Figuran Dalam Dunia Fiksi

Figuran Dalam Dunia Fiksi

Jelita Pramono

Di pojok kelas yang paling dekat dengan jendela, duduk seorang gadis dengan rambut hitam bergelombang, wajahnya berseri meski tak mengenakan riasan sedikit pun.

Namanya Jelita Pramono. Ia duduk dengan nyaman, satu tangan menggenggam novel, dan satu lagi memegang roti cokelat favoritnya. Mulutnya sibuk mengunyah, sementara matanya berbinar mengikuti kisah dalam buku berjudul ‘Cinta Untuk Laura’.

Gadis itu tampak tenggelam dalam dunia cerita, hingga suara gaduh dari pintu kelas mengusik ketenangannya.

“Yaaaah! Baca novel lagiii,” seru Gladis sambil berjalan masuk, suaranya lantang dan penuh protes.

Di belakangnya menyusul Prilly dan Fuji.

Jelita hanya menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Baru lima menit duduk, GLad.”

Gladis mendecak pelan. “Lima menit versi kamu tuh udah cukup buat terbang ke dunia lain.”

Prilly tertawa sambil menarik kursi di samping Jelita. Fuji pun ikut duduk di sisi lainnya.

“Judulnya apa kali ini?” tanya Prilly sambil melirik sampul buku yang terbuka di tangan Jelita.

“Cinta Untuk Laura,” jawab Jelita dengan semangat. “Seru banget, sumpah. Ceritanya tentang anak SMA bernama Laura yang dibully sama Meyriska, tunangannya Verrel, cowok yang Laura suka.”

Gladis mengangkat alis. “Tunggu, tunggu. Tunangannya si cowok malah nge-bully cewek yang disuka cowok itu?”

“Iya! Tapi Verrel tuh suka marah ke Meyriska karena Meyriska terus-terusan nyakitin Laura.”

Fuji ikut menyimak. “Terus si Verrel tahu perasaannya sendiri enggak? Maksudnya, sadar dia suka Laura?”

“Awalnya enggak. Tapi karena Meyriska makin keterlaluan, dia jadi makin dekat sama Laura. Kayak insting pelindungnya muncul terus gitu,” jelas Jelita dengan semangat.

Prilly mengangguk-angguk. “Klasik, tapi menarik. Si Laura ini kayak kamu ya, diem-diem tajam.”

“Diem-diem makan roti cokelat, maksud lo,” sahut Gladis sambil mencubit pipi Jelita.

Jelita hanya tertawa dan menepis tangan Gladis. “Eh jangan ganggu aku. Ini lagi bab penting. Verrel baru aja bentak Meyriska.”

“Ohhh! Bacain, bacain!” pinta Fuji antusias.

Jelita pun membuka halaman sebelumnya dan mulai membacakan dengan gaya ala narator drama:

“Kenapa kamu selalu kasar sama Laura, Mey?” suara Verrel terdengar tajam.

Meyriska menatap Verrel dengan mata memerah, seolah tak percaya akan dimarahi.

“Kamu belain dia lagi?! Dia itu cuma anak biasa, enggak punya apa-apa! Aku ini tunangan kamu, Rel”

“Dia punya hati, Mey. Tidak seperti kamu,” ucap Verrel dingin.

Meyriska terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada teriakan.

Sementara di belakang Verrel, Laura tidak bisa menahan air mata.

Gladis berdecak kagum. “Wow, si Verrel ini fix cowok idaman. Tegas tapi lembut.”

“Kayaknya Jelita udah baper duluan,” goda Prilly sambil menatap sahabatnya yang kini senyum-senyum sendiri.

“Baperin fiksi gapapa. Yang penting enggak baperin mantan,” kata Jelita, membuat semua tertawa.

Fuji menyandarkan dagunya ke meja. “Coba ya, ada cowok kayak Verrel di dunia nyata. Yang tahu mana yang benar, yang berani ngomong meski lawannya tunangannya sendiri.”

“Eh tapi serius deh,” kata Jelita, menutup bukunya perlahan, “aku tuh suka ngebayangin kalau bisa masuk ke dunia cerita gitu. Pasti seru ya? Bisa ngubah alur, bisa bikin si Laura bahagia tanpa digangguin lagi.”

Prilly menatap Jelita sambil nyengir. “Tapi kamu yakin mau jadi Laura? Disiksa mulu loh awalnya.”

Jelita menggeleng cepat. “Nggak juga. Aku nggak pengin jadi tokoh utama. Cuma pengin, masuk dan lihat dunia mereka dari dekat. Kayak, hidup di cerita itu.”

“Hmmm... kayak figuran yang bisa lihat semua rahasia tokoh utama ya?” Fuji menimpali.

Gladis tiba-tiba meraih tangan Jelita. “Kalau kamu beneran bisa masuk dunia novel, jangan lupa kita ya. Tolong sisipin nama kita jadi karakter juga. Gladis yang cantik, Prilly yang pinter, Fuji yang...”

