The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.
Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.
Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langit Yang Tak Pernah Tersentuh
“Kalau saja waktu itu kita serang mereka, kita nggak akan duduk di sini sekarang.”
Rivani melempar sendok ke atas nampan logam yang diselipkan lewat jeruji. Makanan di dalamnya sudah dingin, semangkuk bubur keabu-abuan yang tak jelas rasanya apa. Di pojok ruangan penjara batu yang lembap itu, suara langkah penjaga makin menjauh. Hening. Kecuali suara napas satu sama lain dan suara hati yang tak tenang.
Dira tidak menjawab.
Dia duduk bersila di lantai dingin dengan punggung bersandar ke dinding, kedua tangan terlipat di dada, tatapannya menatap jauh ke pintu besi yang baru saja dikunci. Wajahnya tetap tenang, tapi bahunya terasa berat. Dia tahu, Rivani tidak asal bicara.
“Kamu tahu sendiri kan, Dir?” Rivani melanjutkan. “Yuni sudah siap. Satu lemparan senjata aja waktu itu bisa bikin kita bebas, bisa kabur, bisa langsung cari artefak. Tapi kamu malah—”
“Berhenti, Riv,” potong Intan, nadanya datar, tapi tegas.
Semua menoleh.
Intan bersandar di dinding seberang, tangan terlipat. Ia menatap Rivani lurus tanpa berkedip. “Kalau kita nyerang, kita mungkin bisa kabur. Mungkin. Tapi kita juga mungkin mati. Kamu lihat sendiri waktu di hutan, mereka jumlahnya sepuluh kali lipat dari kita. Mereka pakai armor. Senjata mereka pakai energi yang kita belum ngerti. Kita baru sampai satu hari. Kalau langsung bikin kacau, itu bunuh diri.”
“Tapi ini juga bukan kemenangan,” Rivani membalas, matanya tajam. “Kita dikurung. Diadili besok di hadapan... naga. Naga, Intan. Kedengarannya kayak hukuman mati.”
“Aku lebih percaya nasib diadili naga,” ujar Bagas, akhirnya bicara dari tempatnya duduk di tengah ruangan. “Daripada mati sia-sia jadi penyusup. Keputusan Dira benar. Kita bukan pencuri. Kita bukan penjajah. Kita datang karena harus. Dan itu yang akan kita jelaskan.”
Rivani menghela napas keras. “Kalian ini terlalu idealis. Dunia nggak selalu menghargai niat baik.”
“Dan kamu terlalu sinis,” jawab Intan cepat.
“Cukup.”
Yuni, yang sejak tadi diam di sudut sambil menatap lantai, kini berdiri. Tatapannya menusuk, namun suaranya tetap lembut. “Kita sudah sampai sejauh ini. Kita lelah. Kita lapar. Kita semua punya pendapat masing-masing. Tapi sekarang bukan saatnya saling menyalahkan.”
Rendi mengangguk pelan. “Besok kita diadili. Kita butuh kepala dingin, bukan emosi.”
Di sisi lain ruangan, Noval menambahkan sambil tersenyum tipis, “Lagipula, siapa yang bisa bilang ditanyain naga itu bukan pengalaman langka?”
Rivani ingin membalas, tapi tak jadi. Dia hanya mengalihkan pandangan dan menarik napas berat.
Suasana di ruangan itu menjadi lebih tenang. Tapi bukan damai. Karena di balik keheningan itu, mereka semua tahu—besok bisa jadi hari terakhir.
KRAK.
Pintu besi berderit terbuka.
Langkah sepatu terdengar mendekat, ringan dan cepat. Tak seperti langkah para penjaga yang berat dan teratur. Seorang perempuan masuk ke dalam ruangan, diiringi dua pengawal di belakang.
Rambutnya panjang dan perak seperti sinar bulan, jatuh lembut sampai pinggang. Gaun yang ia kenakan berkilau halus, memantulkan cahaya obor dengan warna biru kehijauan. Matanya besar dan berkilau seperti batu safir yang hidup. Wajahnya muda, tapi memancarkan sesuatu yang lebih tua—lebih dalam.
Dia berhenti di ambang pintu, menatap mereka satu per satu, seakan sedang membaca siapa mereka sebenarnya.
“Aku Solara,” katanya akhirnya, suaranya ringan namun penuh rasa ingin tahu. “Putri Raja Terra. Aku dengar dari Ayahku... kalian datang dari luar.”
Tak ada yang langsung menjawab.
