Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang waktu - 22
...Kita tak akan pernah bisa memaksa waktu untuk mengulang masa lalu. ...
***
Ketika pintu rumah terbuka, suara Dikta dan Ananta menjadi penyambutnya. Terlihat jika mereka sedang menonton film di laptopnya yang tidak ia bawa ke sekolah karena tidak diperlukan.
Kehadiran mereka membuat rumah ini menjadi hidup dari sebelumnya. Banyak tawa juga cerita yang tercipta, membuat rumah ini sedikit berwarna.
"Gimana simulasi ujiannya, lancar?" Tanya Ananta yang sedang ada di mode dewasa.
Rai yang baru saja mendudukkan dirinya di sofa tunggal itu menganggukkan kepala. "Tinggal besok sehari lagi."
"Ujian aslinya kapan?" Tanya Dikta yang ingin tau juga.
"Katanya sih bulan depan, tanggal 25"
Rai mulai mengipasi wajahnya dengan tangan. Ia ingin mandi, tapi napasnya masih belum tenang. Makanya ia duduk dulu sebentar.
"Udah lulus nanti mau ke Bandung, atau mau terus disini?"
Pertanyaan ini lagi. Rai saja masih belum menata rencana setelah lulus nanti.
"Liat nanti aja."
"Tante Gita nanyain soalnya tadi."
Mendengar nama Ibunya, Rai langsung menegakkan tubuhnya dan menatap Ananta yang bersuara. "Apa katanya?"
"Ya itu, kamu mau ke Bandung lagi atau bakal tetep di Jakarta buat lanjutin kuliah."
Sepertinya Rai harus mulai mencari kampus yang ingin ia masuki dari sekarang. Agar ketika Ibunya kembali bertanya, ia bisa menjawabnya dengan mantap.
"Kalian ngampus di Bandung, 'kan? Terus kenapa mau nemenin aku di Jakarta? Jadi capek 'kan pulang pergi Jakarta Bandung."
Pasalnya setiap hari tertentu, Dikta dan Ananta selalu ke Bandung untuk hadir di mata kuliahnya. Seharian mereka tidak ada di rumah untuk kuliah, dan Rai merasa kasihan karena mereka harus pulang ke tempat yang jauh dari biasanya.
Rai pernah menyuruh mereka untuk menginap dulu di Bandung beberapa hari, tapi mereka menolak dengan alasan agar Rai tidak sendirian.
Begitu romantis 'kan mereka?
"Gak capek, ah! Sekalian jalan-jalan soalnya."
Rai menghela napas ringan. "Ya udah, terserah kalian aja."
Rai berdiri, ia bersiap untuk mandi. "Aku mandi dulu, ya!"
"Selamat mandi!" Ucap adik kakak itu bersamaan.
Rasanya ngeri, mandi aja pake di selamatin.
***
Setelah tubuhnya segar, pikirannya juga ikut segar. Suasana hatinya jadi semakin baik setelah tubuhnya bersih seperti sekarang.
Kakinya melangkah santai untuk kembali masuk ke dalam kamar. Mulutnya tak berhenti bersenandung kecil di tengah perjalanan.
"Rai, kita udah nyiapin kardus buat nganter kamu besok." Ucap Ananta merusak rasa senangnya.
Astaga, rasanya Rai ingin pura-pura tuli saja.
"Gak usah, ih! Besok aku ke sekolah bareng sama Rey pake motor."
Tanpa mau mendengar jawaban yang akan dilontarkan Ananta, Rai langsung berlari untuk mempercepat langkahnya ke dalam kamar. Membuat Ananta memanyunkan bibirnya, karena merasa sedih kreasi kardusnya tidak jadi terpakai.
Rai yang sudah sampai di kamarnya langsung berlari ke arah balkon, ia ingin meminta Rey untuk berangkat bersama esok.
Kebetulan, Rey ada di balkon juga. Ia sedang duduk dan sibuk berkutat dengan laptopnya. Entah sedang apa Rey di sebrang sana.
