Zahra, seorang perempuan sederhana yang hidupnya penuh keterbatasan, terpaksa menerima pinangan seorang perwira tentara berpangkat Letnan Satu—Samudera Hasta Alvendra. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena uang. Zahra dibayar untuk menjadi istri Samudera demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran ekonomi akibat kebangkrutan perusahaan orang tuanya.
Namun, tanpa Zahra sadari, pernikahan itu hanyalah awal dari permainan balas dendam yang kelam. Samudera bukan pria biasa—dia adalah mantan kekasih adik Zahra, Zera. Luka masa lalu yang ditinggalkan Zera karena pengkhianatannya, tak hanya melukai hati Samudera, tapi juga menghancurkan keluarga laki-laki itu.
Kini, Samudera ingin menuntut balas. Zahra menjadi pion dalam rencana dendamnya. Tapi di tengah badai kepalsuan dan rasa sakit, benih-benih cinta mulai tumbuh—membingungkan hati keduanya. Mampukah cinta menyembuhkan luka lama, atau justru semakin memperdalam jurang kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8.
Samudera terlihat beberapa kali memukul stir mobilnya, dia begitu emosi mengingat wajah Zera tadi.
"perempuan murahan, sok bijak sekali dirimu. Kau yang sudah membunuh kakakku tapi kau hidup tenang sekarang, memiliki keluarga bahagia" geram Samudera, tangannya semakin mengepal.
Samudera teringat dengan kakaknya Hardin Alvendra, dimana dua tahun lalu kakaknya itu mengakhiri hidupnya sendiri dengan menabrakan diri. Tapi Hendra ayah dari mereka memalsukan kematian itu sebagai kecelakaan. karena tidak mau keluarganya memiliki aib seperti itu.
Samudera yang mengingat hal tersebut mengepalkan tangannya erat ke stir mobil. Mobilnya saat ini berhenti di sebuah taman, Dia memang menyendiri di situ setelah bicara dengan Zera tadi.
"aku minta maaf bang, andai aku tidak ada hubungan dengan perempuan murahan itu kau tidak akan nekat seperti itu" gumam Samudera dengan wajah penuh kemarahan. Samudera saat itu juga pacaran dengan Zera tapi dia tidak tahu kalau Zera itu pacar dari kakaknya juga, Zera telah mempermainkan hatinya dan juga hati Hardin membuat Hardin nekat mengakhiri hidupnya sendiri. Mimik wajah Samudera terlihat begitu sedih, dia menyesal atas itu.
"akan aku buat hancur juga hidup kakaknya, Zera pasti akan merasakan apa yang kita rasakan bang" ucap Samudera penuh dendam. Tapi di tengah kebencian Samudera dengan Zera, dia sedikit merasa bingung harus melibatkan Zahra dalam dendamnya saat ini.
Samudera menarik napas panjang, lalu memejamkan matanya sejenak, mencoba meredam gejolak yang berkecamuk di dadanya. Tapi justru bayangan senyum Zahra tiba-tiba terlintas begitu jelas di benaknya. Senyum tenang yang ia lihat kemarin saat bertemu dengan perempuan itu.
Ia membanting kepalanya ke sandaran jok, mendesah kesal.
"Kenapa wajah itu terus muncul, kenapa wajah polos tanpa dosa itu terus berada di kepalaku?" gumamnya lirih.
Wajah Samudera mengeras lagi. Ia menepis rasa bersalah yang pelan-pelan mulai merayap dalam hatinya.
“Ini bukan tentang Zahra... ini tentang Zera. Zahra hanya alat bagi jalanku untuk menghancurkan Zera agar merasakan sakit yang sama denganku saat melihat orang yang ia sayang menderita”
Samudera kembali menatap ke arah setir, menekuk bibirnya getir.
“bang Hardin, aku harus melakukan ini. Kita tidak akan tercerai berai kalau bukan karena perempuan itu. Dan ini tidak adik bagi kita bang, . Dunia membungkam kematian mu seolah tidak berarti. Dan Zera… dia masih bisa tertawa, bisa kuliah, bisa hidup dengan damai memiliki keluarga sedangkan kita hidup penuh penyesalan. Aku tidak bisa terima ini!”
Tangannya mengepal kuat-kuat di atas setir.
“Zahra…perempuan tenang itu, meskipun lembut, dan polos. Tapi itu justru yang akan membuat Zera semakin merasakan sakitnya kehilangan. Dia akan tahu rasanya melihat seseorang yang dia cintai dihancurkan perlahan-lahan, seperti aku waktu itu melihat abang perlahan kehilangan semangat hidup.”
Samudera menyalakan mobil, matanya tajam mengarah ke depan.