Solara melangkah masuk lebih jauh. Pengawalnya menahan diri di luar sel, dan dia berbicara seakan mereka sedang minum teh di taman, bukan berbicara dengan tahanan.
“Apakah benar... di luar sini, ada bintang?” tanyanya lirih. “Ada laut tak berujung? Ada... langit yang bisa disentuh?”
Noval bangkit duluan. “Tunggu... kamu percaya sama semua itu?”
Solara menatap Noval dengan mata membulat. “Aku ingin percaya.”
Dia duduk begitu saja di lantai, menyilangkan kaki seperti anak kecil yang penuh rasa ingin tahu. “Sejak kecil, aku selalu menatap langit. Kubah itu... terkadang aku merasa ada yang lebih di baliknya. Tapi setiap kali aku bicara soal itu, para tetua menegurku. Dibilang sesat. Tapi kalian... kalian adalah bukti. Kalian datang dari luar. Bukan dari sini. Kalian... nyata.”
Dira akhirnya bicara. “Kami dari sebuah tempat bernama Indonesia. Di dunia kami, tidak ada kubah. Hanya langit yang luas. Dan bintang. Dan luar angkasa. Tempat lain, planet lain, galaksi lain.”
Solara terdiam, matanya berbinar-binar.
“Di dunia kami,” lanjut Dira pelan, “kami bertahan bukan hanya dengan kekuatan, tapi juga pengetahuan. Kami tahu dunia ini jauh lebih besar dari yang terlihat. Dan kami tahu... sesuatu yang mengancam kalian semua sedang bangkit.”
Solara mencondongkan tubuh. “Zwarte Sol...”
“Kau tahu?”
“Tidak,” gelengnya. “Tapi Ayah menyebutnya saat bicara dengan para penasehat. Katanya kalian menyebut nama itu sebagai musuh. Tapi tidak ada dalam catatan kami.”
“Kami tidak datang untuk menyerang,” Bagas menambahkan. “Kami datang karena ada sesuatu yang hanya bisa dihentikan dari tempat ini. Sesuatu yang tidak akan peduli siapa yang dulu benar atau salah.”
Solara tampak berpikir sejenak, lalu berdiri. “Aku percaya kalian.”
Rivani mengangkat alis. “Begitu aja?”
“Tidak begitu saja,” jawab Solara sambil tersenyum. “Aku selalu percaya dunia lebih luas dari yang kami tahu. Dan sekarang... kalian datang sebagai bukti.”
Dia menoleh ke pengawalnya.
“Aku akan berbicara dengan Ayah. Mungkin tidak akan membuat kalian bebas... tapi setidaknya dia akan dengar dari sudut pandang lain.”
Yuni berdiri. “Kenapa kamu melakukan ini?”
Solara menatap ke atas, ke langit-langit batu yang gelap. “Karena aku ingin terbang. Aku ingin menembus kubah. Aku ingin tahu apakah langit itu benar-benar batas. Atau hanya ilusi.”
Dia menoleh ke Dira dan yang lainnya. “Dan kalian... mungkin satu-satunya jalan menuju jawaban itu.”
Lalu dia pergi. Langkahnya cepat. Cahaya obor berkedip saat gaunnya menyapu lantai. Suara pintu besi tertutup lagi di belakangnya.
Keheningan kembali.
Tapi kali ini, ada sesuatu yang berubah.
Harapan.
“Kamu percaya dia?” tanya Rendi pelan.
“Belum,” jawab Dira. “Tapi dia jujur. Dan itu... cukup untuk sekarang.”
Rivani bersandar ke dinding, menatap langit-langit. “Anak raja yang mau terbang. Dunia ini emang aneh.”
“Tapi indah,” gumam Noval.
Dan sebelum mereka bisa bicara lebih jauh—sebuah suara keras mengguncang langit-langit.
DUUUMMMM!
Batu-batu bergetar. Tanah bergemuruh.
Semua berdiri.
Dari balik dinding luar penjara, suara alarm menggema. Jeritan. Ledakan. Teriakan dalam bahasa asing.
Dan lalu...
Suara raungan panjang—dalam, bergema, dan menggetarkan tulang.
RAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHH!
Naga.
Tapi bukan suara kemarahan.
Suara itu... seperti panggilan.
Atau peringatan.
Dira menarik napas dalam-dalam. “Itu Azhurath.”
Dan di luar sana, sesuatu sedang bangkit—lebih cepat dari yang mereka perkirakan.
Bersambung.......