Tidak ada tanggal sial di kalender tetapi yang namanya ujian pasti akan dialami oleh setiap manusia.
Begitupun juga dengan yang dialami oleh Rara,gadis berusia 21 tahun itu harus menerima kenyataan dihari dimana kekasihnya ketahuan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri dan di malam itu pula kesucian dan kehormatannya harus terenggut paksa oleh pria yang sama sekali tidak dikenalnya. Kehidupan Rara dalam sehari berubah 180 derajat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 4. Karma Terjadi
“Bapak,” Rara berjalan ke arah bapaknya terlihat menahan gejolak amarah yang membuncah di dada dan kepalanya.
Rara bersimpuh dan bersujud di kaki bapaknya pak Rizal,” Bapak, maafin Rara yah Pak. Rara sudah membuat bapak sama ibu kecewa dan malu,” ratapnya Rara air matanya semakin menetes membasahi pipinya.
“Bapak, putrimu sama sekali tidak bersalah dengan apa yang terjadi kepadanya. Putri kita hanyalah korban, bergaul dengan orang yang tidak jelas aja nggak pernah apalagi berbuat aneh-aneh. Jadi jangan pernah berfikir kalau Rara sengaja melakukannya,” ucapnya Bu Hartati yang berusaha untuk menenangkan diri suaminya.
Pak Rizal tidak membalas ucapan kedua wanita yang sangat disayanginya termasuk anak kembarnya yang masih duduk di bangku SMP kelas VII yang terdiam, tapi dari kilatan pancaran sinar matanya, urat-urat di sekitar lehernya terlihat dengan jelas, jakunnya naik turun, dadanya berdebar keras, darahnya mendidih tangannya terkepal erat.
“Bapak jangan diam seperti ini, Rara semakin sedih kalau bapak seperti ini. Bapak mohon maafkan Rara yang sudah buat bapak dan ibu kecewa karena Rara tidak bisa melawan dan membela diri Pria itu yang sudah merenggut kesuciannya Rara,” sesalnya Rara yang masih dalam posisi bersujud.
“Daeng, Rara itu tidak pernah menginginkan hal seburuk dan sekelam ini terjadi kepadanya. Putriku anak sholehah jadi ibu sangat percaya kalau putriku tidak akan pernah dengan sengaja dan berniat berbuat hal-hal yang dilarang agama,” Bu Hartati berusaha untuk membujuk dan meyakinkan suaminya.
Tubuhnya pak Rijal limbung dan terduduk di tepi ranjangnya Rara. Air matanya menetes membasahi pipinya. Dia merasa semua ini terjadi kepada putri kesayangannya karena karma yang pernah diperbuatnya dimasa lalunya.
Pak Rijal mengusap wajahnya dengan gusar sambil terdengar suara lirih dari bibirnya.
“Allahu Akbar, La Ilaha Illallah subhanallah,” lirihnya Pak Rijal.
Rara memeluk tubuh bapaknya , pria yang menjadi cinta pertamanya di dunia ini yang selalu memanjakan dirinya dari sejak lahir hingga detik ini.
Pak Rijal mengingat kejadian 23 tahun lalu ketika merantau di ibu kota Sulawesi Selatan. Dia pernah berpacaran dengan perempuan yang berasal dari daerah Jawa Barat, mereka berpacaran cukup bebas hingga kekasihnya hamil di luar nikah, tapi hubungannya ditentang oleh kedua orang tuanya di kampung.
Pak Rijal malah dijodohkan dengan Bu Hartati dan sampai detik ini belum pernah bertemu lagi dengan perempuan itu. Kabarnya saja perempuan itu tidak pernah lagi didengarnya apalagi bertemu.
“Astaghfirullahaladzim, apa ini hukuman atas dosa-dosaku di masa laluku ya Allah. Kenapa bukan saya yang Engkau hukum kenapa mesti anakku,” rutuknya dalam hati.
Bu Hartati dan Rara menangis tersedu-sedu melihat bapaknya yang hanya terdiam dan ucapan asma Allah yang terdengar dari bibir pria dewasa berusia 50 tahun itu.
Semuanya terdiam sesaat memikirkan apa yang akan terjadi dan mereka lakukan selanjutnya.
Tengah malam itu menjadi saksi bisu ketidakadilan yang diterima oleh Rara dan kehancuran hati dan perasaannya kedua orang tuanya karena anaknya yang menjadi korban rudapaksa.
