Laras Sagita, gadis kampung yang polos, lucu, dan blak-blakan, merantau ke kota untuk mengubah nasib. Di hari pertamanya melamar kerja sebagai sekretaris, ia tanpa sengaja menabrak mobil mewah milik seorang pria tampan yang ternyata adalah calon bosnya sendiri, Revan Dirgantara, CEO muda yang perfeksionis, dingin, dan sangat anti pada hal-hal "tidak teratur"—alias semua yang ada pada diri Laras.
Tak disangka, Revan justru menerima Laras bekerja—entah karena penasaran, gemas, atau stres akibat energi gadis itu. Seiring waktu, kekacauan demi kekacauan yang dibawa Laras membuat hari-hari Revan jungkir balik, dari kisah klien penting yang batal karena ulah Laras, hingga makan siang kantor yang berubah jadi ajang arisan gosip.
Namun di balik tawa, perlahan ada ketertarikan yang tumbuh. Laras yang sederhana dan jujur mulai membuka sisi lembut Revan yang selama ini terkunci rapat karena masa lalu kelamnya. Tapi tentu saja, cinta mereka tak mudah—dari mantan yang posesif,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Akhir pekan datang seperti oase di tengah padang gurun. Laras sudah siap untuk tidur 12 jam dan makan mie instan sambil nonton drama Korea, tapi tiba-tiba ponselnya bergetar keras.
Pesan dari Arga:
"Hari ini Pak Revan minta kamu ikut survei lokasi proyek di luar kota. Berangkat jam 9. Siap-siap ya."
Laras hampir menumpahkan susu ke mukanya sendiri.
“APA?!! Weekend kok dipakai kerjaaa! Aku belum berdamai dengan kasur!”
Tapi demi profesionalisme dan gaji bulanan yang menyenangkan, Laras pun berdiri dengan wajah seperti kelinci kehausan.
Dia mengangkat koper mini, memakai baju santai yang menurutnya masih ‘rapi’ dan sandal jepit pink andalannya.
Di Parkiran Kantor
Revan dan Arga sudah menunggu di mobil dinas.
Revan menatap Laras dari atas sampai bawah.
“Sandal jepit lagi, Kana sepatumu?” tanya Revan heran
“Ini sandal limited edition, Pak. Cuma ada di warung sebelah kosan saya, sepatunya terlalu mahal untuk di bawa ke lokasi proyek” jawab Laras mantap.
Arga menahan tawa sampai bahunya berguncang.
“Kalau gitu saya juga mau beli deh, biar matching.” ujar Arga
Laras masuk ke mobil sambil mengangkat sandal ke arah Arga.
“Cuman yang udah naik level ke ‘hidup sederhana tapi bahagia’ yang boleh pakai ini.” ujar Laras
Revan hanya menggeleng pelan. “Perjalanan kita panjang. Jangan nyasar ke kampungmu ya.”
Survei Lokasi Proyek
Setelah dua jam perjalanan dan satu pitstop karena Laras salah baca GPS, mereka sampai di lokasi yang sedang dalam tahap awal pembangunan.
Laras ditugaskan mencatat detail dan berkoordinasi dengan pihak kontraktor. Tapi karena terlalu fokus, dia malah jatuh ke dalam lubang yang ditutup kardus.
“AAAKK! Tolong, saya terjebak dalam jebakan Batman!” teriak Laras.
Arga buru-buru menariknya keluar, penuh tanah dan rumput.
Revan hanya mengangkat alis.
“Kamu harusnya dikasih helm dan GPS pribadi.” ujar Revan
Laras bangkit sambil mengibaskan tanah dari celana.
“Setidaknya saya tetap semangat kerja walau dilukai lubang tak berdosa.”
Makan Siang di Warung Tepi Sawah
Setelah survei selesai, mereka memutuskan makan siang di warung tradisional.
Revan awalnya ingin makan dalam mobil, tapi Laras memohon.
“Sekali-kali makan dengan view sawah itu menenangkan, Pak. Anda kan butuh rileks juga.” Ujar laras
Akhirnya Revan menyerah dan duduk di warung bambu. Laras memesan ayam bakar, sambel terasi, dan teh manis.
“Kalau Bapak senyum waktu makan sambal, berarti Bapak manusia biasa,” kata Laras sambil menyuap nasi.
Revan mencoba sambalnya. Alisnya naik sedikit.
“Lumayan.”
Laras berseru. “Akhirnya, saya menemukan titik lemah Pak Revan: sambal pedas!”
Arga tertawa geli. “Catat. Kalau Pak Revan galak, kasih sambal saja.”
Sore Hari: Hujan Deras dan Momen Lucu
Saat hendak pulang, hujan deras mengguyur. Mereka terjebak di warung karena mobil cukup jauh diparkir.
Laras menatap hujan sambil berkata,
“Pak, kalau kita kehujanan bareng, itu artinya kita sudah melalui ujian alam bersama.”
Revan menoleh pelan.
“Kalau kamu pilek besok, artinya cutimu dipotong.”
“Duh, kok realitanya pahit ya,” Laras cemberut.