“Fuji yang apa?” Fuji menatap curiga.

“Yang selalu lapar,” jawab Gladis cepat sambil tertawa lepas, menepuk-nepuk meja seolah puas dengan jawabannya.

“Astaga, Glad! Aku tuh bukaN selalu lapar, tapi peka sama jam makan!” sanggah Fuji dengan nada tinggi, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan senyum geli.

Prilly tertawa sambil menutup mulut. “Peka sama jam makan tuh kode halus dari rakus ya?”

“Hei!” Fuji mengangkat botol minumnya dan pura-pura ingin menyemprotkannya ke Prilly. “Mau basah nih mulut nyinyir kalian!”

Mereka semua tertawa bersama, menikmati momen santai yang penuh kehangatan.

Suara bel panjang menggelegar di seluruh penjuru sekolah.

“Wah, bel masuk!” seru Prilly, buru-buru merapikan bukunya.

“Cepet, sebelum Bu Ratna masuk. Kalau telat, kita bisa dapat kuliah tujuh menit,” tambah Gladis sambil berdiri.

Mereka bertiga langsung bergerak gesit menuju bangku masing-masing. Jelita menyimpan bukunya dalam laci meja, lalu menarik napas panjang.

Tak berselang lama, Bu Ratna masuk ke dalam kelas, dan pelajaran pun dimulai.

Beberapa jam pun berlalu. Suara bel istirahat akhirnya berbunyi, memecah suasana kelas yang mulai menguap dalam kebosanan. Guru terakhir keluar dengan cepat, seolah ingin kabur dari tatapan murid-murid yang sudah tak sabar ingin bebas.

“Yesss! Akhirnya istirahat juga!” seru Gladis, meregangkan tangan tinggi-tinggi sambil menguap lebar.

“Aku laper banget sumpah,” keluh Fuji sambil memegangi perutnya dramatis. “Kayaknya perutku udah nyanyi lagu dangdut dari tadi.”

“Fuji dan makanan emang sahabatan sejati,” cibir Prilly sambil berdiri.

Jelita ikut bangkit dari duduknya, mengambil kotak makan dari dalam tas. “Aku bawa sandwich, kalian mau?”

“Kalau ada cokelatnya, aku mau,” sahut Fuji cepat.

“Tenang, semua makanan Jelita pasti ada cokelatnya,” kata Gladis sambil menyeringai. “Dia tuh bisa hidup dengan cokelat doang.”

Jelita tertawa kecil. “Itu bukan mitos sih.”

Mereka berjalan beriringan menuju kantin sekolah, menghindari kerumUnan kelas lain yang juga tumpah ke luar. Udara siang itu agak gerah, tapi tawa mereka membuat semuanya terasa lebih ringan.

“Aku heran deh,” kata Prilly tiba-tiba, membuka topik baru, “kenapa cowok-cowok di sekolah ini makin hari makin sok cool, ya? Padahal biasa aja.”

“Ngomongin siapa?” tanya Gladis cepat, nada suaranya sudah penuh gosip.

“Sst, jangan sebut nama,” Prilly tertawa. “Tapi ada lah, anak kelas sebelah. Sok misterius, padahal pas ngomong nyengir mulu.”

Fuji mengangguk-angguk setuju. “Iya tuh. Tapi jujur ya, cowok terkeren tuh masih... kakaknya Jelita sih.”

Gladis langsung menyahut, “Kak Jordi? Ih, sumpah iya! Gantengnya tuh beda level.”

Jelita langsung tertawa sambil mengunyah rotinya. “Eh, jangan gitu dong. Kalian lebay.”

“Tapi beneran, Lit,” sahut Prilly. “Kakakmu tuh kayak karakter webtoon. Tinggi, putih, rambutnya rapi, terus kalem gitu. Kayak pangeran.”

Fuji menyikut Gladis pelan. “Coba deh kalau dia bukan kakaknya Jelita, pasti udah jadi bahan rebutan anak cewek satu sekolah.”

“Kayaknya walaupun dia kakaknya Jelita juga tetep banyak yang suka deh,” goda Gladis, membuat Jelita memutar bola mata.

“Ih serem. Jangan-jangan kalian temenan sama aku cuma karena kakakku ya?” ujar Jelita pura-pura kesal.

“Tentu tidak!” seru mereka serempak, lalu tertawa bersama.

Mereka pun sampai di kantin dan langsung mencari bangku kosong. Obrolan berlanjut, penuh tawa, candaan, dan sedikit naksir-naksiran.

Terpopuler

Comments

Tiara Bella

Tiara Bella

aku mampir Thor....ceritanya banyak,judul banyak ..otaknya encer kaliiiiiii.....semangat ya

2025-04-21

0

Jati Putro

Jati Putro

nama artis semua ini ,
kebayang verrel Bramasta jadinya

2025-04-17

0

RJ 💜🐑

RJ 💜🐑

keren ceritanya

2025-04-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!