Mi! Dia emang nggak akan pernah ada matinya buat ngelakuin hal jahat. Mending sekarang Mami istirahat aja, ulang tahun Rania tahun besok lebih diperhatiin lagi biar nggak sekacau malam ini," sela Zion ikut angkat suara.
Diana mendesah berat, ia menoleh ke arah belakang senyum Rania membuat ia tenang. Kepala Diana mengangguk, tangan Diana mengusap lembut pipi Rania.
Hati Elea berdenyut nyeri, ia yang harusnya diperlukan seperti itu. Diana menoleh ke depan, tatapan mata penuh cinta itu berubah menjadi tatapan mata tajam seakan mengecam Elea.
"Oke, hari ini kamu Mami maafin," ujar Diana, "bukan karena kamu nggak salah tapi, karena Rania. Dia yang peduli sama ibunya ini, dibandingkan putri yang lahir dari rahim Mami sendiri."
Diana menyindir Elea, Diana mengandeng tangan Rania. Melangkah bersama dengan Rania, dan Zion. Gigi geraham Elea bergemeretak. Kedua matanya mengedar, ia melangkah mendekati tongkat golf di sudut ruangan.
PRANG! BRAK!
Langkah kaki ketiganya terhenti, mereka secara serentak menoleh ke belakang. Elea mengayunkan tongkat mukul keras piala, piagam, dan guci yang tersusun rapi di rak-rak untuk dipamerkan. Semuanya jatuh pecah menghantam lantai.
Diana melebarkan pupil matanya, kemarahan Elea tidak terbendung. Kedua sisi bahu Elea naik-turun, tongkat golf di buang asal.
"Lo udah gila, hah!" Zion membentak Elea menggelegar.
Elea mengangguk. "Ya, gue udah gila. Aneh kalo gue masih waras, yang gue hancurin itu benda mati. Dan lo bertanya apakah gue udah gila, tanpa tau gimana lo dan keluarga ini ngehancurin perasan gue," sahut Elea menggebu-gebu, "lo saudara gue paling gue benci, dan buat Mami. Mami nggak patas jadi Ibu, El harap hati Mami hancur berkeping-keping. Merasakan penyesalan tanpa batas, El harap Mami akan menangis darah. Bahkan di saat Mami menyembah di kaki El! El nggak akan pernah maafin Mami."
Jari telunjuk Elea terus menunjuk-nunjuk ke arah ibunya, dengan amarah yang bergelora. Kedua mata Elea memerah, Diana semakin tidak paham dengan putrinya.
Elea membalik tubuhnya, berlarian menuju anak tangga. Naik dan turun dengan cepat, Elea melangkah ke luar. Meninggalkan ketiganya, Zion mendesah berat mengusap kasar wajahnya.
"Sabar ya, Mi! Rania yakin, suatu saat nanti Elea akan paham. Kalo Mami sangat menyayanginya, Mami nggak usah pikirin apa yang barusan Elea omongin." Rania mengusap lembut punggung belakang Diana.
"Hah," desah Diana berat, "kenapa Elea nggak sedewasa Rania, dan sebaik Rania. Mami yang harusnya minta maaf, karena Elea kek gitu ke kamu, Sayang."
Kepala Rania mengeleng, senyum tipis lagi-lagi diulas.
...***...
Pintu penthouse dibuka, Elea masuki ruangan tamu. Mengedarkan pandangan matanya, pipi kirinya nampak membengkak karena tamparan sang ibu.
"Non Elea mau Nanny pindahin semua barang Non ke sini?" tanya wanita paruh baya di belakang tubuh Elea bersuara.
Kepala Elea mengeleng. "Nggak usah," jawab Elea cepat, "berkas-berkas soal wanita itu, apakah semuanya sudah Nanny dapetin?"
Wanita paruh baya itu mengangguk. "Sudah Non, semuanya sekarang sudah terkumpul. Non Elea mau langsung Nanny bawakan atau kirim via email?"
Elea mengerutkan dahinya, berpikir keras. Apa yang harus ia lakukan, dan siapkah ia membuka teka-teki kehilangan dirinya di masa lalu. Benarkah itu sebuah penculikan jika benar ia diculik. Bagaimana bisa orang sebesar keluarga Baskara tidak bisa menemukan putrinya sendiri, dibandingkan terus berusaha mencari dirinya.
Kenapa kedua orang tuanya menyerah, lebih memilih mengadopsi anak. Lantas jika ini bukan sebuah penculikan, apakah yang membuat Elea kehilangan ingatan di malam itu. Semuanya terasa samar-samar, Elea merasa ada beberapa puzzle yang hilang, hingga gambaran yang ada nampak samar.
"Uggh...." Elea terkesiap di saat kantong es ditempelkan di pipi kirinya oleh Nanny, entah kapan Mawar bergerak membawakan kantong es.
Wanita ini, hanya wanita satu ini yang berjuang. Ibu asuhnya ini cepat tanggap, bahkan di saat yang lain tidak mempercayai perkataannya. Ibu asuhnya ini langsung bergerak menemuinya di jalanan, melakukan tes DNA.
"Bengkak sekali," gumamnya, "harusnya Non Elea nggak melawan. Nyonya jika marah emang ringan tangan untuk memukul."
Elea tersenyum kecut. "Nanny," panggil Elea lirih.
Mawar melirik Elea dengan sorot mata lembut. "Ya, kenapa, Non?"
"Jika, seandainya saat itu El udah nggak ada. Apakah Nanny akan terus mencari El?" tanya Elea melembut.
Kepala Mawar mengangguk tegas. "Ya, Nanny akan mencari Non El meskipun ke ujung dunia sekali pun. Bahkan meskipun cuma tulang belulangnya aja, Nanny akan menemukan Non Elea," jawab Mawar tanpa keraguan di guratan ekspresi wajahnya.
Senyum terbit di bibir ranum Elea, suara pintu terbuka mengalun. Keduanya menoleh ke arah kehadiran pria paruh baya yang mendekati keduanya.
"Tuan Besar," gumam Mawar, menyingkir ke samping.
Guntur mendekati Elea, ia mendengar kabar keributan di mansion. Memerintahkan bawahannya untuk mencaritahu di mana sang putri berada, hingga mobilnya langsung melaju menuju penthouse.
"Hubungi Dokter Jo, Mawar!" titah Guntur pada ibu asuh Elea.
"Baik, Tuan Besar." Mawar dengan cepat merogoh sakunya.
Kantong es diambil alih oleh Guntur, pria paruh baya itu mendesah berat. Elea melirik kecil ke arah sang ayah, rasanya suasana seperti ini agak—ambigu untuk Elea. Tapi, ia tidak menolak perhatian yang diberikan oleh sang ayah.
"Hm..., Papi nggak marah?" tanya Elea melirik ke sembarang arah.
"Marah untuk apa?" tanya balik Guntur pada putrinya.
Dahi Elea berlipat. "Masa Papi nggak tau?"
"Soal gaun, itu yang Elea maksud," balas Guntur lembut.
"Ya."
"Gaun hanya kain yang nggak berharga, Elea. Dibandingkan putri Papi, kamu boleh ngelakuin apapun. Yang penting kamu bahagia, Papi nggak masalah. Asalkan tidak ngerugiin diri sendiri itu aja," tutur Guntur melirik intens ke arah sang putri.
Elea membeku, mendengar penuturan sang ayah. Manik matanya bergerak, ia membawa atensinya ke arah wajah sang ayah yang kini mengulas senyum untuk Elea.
Bersambung...
semangat 💪💪💪