“Aku akan menikahi Zahra. Aku akan membuat dia jatuh, lalu aku akan menarik semuanya. Zera akan tahu rasanya.”
Walau dadanya terasa sesak, ia tetap bertekad. Baginya, rasa sakit yang ia simpan dua tahun ini harus dibayar. Meski itu berarti mengorbankan seseorang yang tidak bersalah.
Dan Zahra…
Zahra hanya pion dalam permainan dendam yang belum selesai.
..........................
Zahra yang sedang menemani keponakannya alias anak Zera. Dia saat ini ada di kamarnya, dia menjaga keponakannya itu karena Zera tengah mandi sedangkan ibunya tadi tengah pergi ke warung.
Bocah satu tahun itu tampak asik bermain di kasur.
Tapi saat tengah asik menemani keponakannya tersebut tiba-tiba suara ibunya memanggil.
"Zahra Zahra" panggil ibunya Zahra.
"iya bu" jawab Zahra sambil melihat kearah pintu, dimana ibunya berjalan masuk dengan terengah-engah tapi terlihat senang.
"kenapa bu, kok kayak di kejar maling. ada apa? " tanya Zahra lembut.
"itu di luar nak Samudera calon suami kamu, dia mau ketemu sama kamu katanya" ucap Farida sambil menunjuk nunjuk kearah keluar.
mendengar itu Zahra sedikit kaget, bukan Zahra saja tapi Zera yang baru masuk juga kaget mendengar kalau Samudera datang.
"cepat kamu keluar, jangan buat calon suami kamu nunggu lama" Farida langsung mendorong anaknya pelan agar cepat keluar menemui Samudera.
"I.. iya bu" dengan terpaksa Zahra berjalan keluar untuk menemui Samudera.
Zahra melangkah pelan menuju ruang tamu. Jemarinya meremas ujung kerudung yang ia kenakan, menahan gugup yang tiba-tiba menyeruak. Jantungnya berdegup tak karuan, bukan karena rindu atau senang, tapi karena bingung dan tak nyaman dengan hubungan mereka yang terasa... dipaksakan.
Begitu tiba di ruang tamu, ia melihat Samudera sedang berdiri dengan tangan di balik punggung. Tatapan pria itu seperti biasa: datar, tenang, namun menyimpan sesuatu yang sulit Zahra tebak.
"Kamu ingin menemuiku,ada apa?" tanya Zahra pelan, berdiri di ambang pintu.
Samudera menoleh. Ia menatap Zahra sekilas, lalu tanpa basa-basi mengulurkan sebuah map berisi dokumen.
"Besok kita pergi ke Jogja, hafalkan ini buat jaga-jaga kalau ada yang bertanya denganmu."
"I.. ini apa? " bingung Zahra sambil melihat apa yang diberikan Samudera tersebut.
"Pertanyaan untuk pengajuan nikah, jangan sampai kau salah menjawab. awas kalau sampai kau menjawab salah" tukas Samudera dengan sedikit mengancam.
"Dan besok kita berangkat untuk pengajuan nikah" ucap Samudera lagi.
Zahra menerima map itu dengan ragu. " kenapa..kenapa buru-buru bukannya masih sebulan lagi?"
"kata siapa sebulan lagi. Dua minggu lagi, kita akad. Dan kamu juga harus pastikan semua temanmu dapat undangan itu." tukas Samudera
Zahra menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan tak enak yang sejak awal sudah mengganjal di hatinya. Tapi sebelum ia bisa bicara lebih jauh, Samudera sudah memotongnya lagi.
"Dan satu lagi... sekalian bawa barang barangmu yang banyak. Karena aku malas mengambil lagi barang-batangmu kerumah," ucap Samudera, nada suaranya mulai terdengar dingin.
Zahra menatap Samudera, bingung. "Kenapa?"
"Karena aku tidak mau lagi menginjakkan kakiku di rumahmu" ucap Samudera"Sudah, aku pergi dulu. Nanti malam aku kabari lagi soal fitting baju." lanjut Samudera
Tanpa memberi kesempatan Zahra menjawab, Samudera langsung melangkah pergi. Pintu tertutup tak lama kemudian, meninggalkan Zahra berdiri di tempatnya dengan dada yang makin sesak. Ia menunduk, menggenggam map berisi dokumen itu erat-erat.
Di belakangnya, Zera berdiri mengintip dari balik pintu kamar. Tatapannya cemas, dan ada rasa bersalah yang dalam terpantul dari matanya saat melihat kakaknya masih berdiri terpaku di ruang tamu.
Sementara itu di luar, Samudera berjalan cepat menuju mobilnya. Wajahnya tegang. Tapi sesaat sebelum masuk ke dalam mobil, ia sempat menoleh sebentar ke arah rumah itu.
***