Arga akhirnya berinisiatif membeli jas hujan plastik tipis dari warung sebelah. Mereka berlari ke mobil seperti anak kecil. Laras yang memakai sandal jepit, terpeleset sekali tapi langsung berdiri sambil berseru,
“Lupakan jatuhnya, fokus pada tawa hidup ini!”
Revan hanya tertawa kecil di balik suara hujan. Untuk pertama kalinya, dia tidak terlihat terlalu dingin. Bahkan sempat menawarkan tisu kering ke Laras.
Malam Hari di Kosan Laras
Setelah sampai di kota dan diantar sampai depan kos, Laras turun dengan wajah lelah tapi bahagia.
“Terima kasih ya, Pak Revan. Hari ini menyenangkan.”
Revan hanya mengangguk dari dalam mobil.
Setelah mobil pergi, Laras masuk ke kamarnya, duduk di lantai, dan mengirim pesan suara ke ibunya:
Laras: “Bu… aku tadi makan bareng bos. Di warung ayam bakar. Dan dia makan sambel! Aku nggak tahu harus bangga atau cemas… tapi aku ketawa terus.”
Dari balik layar, ibunya membalas:
Ibu: “Yang penting jangan naksir bos ya. Biasa aja. Naksir tuh kayak kebanyakan sambel—panasnya baru terasa nanti!”
Laras tertawa sambil memeluk bantal.
“Hari ini, hidupku lucu banget.”
Hari Sabtu pagi, matahari baru naik setinggi atap kosan Laras. Tapi suara notifikasi grup kantor sudah bikin kepala cenat-cenut.
Arga: “GUYS, INFO PENTING! HARI SENIN LIBUR DADAKAN. KATA IBU DIREKTUR, BOS MAU SEMUA ORANG REHAT.”
Nina: “AKU NYATA MIMPI INI?!”
Laras: “Libur...?”
Revan (admin grup): “Ya. Kerja bagus minggu ini. Nikmati liburnya.”
Semua heboh. Tapi Laras justru makin gelisah. Soalnya, si bos—yang jadi penyebab utama gosip kantor itu—nggak bilang apa-apa soal libur waktu mereka ngobrol sore kemarin.
Baru saja dia mau mengetik di chat pribadi, eh... notifikasi masuk.
Revan: “Laras, kamu punya waktu hari Senin?”
Laras: “Punya... kenapa ya, Pak?”
Revan: “Jangan panggil saya ‘Pak’ pas hari libur. Ayo jalan-jalan. Tapi nggak usah bilang siapa-siapa.”
Laras: “Loh, kenapa nggak boleh bilang-bilang?”
Revan: “Biar nggak muncul meme baru.”
Laras ngakak di tempat.
---
Revan menjemput Laras jam 9 pagi dengan mobil pribadinya—bukan mobil kantor. Kali ini dia mengenakan kaus putih polos dan jaket denim. Rambutnya agak berantakan. Tidak seperti Revan yang biasanya seperti keluar dari katalog majalah bisnis.
“Maaf ya, rambutku miring. Aku barusan bangun,” ujar Revan santai.
“Wah... saya kira CEO itu bangun jam 4 subuh sambil meditasi dan baca laporan keuangan,” jawab Laras sambil masuk ke mobil.
Tujuan pertama mereka: kebun bunga di pinggiran kota.
“Serius? Bunga?” Laras bengong.
Revan nyengir. “Kemarin kamu bilang, ‘Kalau harus jadi bintang gosip, pastikan ceritanya menarik.’ Nah, kita bikin kisah yang pantas dijadiin film.”
Laras terdiam, senyum-senyum sendiri sambil jalan di antara bunga matahari.
Setelah itu mereka mampir ke warung makan kaki lima. Revan ngotot ingin beli gorengan dan es kelapa muda. Sambil duduk di trotoar, Revan nanya, “Kamu pernah pacaran serius, Laras?”
“Pernah. Tapi cowoknya takut komitmen. Selalu lari pas aku serius.”
“Hmm... sepertinya dia belum lihat kamu sekuat sekarang.”
Laras tertawa. “Atau dia takut karena aku bisa ngalahin dia pas debat.”
Revan menatapnya sebentar. “Kalau aku justru suka perempuan yang bisa ngelawan aku ngomong. Biar nggak bosan.”
---
Kembali ke Kantor: Reputasi Baru
Hari Selasa, kantor jadi agak sepi. Banyak yang masih mood libur. Tapi kabar mutasi Dinda sudah menyebar. Beberapa staf mendadak jadi lebih sopan pada Laras.
Bahkan Nina dari tim keuangan tiba-tiba ngajak makan bareng.
“Lar, sorry ya... dulu aku sempat ikut ngomongin kamu. Tapi kamu ternyata... ya gitu deh. Bikin hidup kantor nggak ngebosenin,” kata Nina sambil ngunyah risol.
Laras nyengir. “Aku maafin. Tapi bayar makan siangku, ya.”
Arga lewat sambil nenteng bunga plastik. “Larasss, kamu kapan nikah? Aku mau daftarin jadi MC!”
“MC-nya ganti sama pengamat gosip aja, Ga!” teriak Laras sambil lempar tisu.
Di ruangannya, Revan menerima laporan produktivitas mingguan. Tim Laras meningkat drastis. Dia tersenyum sendiri.
bersambung
🌹🌹🌹🌹🌹