Rai melambaikan tangannya sembari berteriak. "Rey!"
Rey langsung mengangkat pandangan, dan menerbitkan senyumnya kepada Rai.
"Ih, Rey besok berangkat sekolah bareng, boleh? Aku gak mau dianter lagi sama Dikta Nanta. Kapok seriusan."
Rey terkekeh ringan, lalu menutup laptopnya dan mulai berdiri agar posisinya sama dengan Rai sekarang.
"Cie, yang pengen terus deket sama gue." Ucapnya membuat Rai merona.
"E-enggak gitu...tapi-"
"Iya iya, entar gue panggil lo dari bawah."
"Makasih banyak!"
Rey mengangguk dan menatap Rai cukup lama. Yang ditatap malah memalingkan muka karena malu ditatap sedalam itu oleh wajah setampan Rey.
Rai saja masih tidak menyangka, seorang Rey yang sangat dingin wajahnya, selalu tersenyum ketika bersamanya.
wajah Rey memang terlihat sempurna jika ada senyum di dalamnya.
"Rambut lo berantakan banget. Sisir, sana!"
Rai meraba rambutnya yang masih basah, dan mulai masuk kembali ke dalam kamar untuk mengeringkan.
Sedangkan Rey hanya tersenyum sebentar, sebelum akhirnya ia kembali mendudukkan diri dan fokus dengan laptopnya.
Jika ingin tau, Rey sebenarnya sedang membuat buku. Ia membuat buku khusus untuk Rai, berjudul: Rai Anggita Pertiwi. Gadis ambigu yang membuatku pilu.
Isinya hanya tentang Rai.
***
Selain sastra, Rey juga suka dengan musik. Kalau tidak sibuk, ia selalu memetik gitarnya dan menciptakan nada.
Masih di balkon kamarnya, di bawah bulan yang bersinar terang, Rey memetik gitarnya dan memilih lagu celengan rindu sebagai pelengkap nada yang ia ciptakan.
Karena malam ini tidak terlalu ramai, suara Rey menggema di heningnya suasana malam. Bahkan Rai saja sampai ke balkon kamar untuk melihat aksi Rey secara langsung sekarang.
Rai sesekali ikut bernyanyi, bahkan suara mereka sempat bertubrukan, tapi Rey bisa langsung menyesuaikan.
Angkasa yang berada di dalam kamar Rey juga menjentikkan jarinya saking menikmati.
"Dan tunggulah, aku disana, memecahkan celengan rinduku. Berboncengan denganmu mengelilingi kota, menikmati surya perlahan menghilang. Hingga kejamnya waktu menarik paksa kau dari pelukku. Lalu kita kembali menabung rasa rindu saling mengirim do'a sampai nanti sayangku..."
Rai langsung bertepuk tangan setelah Rey selesai memetik gitarnya "Perfect!"
"Kalau waktu itu kejam karena menarik paksa seseorang yang lo sayang, lantas apa kabar sama hati lo yang udah berharap terlalu dalam?"
Rey tau jika waktu pasti akan mengambilnya, dan memisahkan ia dengan semesta. Tapi ia hanya ingin tau, bagaimana kondisi hati Rai jika suatu saat ia ditarik oleh waktu.
Rai yang sudah merasakan itu bisa langsung menjawab tanpa berpikir dulu.
"Hati aku sakit, banget. Tapi aku gak bisa maksa waktu buat berhenti dan membiarkan orang yang aku sayang itu terus menetap disisi. Kalaupun bisa, aku bakal berjuang untuk itu."
'Hati aku sakit.'
Tiga kata yang membuat dunia Rey berhenti sejenak.
Ini yang ia takutkan. Takut membuat hati mereka tersakiti, dan merasa kehilangan ketika ia pergi.
Jadi, apa ia harus terus mendekati Rai jika akhirnya ia juga akan pergi meninggalkan?
Kenapa sekarang ia kembali meragu?
***
^^^25-Mei-2025^^^