Pak Rijal menimbang dan memikirkan langkah apa yang seharusnya ditempuh dalam keadaan genting seperti ini. Karena 70 persen kemungkinan Rara akan hamil anak dari pria bejak itu dan dia tidak ingin meminta anaknya untuk menggugurkan darah dagingnya sendiri.
“Cukup kesalahan aku dimasa lalu yang saya harus kehilangan calon anakku dengan Ranti Yulia, saya tidak ingin anakku mengalami hal yang sama,” batinnya pak Rijal yang tidak pernah bercerita mengenai masa lalunya bersama dengan mantan kekasihnya yang sampai detik ini masih terpatri namanya di dalam hati dan sanubarinya.
Rara was-was dan cemas melihat bapaknya yang masih duduk terdiam dan tidak menggubris perkataan dari siapapun.
“Ya Allah, ini semua gara-gara perbuatanku. Ya Allah, aku tidak ingin bapak dan ibu ku menderita dan sakit hati karena takdir kelam yang aku alami,” cicitnya Rara.
“Bapak, kalau terdiam terus kami semakin ketakutan. Kami mohon bicaralah agar kami tau kalau bapak Itu baik-baik saja,” ucapnya Bu Hartati yang shock melihat kondisi suaminya yang hanya bola matanya yang bergerak-gerak liar.
Pak Rijal menghela nafasnya dengan gusar, “Rara, ibu besok berkemaslah karena kita akan pindah dari kampung. Kita akan menempati rumahnya bapak yang ada di kota Makassar jalan AP Pettarani. Semoga dengan kepindahan kita hidup kita akan lebih baik,” putusnya Pak Rijal yang membuat semua anak dan istrinya terkejut dengan keputusan tiba-tiba itu.
“Ke-na-pa kita harus pindah ke kota bapak!? Bukannya kehidupan kita di sini sudah bagus. Bagaimana dengan usaha toko kelontong bapak di pasar kalau kita pindah?” Tanyanya Bu Hartati yang keheranan dengan keputusan suaminya yang mendadak itu.
“Bapak, Rara ikut apa yang bapak putuskan saja karena semua ini karena gara-gara ulahnya Rara sehingga keluarga kita jadi hancur berantakan seperti ini,” Rara semakin merutuki dan menyesali kesalahannya.
“Azzahra Elara Sofia, kamu tidak pernah bersalah kepada bapak ataupun ibuk Nak. Kamu itu adalah kebanggaannya bapak dan ibu bersama adik kembar kamu,” Pak Rizal memeluk tubuh putri sulungnya.
“Jadi, bapak sudah mantap dan yakin akan meninggalkan kampung halamannya neneknya anak-anak, usahanya bapak gimana apa akan dipindahkan juga atau kita serahkan kepada orang yang bisa dipercaya?” Tanyanya Bu Hartati.
“Bapak tidak ingin suatu hari nanti Rara hamil anak pria terkutuk itu. Bapak tidak ingin membunuh anak itu karena rasa malu, tapi bapak juga tidak ingin dan tak bisa melihat putriku dihina oleh orang-orang di kampung dan itu pasti akan terjadi. Jadi solusinya adalah pindah dari desa. Ada rumahnya bapak di Makassar kita bisa mengisi kembali rumah itu dan masih sangat layak dan bagus untuk dihuni,” jelas panjang lebar Pak Rijal.
“Baiklah besok kita akan berangkat ke Makassar setelah mengurus kepindahan sekolahnya si kembar. Untungnya baru sekolah tidak perlu susah-susah untuk memindahkan Ariana dan Briana,” ujarnya Bu Hartati yang sesungguhnya sudah nyaman dan tenang tinggal di kampung halaman ibu mertuanya itu tapi demi masa depan anak-anaknya harus melakukannya.
“Bapak sudah pikirkan dengan matang dan baik. Sebenarnya sudah lama bapak ingin membuka cabang di kota besar tapi belum ada waktu dan dikesempatan ini lah saatnya kita buka usaha di sana. Rumah ini bapak akan jual dan beberapa toko kita dan hasil dari penjualannya akan kita pakai untuk membangun ruko di kota Makassar di lahan kakek yang masih kosong,” putusnya Pak Rijal yang sebenarnya sulit dan berat juga meninggalkan kampung halamannya tempat dia dilahirkan di dunia ini.
Pak Rijal membantu putrinya untuk bangkit,” kamu harus kuat Nak, ini adalah cobaan yang kamu harus hadapi dengan kesabaran dan ketabahan. Insha Allah semuanya akan berjalan baik-baik saja.”
Orang tua mana yang tidak sedih dan hatinya hancur melihat anaknya dianiaya oleh orang lain. Siapa yang bisa tertawa bahagia apabila putri kandungnya mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh dari pria bejak yang tidak bertanggung jawab.
“Bapak sangat paham dan mengetahui gerak-gerik putri kandungku sendiri. Jangan pernah berfikir kalau bapak akan menyalahkanmu. Biarlah masalah ini menjadikan pelajaran untuk kita semua agar semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dan Rasul-nya,” Pak Rijal memeluk putrinya yang tak henti-hentinya menangis.
Rara mendekap erat tubuh bapaknya, lelaki yang selalu menjadi penyelamat, penyemangat dan pahlawannya.
“Semoga dengan kejadian ini kita tidak akan menjadi kufur nikmat karena ujian ini tidak seberapa sedangkan keberkahan dan rezeki yang Allah SWT berikan lebih besar dan banyak,” nasehatnya Pak Rijal.
“Amin ya rabbal alamin,” ucap semuanya.
Pak Rijal meninggalkan kamar anak pertamanya setelah berbicara seperti itu. Ia menyeka air matanya sambil berjalan ke arah kamarnya. Ia mengambil air wudhu kemudian melaksanakan shalat tahajud untuk meminta ketenangan hati dan pikirannya.
“Besok pagi setelah shalat subuh kamu baru berkemas. Ingat jangan pernah berani sekali-kali mencoba-coba melakukan hal-hal yang dilarang agama. Hidup itu hanya sekali jadi alangkah baiknya kalau kamu lebih dewasa dan bijaksana untuk bertindak kedepannya,” Bu Hartati mengusap puncak surau anaknya.
“Makasih banyak Bu,” ucapnya parau Rara.
“Kamu harus kuat dan sabar karena kamu tidak sendirian ada kami orang tuamu dan kedua adikmu yang akan selalu menjaga, melindungi dan menyayangimu,” Bu Hartati mengecup kening putrinya yang semakin serak karena tak berhenti menangis.
Rara masih terduduk di atas lantai kamarnya yang cukup dingin di tengah malam buta itu. Suara rintikan air hujan membasahi atap rumahnya yang terdengar cukup nyaring sehingga pembicaraan tidak sampai ke telinga tetangga.
Terlintas kembali di ingatannya ketika lelaki itu mengambil ciuman pertamanya hingga pria itu memasuki bagian inti terdalamnya.
Dia menggosok bibirnya, tubuhnya, tangannya, lehernya yang masih terdapat jejak pria terlucknut itu.
“Aku doakan Kamu selamanya hidup menjomblo dan akan mengalami kegagalan dalam rencana pernikahanmu! Kecuali aku sudah menikah barulah Kamu juga bisa bahagia!”
Sumpah serapahnya terucap begitu saja saking marahnya ketika mengingat kejadian tersial yang pernah dialaminya selama hidupnya.
Rasa sakit itu sampai saat ini masih dirasakannya. Hatinya semakin sakit karena pria itu menggaulinya berkali-kali dan menganggap bahwa dia adalah kekasih calon istrinya.
“Ya Allah, ampunilah segala dosa-dosaku. Aku sudah membuat kedua orang tuaku menangis karena diriku. Andaikan aku bisa membela diri pasti hal ini tidak akan terjadi padaku,” cicit Rara yang suaranya semakin serak, matanya membengkak hidung bangir khasnya memerah.
Keesokan harinya, semua orang yang mengenal mereka terheran-heran dan tidak percaya karena pak Rijal memutuskan untuk pindah ke kota padahal dia terkenal pedagang yang dermawan dan baik hati, ringan tangan membantu masyarakat sekitarnya.
Pak Rijal mengurus segalanya tanpa terkecuali termasuk surat pindah kedua anak bungsunya itu.
Ada mobil truk yang mengangkut semua barang-barang yang sudah dipacking. Mereka hanya mengambil barang pentingnya saja.
Saking banyaknya koneksi dari pak Rijal, hanya dalam sehari saja dia sudah mendapatkan pembeli rumahnya yang berminat membelinya karena rumah yang cukup besar dan masih baru sehingga banyak orang yang ingin membelinya.
semangat authir 💪💪💪💪💪♥️♥️♥️♥️♥️
peringatan yang cukup bagus author!